Cara Membayar Fidyah dengan Beras
Cara Membayar Fidyah – Bulan Ramadhan adalah bulan dimana setiap orang-orang yang beriman diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Ibadah puasa adalah salah satu ibadah yang diletakkan dalam rukun Islam.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa Islam dibangun atas lima perkara, yang mana salah satu perkara itu adalah berpuasa.
Maka bagi seorang mukmin yang meninggalkan puasa berarti ia telah melepas salah satu bagian dari bangunan Islamnya.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa Islam dibangun atas lima perkara, yang mana salah satu perkara itu adalah berpuasa.
Maka bagi seorang mukmin yang meninggalkan puasa berarti ia telah melepas salah satu bagian dari bangunan Islamnya.
Lalu bagaimana apabila ternyata diantara kita ada seorang yang tidak mampu berpuasa? Apakah puasa tetap diwajibkan baginya? Tentu saja tidak. Maka dari itulah dalam Islam disyariatkan membayar fidyah.
Berikut ini penjelasan bagaimana cara membayar fidyah dan siapa saja yang diwajibkan untuk membayar fidyah.
1. Asal Usul Fidyah
Sebelum kita bahas siapa saja yang diwajibkan membayar fidyah, kita ulas sedikit mengenai sejarah tentang masalah fidyah :
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Al-Quran tidak diturunkan dalam satu waktu sekaligus. Akan tetapi Al-Quran diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur.
Pada mulanya puasa yang diwajibkan adalah puasa ‘Asyura. Sebelum ayat tentang puasa turun, orang-orang Jahiliyah berpuasa Asyura’ sehingga Nabi pun memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa Asyura’.
Setelah ayat tentang puasa turun maka Nabi mempersilahkan siapa yang hendak berpuasa maka berpuasa, dan siapa yang hendak tidak berpuasa maka silahkan tidak berpuasa asalkan ia membayar fidyah.
Sebagaimana yang diriwayatkan di dalam shahih Bukhari :
Pada mulanya puasa yang diwajibkan adalah puasa ‘Asyura. Sebelum ayat tentang puasa turun, orang-orang Jahiliyah berpuasa Asyura’ sehingga Nabi pun memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa Asyura’.
Setelah ayat tentang puasa turun maka Nabi mempersilahkan siapa yang hendak berpuasa maka berpuasa, dan siapa yang hendak tidak berpuasa maka silahkan tidak berpuasa asalkan ia membayar fidyah.
Sebagaimana yang diriwayatkan di dalam shahih Bukhari :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ قَبْلَ رَمَضَانَ فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ قَالَ: مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Dari ‘Aisyah radliyallahu anha, dahulu puasa Asyura’ diwajibkan sebelum puasa Ramadan. Ketika turun ayat puasa Ramadhan, beliau bersabda : Barang siapa yang menghendaki silahkan berpuasa, barang siapa yang mengendaki silahkan berbuka.
عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} [البقرة: 184]. كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ، حَتَّى نَزَلَتِ الآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
Dari Salamah ia berkata : Ketika turun ayat :
{Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.} [Q.S Al-Baqoroh : 184]
maka barang siapa yang berkehendak boleh tidak berpuasa akan tetapi wajib membayar fidyah, hingga turunlah ayat yang mengganti hukum fidyah. (HR. Bukhari : 4507)
{Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.} [Q.S Al-Baqoroh : 184]
maka barang siapa yang berkehendak boleh tidak berpuasa akan tetapi wajib membayar fidyah, hingga turunlah ayat yang mengganti hukum fidyah. (HR. Bukhari : 4507)
Sebagaimana yang kita ketahui pada hadits tersebut, bahwa dahulu siapa yang ingin tidak berpuasa maka dipersilahkan asalakan ia membayar fidyah.
Maka ayat tentang kebolehan tidak berpuasa dan fidyah inipun dimansukh (diganti hukumnya) dengan ayat diwajibkannya siapapun yang berjumpa dengan bulan Ramadhan maka hendaknya berpuasa.
