Macam-macam Air dan Pembagiannya

 Air merupakan alat utama yang digunakan untuk bersuci dalam syariat Islam Macam-macam Air dan Pembagiannya
Macam-macam Air – Air merupakan alat utama yang digunakan untuk bersuci dalam syariat Islam. Baik itu bersuci dari hadats besar, hadats kecil, maupun bersuci dari najis. 

Air yang digunakan untuk mensucikan tentu memiliki syarat-syarat tersendiri. Kita tidak boleh menggunakan sembarangan air ketika bersuci baik itu wudlu, mandi junub, mensucikan najis dan lain sebagainya. 

Maka dari itu perlu kiranya kita mengetahui air seperti apa yang dapat digunakan untuk bersuci. 

Berikut ini akan kami jelaskan macam-macam air dan pembagiannya dalam fiqih Islam berdasarkan dalil-dallil Quran dan sunnah serta penjelasan ahli fiqih secara rinci namun ringkas.

Macam-macam air dibagi menjadi 3 bagian yakni sebagai berikut :
  • Air suci mensucikan
  • Air suci tidak mensucikan
  • Air najis
Berikut penjelasan macam-macam air dan pembagiannya dalam kajian fiqih Islam :

A. Air Suci Mensucikan

Air suci mensucikan adalah air suci yang dapat digunakan untuk bersuci. Berikut ini beberapa air suci yang dapat digunakan untuk bersuci :

1. Air Mutlaq

Adalah air yang tetap atas karakteristik aslinya. Para ahli fiqih sepakat bahwa air mutlak adalah air suci mensucikan. Imam Ibnu Qudamah menjelaskan :

مَاءٌ طَهُورٌ، وَهُوَ الْبَاقِي عَلَى أَصْلِ خِلْقَتِهِ وَمَا تَغَيَّرَ بِمُكْثِهِ أَوْ بِطَاهِرٍ لَا يُمْكِنُ صَوْنُهُ عَنْهُ

Air yang suci, adalah air yang tetap atas karakteristik aslinya dan tidak berubah (warna, bau dan rasanya) karena terlalu lama menggenang atau (berubah sifatnya) disebabkan benda suci lain yang air itu tidak mungkin menjaga dirinya dari benda itu.[1]

Seperti air yang turun dari langit; yakni hujan, lelehan salju atau es. Allah ta’ala berfirman :

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.[2]

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.[3]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

للهُمَّ طَهِّرْنِي بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَالْمَاءِ الْبَارِدِ

Ya Allah, sucikanlah aku dengan salju, es, dan air dingin.[4]

Dan juga air yang keluar dari bumi seperti mata air, air laut, air zamzam dan air sumur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia mengatakan :
 
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَرْكَبُ البَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيلَ مِنَ المَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُهُ

Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : 

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mengendarai kapal, sedangkan kami hanya membawa sedikit air. Bila kami wudlu dengan air itu maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudlu dengan air laut?” 

Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Air laut itu suci mensucikan, dan bangkainya halal.”[5]

2. Tercampur Benda Suci dan Najis

Apabila air bercampur dengan benda suci yang tidak mengakibatkan rusaknya karakteristik air maka ia suci dan mensucikan. Hal ini berdasarkan yang diriwayatkan oleh Ummu Hani’ :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ وَمَيْمُونَةَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِي قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِينِ

Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan maimunah mandi dengan satu wadah dalam wadah yang di dalamnya terdapat bekas adonan roti.[6]

Imam Ibnu Qudamah juga menjelaskan :

وَإِنْ خَالَطَ الماَءَ طَاهِرٌ لَمْ يَغَيِّرْهُ، لَمْ يَمْنَعْ الطَّهَارَةُ بِهِ

Apabila air tercampur sesuatu yang suci maka tidak mengapa bersuci dengan air tersebut.[7]

Namun, bagaimana bila bercampur dengan benda suci yang dapat merubah sifat air tersebut?