Maka ayat tentang kebolehan tidak berpuasa dan fidyah inipun dimansukh (diganti hukumnya) dengan ayat diwajibkannya siapapun yang berjumpa dengan bulan Ramadhan maka hendaknya berpuasa.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَرَأَ: (فِدْيَةُ طَعَامِ مَسَاكِينَ) قَالَ: هِيَ مَنْسُوخَةٌ
Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia membaca ayat :
(membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin)
ia mengatakan : ayat ini mansukh (tidak berlaku secara hukum/hukumnya diganti dengan hukum yang lain) (HR. Bukhari : 1949)
(membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin)
ia mengatakan : ayat ini mansukh (tidak berlaku secara hukum/hukumnya diganti dengan hukum yang lain) (HR. Bukhari : 1949)
Adapun ayat yang mengganti hukum fidyah adalah :
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“. . . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu . . .” (Q.S Al-Baqoroh : 185)
Maka berdasarkan ayat tersebut, ayat tentang fidyah sudah tidak berlaku. Karena ayat tersebut memberikan pengertian bahwa siapapun yang menjumpai bulan Ramadhan hendaknya ia berpuasa.
Namun, menurut ibnu Katsir ayat tersebut tidak sepenuhnya dinasakh. Berdasarkan apa yang dinukil dari ibnu Abbas, ayat itu adalah rukhsah bagi orang-orang yang benar-benar tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa.
عَنْ عَطَاءٍ، سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فَلاَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيرُ، وَالمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari Atho’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat, :
{Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin}
Ibnu Abbas mengatakan : Ayat ini tidak mansukh. Ayat ini (diperuntukkan) lelaki dan perempuan yang sudah tua, yang mana mereka tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan satu orang miskin setiap hari (HR. Bukhari : 4505)
{Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin}
Ibnu Abbas mengatakan : Ayat ini tidak mansukh. Ayat ini (diperuntukkan) lelaki dan perempuan yang sudah tua, yang mana mereka tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan satu orang miskin setiap hari (HR. Bukhari : 4505)
عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} [البقرة: 184] يُطِيقُونَهُ: يُكَلَّفُونَهُ، فِدْيَةٌ: طَعَامُ مِسْكِينٍ وَاحِدٍ، فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا طَعَامُ مِسْكِينٍ آخَرَ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ، وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ، لَا يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلَّا لِلَّذِي لَا يُطِيقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٍ لَا يُشْفَى
Dari Atho’ dari Ibnu Abbas, dalam firman-Nya azza wajalla :
{Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin} [Q.S Al-Baqoroh : 184)
“berat menjalankannya” maksudnya adalah ia dibebani fidyah : (yaitu) memberi makan satu orang miskin,
“dan barang siapa yang dengan kerelaan hati berbuat kebajikan” maksudya memberi makan orang miskin yang lain tidak mansukh
“maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu” dalam hal ini tidaklah diberi keringanan kecuali orang yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. (HR. An-Nasaiy : 2317)
{Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin} [Q.S Al-Baqoroh : 184)
“berat menjalankannya” maksudnya adalah ia dibebani fidyah : (yaitu) memberi makan satu orang miskin,
“dan barang siapa yang dengan kerelaan hati berbuat kebajikan” maksudya memberi makan orang miskin yang lain tidak mansukh
“maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu” dalam hal ini tidaklah diberi keringanan kecuali orang yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. (HR. An-Nasaiy : 2317)
2. Orang yang Diwajibkan Membayar Fidyah
Maka dari poin sebelumnya bisa kita simpulkan bahwa yang tidak wajib berpuasa akan tetapi ia wajib membayar fidyah adalah :- Laki-laki maupun perempuan yang sudah tua renta dan benar-benar tidak mampu berpuasa.
- Orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
- Adapun untuk wanita hamil dan menyusui terdapat perselisihan diantara ulama’. Syafi’iyah, Hanabilah, dan Malikiyah sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui membayar fidyah dan juga menqodlo puasa. Merek berdalil dengan keumuman ayat dan perkataan ibnu Abbas di atas. Adapun hanafiyah tidak mewajibkan fidyah secara mutlak bagi keduanya. (Lihat : Al-Fiqu Al-Islamiy wa Adillatuh Juz 2 hal. 288)
Namun, apabila kita melihat kondisi saat ini, maka ibu hamil dan menyusui sudah dimudahkan dengan susu formula dan makanan bernutrisi.
Maka lebih baiknya ibu hamil dan menyusui tetap berpuasa dan apabila tidak berpuasa maka hendaknya menqodlo dihari lain. Selain itu hadits tentang fidyah untuk ibu hamil dan menyusui yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dinilai syadz oleh Syaikh Albani.
Maka lebih baiknya ibu hamil dan menyusui tetap berpuasa dan apabila tidak berpuasa maka hendaknya menqodlo dihari lain. Selain itu hadits tentang fidyah untuk ibu hamil dan menyusui yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dinilai syadz oleh Syaikh Albani.
3. Takaran Membayar Fidyah dengan Beras
Apabila kita melihat dalil-dalil yang ada, belum kami jumpai dalil qot’i yang menentukan kadar fidyah secara pasti. Maka dari sini para ulama’ berijtihad dan terbagi menjadi beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Syafi’iyyah dan Malikiyah berpendapat bahwa takaran fidyah adalah satu mud (sekitar ¾ kilogram) perhari. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i
2. Sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa takaran fidyah ialah satu sho’ (sekitar 3 kilogram) kurma atau gandum, atau setengah sho’ biji gandum. Hal itu dibayar setiap hari ia tidak berpuasa, memberikan makan satu orang miskin.
3. Menurut Hanabilah satu mud biji gandum, atau setengah sho’ kurma, atau gandum.
(Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Juz 32 hal. 67)
Namun, hal ini kita kembalikan pada kebiasaan (urf) makanan di wilayah masing-masing. Pembayaran bisa berupa makanan apapun tergantung disetiap wilayah.
Adapun ukurannya menyesuaikan sehingga dapat mengenyangkan dan cukup untuk makan dalam sehari. Maka untuk di Indonesia dapat kita kriteriakan sebagai berikut :
1. Fidyah boleh berupa beras atau makanan pokok lain sesuai dengan daerah masing-masing.
2. Fidyah juga boleh berupa makanan pokok yang sudah masak.
3. Takaran fidyah paling sedikit diperkirakan cukup untuk makan satu orang dalam sehari (lebih dari itu maka tidak mengapa).
Adapun ukurannya menyesuaikan sehingga dapat mengenyangkan dan cukup untuk makan dalam sehari. Maka untuk di Indonesia dapat kita kriteriakan sebagai berikut :
1. Fidyah boleh berupa beras atau makanan pokok lain sesuai dengan daerah masing-masing.
2. Fidyah juga boleh berupa makanan pokok yang sudah masak.
3. Takaran fidyah paling sedikit diperkirakan cukup untuk makan satu orang dalam sehari (lebih dari itu maka tidak mengapa).
4. Cara Membayar Fidyah
Adapun membayar fidyah boleh dibayar dihari itu juga dimana seseorang tidak berpuasa di hari itu. Mayoritas ulama’ tidak membolehkan mendahulukan membayar fidyah sebelum jatuhnya bulan Ramadhan.
Imam Nawawi mengatakan (dalam Al-Majmu’) kami menyepakati bahwa tidak diperbolehkan membayar fidyah sebelum masuk bulan Ramadhan.
Imam Nawawi mengatakan (dalam Al-Majmu’) kami menyepakati bahwa tidak diperbolehkan membayar fidyah sebelum masuk bulan Ramadhan.
Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas yang telah dijelaskan diatas adalah bahwa fidyah dibayarkan setiap hari memberi makan satu orang miskin.
Fidyah boleh berupa makanan yang sudah dimasak maupun belum dimasak. Adapun apabila sudah dimasak maka itu lebih afdhol.
Diperbolehkan juga mengundang orang miskin untuk makan dirumah. Bahkan apabila lebih dari satu orang miskin lebih baik sebagaimana yang firmankan oleh Allah :
Fidyah boleh berupa makanan yang sudah dimasak maupun belum dimasak. Adapun apabila sudah dimasak maka itu lebih afdhol.
Diperbolehkan juga mengundang orang miskin untuk makan dirumah. Bahkan apabila lebih dari satu orang miskin lebih baik sebagaimana yang firmankan oleh Allah :
فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ
“. . . Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya . . .” (Q.S Al-Baqoroh : 184)
Fidyah tidak boleh digantikan dengan uang sebagaimana zakat fitrah yang tidak boleh diganti dengan uang, karena dalam firman Allah telah jelas bahwa fidyah itu berupa makanan.
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“. . . membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin . . .” (Q.S Al-Baqarah : 184)
Oleh : Adam Rizkala
Sumber https://www.nasehatquran.com/