Maka ada tiga yang masih bisa digunakan untuk bersuci, yakni apabila bercampur dengan :
  • Sesuatu yang cocok dengan air; seperti tanah, garam laut dsb.
  • Sesuatu yang tidak bisa bersatu dengan air; seperti minyak dsb.
  • Sesuatu yang pasti ada di dalam air; seperti lumut, tetumbuhan yang tumbuh dalam air, daun yang jatuh, sesuatu yang mengalir dalam air seperti belerang dsb.
Adapun selain jenis-jenis benda di atas seperti zafran, logam, bangkai suci, dan benda-benda yang kuat sehingga air tidak mampu mempertahankan sifatnya ketika benda itu terjatuh kedalamnya dengan sengaja, maka ini apabila sifat air terkalahkan dengan benda-benda itu misalnya air itu menjadi berwarna atau menguning atau termasak di dalamnya maka tidak dapat digunakan untuk bersuci. Karena penyebutannya sebagai air menjadi berkurang (tidak disebut lagi sebagai air).[8]

Adapun air yang bercampur benda najis tetapi tidak merusak karakteristik sifat air baik itu baunya, rasanya, maupun warnanya maka ini juga air suci mensucikan

Diriwayatkan pula oleh Abu Sa’id Al Khudriyyi ia mengatakan : bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ، وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الحِيَضُ، وَلُحُومُ الكِلَابِ، وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ المَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudlu di sumur budlo’ah? Padahal sumur itu adalah sumur pembuangan bekas darah haid, daging anjing dan sesuatu yang busuk?” 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Sesungguhnya air itu suci mensucikan dan sesuatu tidak menjadikannya najis.”[9]

Catatan! Pembahasan tentang air yang tercampur benda najis secara rinci akan kami jelaskan pada bab “Air Najis.”

3. Air yang Memanas

Apabila air itu memanas disebabkan matahari (musyammasy) atau benda yang suci seperti kayu bakar dan lain sebagainya maka tidak makruh penggunaannya untuk bersuci. Hal ini dikarenakan karakteristiknya tidak berubah sebagaimana ketika air itu mendingin.

Apabila air itu memanas disebabkan benda yang najis maka terbagi menjadi tiga :
  • Bila dapat dipastikan bagian-bagian najisnya sampai pada air maka air menjadi najis.
  • Bila tidak dapat dipastikan bagian-bagian najisnya sampai pada air maka kembali ke hukum asal (yakni suci) dan hukum asal tidak bisa dibatalkan karena keraguan.
  • Bila penghalang antara benda najis dan air itu kuat maka tidak najis.[10]

4. Berubah Salah Satu Sifatnya

Apabila salah satu dari sifat (baik rasa, warna, dan bau) itu berubah disebabkan benda yang suci namun perubahan itu tidak mengalahkan sifat asli pada air maka air ini suci. 

 Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ

Sesungguhnya air tidak dapat dinajiskan dengan sesuatu kecuali apabila ada sesuatu yang mengalahkan atas bau, rasa, dan warnanya.[11]

إِذَا كَانَ المَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَثَ

Ketika air itu banyaknya dua qullah[12] maka tidak memuat najis.[13]

Namun, apakah air tersebut dapat digunakan untuk bersuci? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan tentang air yang berubah sifatnya dengan benda-benda yang suci :

أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمُتَغَيِّرِ بِأَصْلِ الْخِلْقَةِ وَغَيْرِهِ وَلَا بِمَا يَشُقُّ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ

Bahwa itu tidak ada bedanya antara ketika berubah dengan karakteristik aslinya.[14]

Setelah beliau mengemukakan alasan-alasannya beliau mengatakan :

وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّوَابُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ} وَقَوْلُهُ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً} نَكِرَةٌ فِي سِيَاقِ النَّفْيِ فَيَعُمُّ كُلَّ مَا هُوَ مَاءٌ لَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ نَوْعٍ وَنَوْعٍ

Dan inilah perkataan yang benar; karena Allah subhanahu wata’ala berfirman : 

“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” . . .

adapun firman-Nya yang berbunyi : “فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً” (kata:air) dalam ayat ini berbentuk nakirah dalam siyaq nafi, maka kata "air" dalam ayat ini bermakna air secara umum dan tidak ada perbedaan antara satu jenis dengan lainnya.[15]

5. Air Yang Telah Digunakan (Air Musta’mal)

Yakni air bekas yang sudah digunakan untuk mengangkat hadats (seperti wudlu, mandi dsb) maka ia suci. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Jabir ia mengatakan :

جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَيَّ مِنْ وَضُوئِهِ

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam datang menjengukku yang sedang sakit dan aku dalam keadaan tidak sadar. Lalu beliau berwudlu dan mengusap bekas air wudlu beliau kepadaku.[16]

Tetapi apakah air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci? Maka ada dua pendapat dalam masalah ini :

A. Bisa Digunakan Untuk Bersuci

Berdasarkan hadits :

الْمَاءُ لَا يُجْنِبُ

Air itu tidak terkena junub.[17]

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ مِنْ جَنَابَةٍ، فَرَأَى لُمْعَةً لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ، فَقَالَ بِجُمَّتِهِ، فَبَلَّهَا عَلَيْهَا

Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mandi junub, lalu beliau melihat bagian yang tidak terusap air. Lalu beliau mengambil air tetesan dirambutnya lalu membasahi bagian yang kering itu.[18]

Dari kedua hadits ini para ulama’ berdalil bahwa air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci. Imam Ibnu Qudamah menjelaskan :

وَلِأَنَّهُ غُسِلَ بِهِ مَحَلٌّ طَاهِرٌ، فَلَمْ تَزُلْ بِهِ طَهُورِيَّتُهُ، كَمَا لَوْ غُسِلَ بِهِ الثَّوْبُ؛ وَلِأَنَّهُ لَاقَى مَحَلًّا طَاهِرًا، فَلَا يَخْرُجُ عَنْ حُكْمِهِ بِتَأْدِيَةِ الْفَرْضِ بِهِ، كَالثَّوْبِ يُصَلَّى فِيهِ مِرَارًا

Karena air itu mengalir di tempat yang suci, maka fungsi untuk bersucinya tidak hilang. Sebagaimana bila air itu digunakan untuk mencuci baju, karena air itu hanya melewati tempat yang suci, maka air itu tidak keluar dari hukumnya meskipun ia digunakan untuk menunaikkan kewajiban, seperti baju yang digunakan untuk shalat berkali-kali.[19]

B. Tidak Bisa Digunakan Untuk Bersuci

Ibnu Qudamah menjelaskan dalam kitabnya Al-Mughni :

وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّ الْمُسْتَعْمَلَ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ، لَا يَرْفَعُ حَدَثًا، وَلَا يُزِيلُ نَجَسًا

Madzhab yang tampak berpendapat bahwa air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats itu suci tidak mensucikan, tidak dapat mengangkat hadats, dan menghilangkan najis.[20]

Berdasarkan hadits :

لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ

Janganlah salah seorang kalian mandi di dalam air yang menggenanag dalam keadaan junub.[21]

Lalu dengan dalil itu beliau menjelaskan bahwa :

مَنَعَ مِنْ الْغُسْلِ فِيهِ كَمَنْعِهِ مِنْ الْبَوْلِ فِيهِ، فَلَوْلَا أَنَّهُ يُفِيدُهُ مَنْعًا لَمْ يَنْهَ عَنْهُ؛ وَلِأَنَّهُ أُزِيلَ بِهِ مَانِعٌ مِنْ الصَّلَاةِ، فَلَمْ يَجُزْ اسْتِعْمَالُهُ فِي طَهَارَةٍ أُخْرَى، كَالْمُسْتَعْمَلِ فِي إزَالَةِ النَّجَاسَةِ

Beliau (shallallaahu ‘alaihi wasallam) melarang mandi di dalamnya (air menggenang) sebagaimana melarang kencing di dalamnya. Seandaninya larangan itu tidak ada faedahnya maka beliau tidak akan melarangnya. Dan karena air itulah penghalang dari mengerjakan shalat dihilangkan. Maka tidak boleh menggunakannya untuk bersuci lainnya, sebagaimana (tidak bolehnya) air musta’mal digunakan untuk menghilangkan najis.[22]

Lalu manakah pendapat yang terkuat diantara kedua pendapat tersebut?

Adapun yang terkuat dalam masalah ini adalah bahwa air musta’mal itu air suci mensucikan. Hal ini diperkuat dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa air itu suci dan tidak dinajiskan dengan sesuatu. 

Adapun pendalilan hilangnya fungsi bersuci air musta’mal dengan hadits larangan mandi junub di dalam air yang menggenang atau menetap adalah pendalilan yang lemah. Karena larangan ini dimaksudkan agar air itu tidak menjadi kotor dan berubah warnanya. 

Imam Nawawi mengatakan :

وَفِي هَذَا الِاسْتِدْلَالِ نَظَرٌ لِأَنَّ الْمُخْتَارَ وَالصَّوَابَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَذَا الْحَدِيثِ النَّهْيُ عَنْ الِاغْتِسَالِ فِي الدَّائِمِ وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا لِئَلَّا يَقْذُرَهُ وَقَدْ يُؤَدِّي تَكْرَارُ ذَلِكَ إلَى تَغَيُّرِهِ

Pendalilan ini perlu dipertimbangkan, karena pendapat yang terpilih dan benar adalah bahwa maksud dari hadits dilarangnya mandi junub di dalam air yang menetap walaupun air itu banyak adalah agar air itu tidak kotor dan agar tidak berubah sifatnya karena digunakan berkali-kali.[23]

Kesimpulan Air Suci Mensucikan

Dari kesemua air yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa air secara umum adalah air suci mensucikan. Selama air itu masih bisa disebut sebagai air (yakni tidak berubah drastis dari sifat aslinya) maka air itu suci. 

Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala tentang penyebutan air dalam bentuk nakirah :

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً

Maka sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah diatas, bahwa selama air tidak berubah jauh dari karakteristik aslinya maka ia adalah air suci mensucikan. Wallahu a’lam.

B. Air Suci Tidak Mensucikan

Adalah air yang suci zatnya tetapi tidak dapat digunakan untuk mensucikan.  

Adapun air tersebut adalah air yang berubah secara drastis dari karakteristik aslinya baik warnanya, baunya, maupun rasanya disebabkan benda yang suci

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan :

مَاءٌ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ، وَهُوَ مَا خَالَطَهُ طَاهِرٌ فَغَيَّرَ اسْمَهُ، أَوْ غَلَبَ عَلَى أَجْزَائِهِ، أَوْ طُبِخَ فِيهِ، فَغَيَّرَهُ

Air suci yang tidak mensucikan adalah air yang tercampur dengan benda suci lainnya hingga berubah berubah namanya (bukan air murni lagi) atau air itu terkalahkan (sifatnya) oleh bagian benda suci itu atau benda itu direbus di dalam air sehingga air itu berubah (sifatnya).[24]

Contohnya seperti : air susu, air sirup, air jus dan lain sebagainya.

C. Air Najis

Ketika air itu terkena benda najis sehingga merubah salah satu sifatnya (baik itu warna, bau, dan rasanya) maka air itu najis dan tidak ada perbedaan diantara para ulama’ mengenai masalah ini. Dalam kitab Al-Kafi dijelaskan :

إذا وقع في الماء نجاسة فغيرته، نجس بغير خلاف؛ لأن تغيره لظهور أجزاء النجاسة فيه

Ketika benda najis terjatuh ke dalam air sehingga merubah (sifatnya) maka menjadi najis tanpa ada perbedaan (pendapat dikalangan para ulama’); hal ini dikarenakan perubahannya adalah karena tampaknya bagian-bagian najis di dalam air tersebut.[25]

Lalu, bagaimana bila air yang terkena benda najis tetapi tidak berubah sifat airnya?

Maka ada 2 keadaan dalam masalah ini : 
  • 1. Jumlah air sebanyak dua qullah atau lebih
  • 2. Jumlah air kurang dari dua qullah
Berikut penjelasannya :

A. Jumlah Air Dua Qullah

Apabila jumlah air dua qullah atau lebih maka ini tidak najis, karena air yang lebih dari dua qullah akan sangat sulit dipengaruhi oleh najis. Berdasarkan hadits :

إِذَا كَانَ المَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَثَ

Ketika air itu banyaknya dua qullah maka tidak memuat najis.[26]

B. Jumlah Air Kurang dari Dua Qullah

Apabila jumlah air kurang dari dua qullah maka ini diperselisihkan oleh para ulama’ tentang status kenajisannya.

Pendapat pertama mengatakan tidak najis, berdasrkan hadits :

إِنَّ المَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci mensucikan dan sesuatu tidak menjadikannya najis.”[27]

Berdasarkan hadits ini menunjukkan berapapun jumlah airnya bila tercampur benda najis selama tidak berubah sifat aslinya meskipun dibawah dua qullah, maka tetap suci.

Sedangkan pendapat yang kedua hukumnya najis, berdasarkan hadits :

إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا

Ketika ada anjing minum di wadah air salah seorang diantara kalian maka cucilah tujuh kali.[28]

Berdasarkan hadits ini kita mengetahui bahwa ketika anjing minum disebuah wadah minuman maka kita diperintahkan untuk mencucinya sebanyak tujuh kali. 

Padahal kita mengetahui bahwa apabila air dalam wadah (dengan air yang jumlahnya sedikit) dijilat oleh anjing maka tidak merubah sifat air. 

Hal ini menunjukkan bahwa ketika air dibawah dua qullah dimasuki najis walaupun tidak berubah salah satu sifatnya (baik bau, warna dan rasanya) maka memungkinkan mengandung najis.

Lalu manakah pendapat yang terkuat?

Permasalahan ini adalah perselisihan yang kuat dikalangan para ulama’ (baik ulama’ klasik maupun kontemporer). 

Sebagian ulama’ memilih pendapat yang pertama[29] dan sebagian lainnya memilih pendapat yang kedua.[30] Bahkan dikalangan para sahabat dan tabi’in pun juga berselisih dalam hal ini.[31]
 
Apabila kita melihat pendapat yang pertama maka para ulama’ yang memegang pendapat ini berdalil dengan dalil yang tegas. Metode pendalilan ini lebih utama dari pada berdalil dengan pendalilan secara mafhum

Maka dari itu kami lebih cenderung dengan pendapat yang pertama karena cara pendalilan seperti ini lebih utama dari pada pendalilan pendapat yang kedua.

Namun hendaknya kita tetap menghormati pendapat lain karena perselisihan dalam permasalahan ini sangatlah kuat dikalangan para ulama’. Wallaahu a’lam.

Kesimpulan Air Najis

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa apabila air itu terkena najis sehingga merubah salah satu sifat air baik itu warna, bau, dan rasanya maka hukumnya najis. Namun bila tidak berubah sifatnya maka ia tetap suci baik air itu banyak ataupun sedikit.

Oleh : Adam Rizkala


[1] Lihat : Al-Muqni’ hal. 23
[2] QS. Al Furqon : 48
[3] QS. Al Anfal : 11
[4] HR. Muslim no. 476
[5] HR. Tirmidzi no. 69
[6] HR. Ibnu Majah no. 378
[7] Lihat : Al-Kafi 1/20
[8] Diterjemahkan secara bebas dalam kitab Al-Kafi 1/22 - 23
[9] HR. Tirmidzi no. 66
[10] Diterjemahkan secara bebas dari kitab Al-kafi 1/19 dan pada komentar no. 30
[11] HR. Ibnu Majah no. 521 hadits ini lemah menurut Syaikh Albani.
[12] Terdapat perbedaan ukuran dikalangan para ulama’. Apabila digenapkan maka menjadi sekitar 200 – 300 liter.
[13] HR. Tirmidzi no. 67
[14] Lihat : Majmu’ Al-Fatawa 21/25
[15] Lihat : Majmu’ Al-Fatawa 21/25
[16] HR.Bukhari no. 194
[17] HR. Ibnu Majah no. 370
[18] HR. Ibnu Majah no. 663 hadits ini lemah menurut Syaikh Albani.
[19] Lihat : Al-Mughni 1/31-32
[20] Lihat : Al-Mughni 1/31
[21] HR. Muslim no. 283
[22] Lihat : Al-Mughni 1/34
[23] Lihat : Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab1/154
[24] Lihat : Al-Muqni’ hal. 23
[25] Lihat : Al-Kafi hal. 28
[26] HR. Tirmidzi no. 67
[27] HR. Tirmidzi no. 66
[28] HR. Bukhari no. 172
[29] Seperti salah satu riwayat dari Imam Malik, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan sebagian ulama’ Syafi’iyyah.
[30] Seperti para ulama’ Hanafiyah, madzhab Syafi’iyyah, pendapat masyhur di kalangan Hanabilah, salah satu riwayat dari Imam Malik.
[31] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 39/367 – 368.

Sumber https://www.nasehatquran.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel