Tata Cara Adzan Berdasarkan Sunnah dan Penjelasan Ahli Fikih


 Adzan merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan dalam Islam Tata Cara Adzan Berdasarkan Sunnah dan Penjelasan Ahli Fikih
Tata Cara Adzan – Adzan merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Adzan berfungsi sebagai tanda tibanya waktu-waktu shalat. 

Pada periode awal Islam, adzan belum disyariatkan sebagai penanda waktu shalat. Sehingga kaum muslimin saat itu kesulitan untuk mengetahui waktu shalat. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah bersama para sahabatnya untuk menentukan apa yang dapat menandai tibanyaa waktu shalat. 

Lalu, Abdullah bin Zaid radhiyallaahu ‘anhum bermimpi mendengar suara adzan dan melaporkan mimpi itu pada Rasulullah. Akhirnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyetujui adzan tersebut untuk digunakan sebagai penanda tibanya waktu shalat.


A. Pengertian, Hukum, Syarat dan Lafadz Adzan

Sebelum kita mengamalkan suatu ibadah, hendaknya kita mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Berikut ini akan kita bahas bersama tata cara adzan mulai dari pengertian dari adzan itu sendiri, hukum taklifnya, serta lafadz-lafadznya :

Pengertian Adzan

Secara bahasa Adzan berarti pemberitahuan, adapun adzan secara syar’i adalah :

إعْلَامٌ بِدُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ أَوْ قُرْبِهِ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوصَةٍ وَيُطْلَقُ عَلَى الْأَلْفَاظِ الْمَخْصُوصَةِ أَيْضًا

Pemberitahuan masuknya atau dekatnya[1] waktu shalat wajib dengan lafadz-lafadz khusus dan dimaksudkan pula atas lafadz-lafadz yang khusus[2]

Hukum Mengumandangkan Adzan

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ (متفق عليه)

Ketika datang waktu shalat maka hendaknya salah seorang kalian mengumandangkan adzan (Muttafaq Alaih)

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut para ulama’ menyimpulkan bahwa hukum mengumandakan adzan adalah fardhu kifayah. Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan dalam kitabnya Al-Kafi :

الأذان مشروع للصلوات الخمس دون غيرها، وهو من فروض الكفاية؛ لأنه من شعائر الإسلام الظاهرة، فلم يجز تعطيله، كالجهاد، فإن اتفق أهل بلد على تركه، قوتلوا عليه، وإن أذن واحد في المصر أسقط الفرض عن أهله

Adzan itu disyariatkan untuk shalat lima waktu saja, dan hukumnya adalah fardhu kifayah; karena ia termasuk syi’ar Islam yang tampak, dan tidak boleh ditiadakan, sebagaimana hukumnya berjihad (yang juga fardhu kifayah). 

Apabila ada suatu negara bersepakat tidak melaksanakannya maka wajib diperangi. Dan apabila salah seorang sudah mengumandangkan adzan pada suatu tempat maka gugurlah kewajiban penduduk di tempat tersebut.[3]

Demikian pula Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan dalam kitabnya Mulakhos Al-Fiqh : 

والأذان والإقامة فرض كفاية ما يلزم جميع المسلمين لإقامته، فإذا قام به من يكفي؛ سقط الإثم عن الباقين

Adzan dan Iqamat hukumnya fardhu kifayah yang mana harus dikerjakan oleh seluruh kaum muslimin, ketika salah seorang telah mengerjakannya maka kewajiban itu gugur bagi yang lainnya.[4]

Syarat-syarat Adzan[5]

Adapun syarat dikumandangkannya adzan adalah sebagai berikut :

1. Tertib/Berurutan

Adzan hendaknya dilakukan dengan tertib, yakni sesuai urutan yang telah diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Jumhur ulama’ menilai bahwa tertib dalam pelafalan adzan hukumnya wajib, tidak boleh adzan dilafadzkan secara acak. Imam Ibnu Qudamah mengatakan :

وَلَا يَصِحُّ الْأَذَانُ إلَّا مُرَتَّبًا؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ يَخْتَلُّ بِعَدَمِ التَّرْتِيبِ، وَهُوَ الْإِعْلَامُ، فَإِنَّهُ إذَا لَمْ يَكُنْ مُرَتَّبًا، لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ أَذَانٌ، وَلِأَنَّهُ شُرِعَ فِي الْأَصْلِ مُرَتَّبًا، وَعَلَّمَهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَبَا مَحْذُورَةَ مُرَتَّبًا

Tidaklah sah adzan tanpa tertib, karena tujuan darinya menjadi tidak teratur sebab tidak tertib, sedangkan adzan adalah pemberitahuan. Apabila adzan tidak tertib maka tidak dapat diketahui bahwa itu adalah adzan, karena ia asalnya disyariatkan dengan tertib dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pun mengajarkan adzan pada Abu Mahdzurah dengan tertib.[6]

2. Al-Muwaalah[7] dalam Adzan

Yaitu hendaknya tidak melakukan kegiatan baik perkataan maupun perbuatan saat diam sebentar diantara kalimat-kalimat adzan. Berikut penjelasannya :

وَلَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي أَثْنَاءِ الْأَذَانِ وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: لَمْ نَعْلَمْ أَحَدًا يَقْتَدِي بِهِ فَعَلَ ذَلِكَ. وَرَخَّصَ فِيهِ الْحَسَنُ، وَعَطَاءٌ، وَقَتَادَةُ، وَسُلَيْمَانُ بْنُ صُرَدٍ. فَإِنْ تَكَلَّمَ بِكَلَامٍ يَسِيرٍ جَازَ. وَإِنْ طَالَ الْكَلَامُ بَطَلَ الْأَذَانُ؛ لِأَنَّهُ يَقْطَعُ الْمُوَالَاةَ الْمَشْرُوطَةَ فِي الْأَذَانِ، فَلَا يُعْلَمُ أَنَّهُ أَذَانٌ. وَكَذَلِكَ لَوْ سَكَتَ سُكُوتًا طَوِيلًا، أَوْ نَامَ نَوْمًا طَوِيلًا، أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ، أَوْ أَصَابَهُ جُنُونٌ يَقْطَعُ الْمُوَالَاةَ، بَطَلَ أَذَانُهُ

Dan tidaklah disenangi apabila muadzin berbicara saat adzan, dan sebagian ahli ilmu telah memakruhkannya. Al-Auzaa’iy berkata : “Kami tidak mengetahui seorangpun yang mengikuti itu mengerjakan hal itu (maksudnya berbicara saat adzan).” 

Namun, hal ini rukhushah menurut Al-Hasan, Atho’, Qotadah, dan Sulaiman bin Shurod, (yakni) apabila berbicaranya ringan maka boleh. 

Akan tetapi bila bicaranya lama maka adzannya batal karena ia telah memotong Al-Muwaalaah yang dipersyaratkan dalam adzan, sehingga tidak diketahui bahwa itu adalah adzan. 

Demikian pula bila muadzin diam sangat lama, atau tertidur sangat lama, atau pingsan, atau kesurupan maka terpotonglah Al-Muwaalaah, dan adzannya pun batal.[8]

3. Telah Masuk Waktu Shalat

Tidaklah sah adzan yang dikumandangkan sebelum waktu shalat, kecuali shalat subuh. Adapun shalat subuh maka syarat ini tidak berlaku karena adzan shalat subuh boleh dilakukan sebelum masuknya waktu shalat subuh agar orang-orang bisa segera bersiap siap. 

Tetapi hendaknya adzan dikumandangkan lagi ketika telah memasuki waktu shalat subuh agar orang-orang mengetahui waktu shalat subuh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar :

أَنَّ بِلَالًا أَذَّنَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْجِعَ فَيُنَادِيَ (رواه أبو داود)

Sesungguhnya Bilal adzan sebelum terbitnya fajar, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengulanginya lagi lalu bilal pun adzan. (HR. Abu Dawud : 532)

4. Terhindar dari Lahn[9]

Adapun lahn yang membatalkan adzan adalah lahn yang berat, yakni lahn yang merubah makna kalimat.

اللَّحْنُ الَّذِي يُغَيِّرُ الْمَعْنَى فِي الأَذَانِ كَمَدِّ هَمْزَةِ اللَّهُ أَكْبَرُ أَوْ بَائِهِ يُبْطِل الأَذَانَ

Lahn yang merubah makna dalam adzan seperti memanjangkan huruf hamzah atau huruf ba’ pada kalimat “Allahu Akbar” maka adzannya batal.[10]

Sedangkan lahn yang ringan dan tidak merubah makna maka hukumnya adalah makruh. Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitabnya Al-Mughni :

وَيُكْرَهُ اللَّحْنُ فِي الْأَذَانِ فَإِنَّهُ رُبَّمَا غَيَّرَ الْمَعْنَى

Dan dimakruhkan lahn di dalam adzan karena ia bisa jadi merubah makna[11]

Namun apabila lahn itu terjadi para orang yang cadel maka tidak mengapa, karena bilal pun juga termasuk cadel dalam melafadzkan huruf syin. Ibnu Qudamah menerangkan dalam kitabnya Al-Mughni :

فَأَمَّا إنْ كَانَ أَلْثَغَ لُثْغَةً لَا تَتَفَاحَشُ، جَازَ أَذَانُهُ، فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ بِلَالًا كَانَ يَقُولُ "أَسْهَدُ" يَجْعَلُ الشِّينَ سِينًا. وَإِنْ سَلِمَ مِنْ ذَلِكَ كَانَ أَكْمَلَ وَأَحْسَنَ

Adapun apabila ia cadel yang mana cadelnya bukan perbuatan yang keji (disengaja) maka adzannya diperbolehkan. Hal ini telah diriwayatkan bahwa bilal mengucapkan أَسْهَدُ (ketika adzan) yakni yang seharusnya ia mengucapkan huruf “syin” malah terucap menjadi “sin”. Akan tetapi apabila selamat dari hal itu maka lebih sempurna dan lebih baik.[12]

5. Lafadz-lafadz dan Hitungan Sesuai dengan Sunnah

Hendaknya adzan dikumandangkan dengan lafadz-lafadz yang sudah ditentukan dalam sunnah. 

Tidaklah sah adzan yang dikumandangkan dengan lafadz yang lain atau menambah pengulangan lafadznya, seperti takbir sebanyak 5x dsb. Demikian pula apabila mengumandangkannya dengan bahasa selain Arab, maka ini tidak sah.

Lafadz-lafadz Adzan

1. Adzan Bilal bin Rabah[13]

Adalah adzan yang dilihat oleh Abdullah bin Zaid dalam mimpinya. Kemudian Abdullah bin Zaid melaporkan mimpi itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan beliau membenarkan mimpi itu. Lalu beliau memerintahkan Abdullah bin Zaid untuk mengajarkan adzan itu kepada Bilal bin Rabah. Adzan ini terdiri dari 15 kalimat, yaitu sebagai berikut :

اللَّهُ أَكْبَرُ
(Allah Maha Besar)
 
اللَّهُ أَكْبَرُ
(Allah Maha Besar)
 
اللَّهُ أَكْبَرُ
(Allah Maha Besar)
 
اللَّهُ أَكْبَرُ
(Allah Maha Besar)
 
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
(Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah)

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
(Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah)

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)

حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
(Marilah menunaikan shalat)

حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
(Marilah menunaikan shalat)

حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
(Marilah menujuk kemenangan)

حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
(Marilah menujuk kemenangan)

اللَّهُ أَكْبَرُ
(Allah Maha Besar)

اللَّهُ أَكْبَرُ
(Allah Maha Besar)

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
(Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah)

2. Adzan Abu Mahdzurah[14]

Adalah adzan yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Mahdzurah ketika ia meminta pada Nabi agar mengajarkannya sunnah adzan. Terdiri dari kalimat-kalimat sebagai berikut :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

Kedua takbir tersebut dikumandangkan dengan suara yang keras. Setelah itu mengucapkan kalimat dua syahadat dibawah ini dengan suara pelan tetapi tetap terdengar orang lain (seperti berbisik) :

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Kemudian mengucapkan kalimat syahadat lagi (hal ini disebut dengan الترجيع tarjii’) dengan mengeraskan suara :

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

Lalu khusus adzan subuh disunnahkan mengucapkan tatswib, yakni :

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
(Shalat lebih baik dari pada tidur)

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
(Shalat lebih baik dari pada tidur)

Lalu dilanjut lagi dengan kalimat takbir dan tahlil :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

B. Syarat-syarat Wajib dan Mustahabbah[15]

Adzan adalah ibadah yang mulia. Maka hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat yang wajib dan syarat-syarat yang dianjurkan agar dimiliki oleh seorang muadzin. 

Terkadang kita jumpai masjid-masjid di negeri kita yang adzannya dikumandangkan terkesan asal-asalan dan tidak serius. Hal ini biasanya disebabkan kurangnya perhatian terhadap syarat-syarat dan sifat-sifat yang dianjurkan agar dimiliki oleh seorang muadzin.

Berikut ini akan kami paparkan syarat-syarat yang wajib dimiliki oleh seorang muadzin dan sifat-sifat yang dianjurkan agar dimiliki oleh seorang muadzin serta anjuran-anjuran lainnya yang berkaitan dengan adzan :

Syarat Wajib

1. Muslim

وَلَا يَصِحُّ الْأَذَانُ إلَّا مِنْ مُسْلِمٍ عَاقِلٍ ذَكَرٍ، فَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمَجْنُونُ، فَلَا يَصِحُّ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا لَيْسَا مِنْ أَهْلِ الْعِبَادَاتِ

Tidaklah sah adzan kecuali dikumandangkan oleh seorang muslim yang berakal dan lelaki. Adapun orang kafir dan orang gila maka tidak sah karena mereka bukan ahlul ibaadaat.[16]

2. Berakal

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ، وَعَنِ المَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ
Pena (untuk mencatat amal) diangkat dari tiga hal : (yaitu) orang yang tidur sampai ia terbangun, anak kecil sampai muda (baligh), dan orang gila sampai ia berakal.[17]

3. Laki-laki

وَلَا يُعْتَدُّ بِأَذَانِ الْمَرْأَةِ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِمَّنْ يُشْرَعُ لَهُ الْأَذَانُ، فَأَشْبَهَتْ الْمَجْنُونَ، وَلَا الْخُنْثَى؛ لِأَنَّهُ لَا يُعْلَمُ كَوْنُهُ رَجُلًا. وَهَذَا كُلُّهُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ. وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا

Dan adzannya wanita tidaklah terhitung karena ia bukan termasuk orang yang disyariatkan untuk mengumandangkan adzan, maka (hukumnya) serupa dengan orang gila.

Demikian pula banci (tidak sah adzannya) karena ia tidak diketahui kelaki-lakiannya. Dan semua ini adalah madzhabnya syafi’i dan kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.[18]

4. Adil[19]

Adzan hendaknya dikumandangkan oleh orang yang adil. Adapun adzan orang fasik maka diperselisihkan apakah ia sah atau tidak. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat :

Pendapat Pertama : Tidak Sah

وَلَا يُعْتَدُّ بِأَذَانِ صَبِيٍّ وَلَا فَاسِقٍ؛ لِأَنَّهُ مَشْرُوعٌ لِلْإِعْلَامِ، وَلَا يَحْصُلُ الْإِعْلَامُ بِقَوْلِهِمَا، لِأَنَّهُمَا مِمَّنْ لَا يُقْبَلُ خَبَرُهُ وَلَا رِوَايَتُهُ. وَلِأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ: لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ خِيَارُكُمْ

Tidaklah sah adzannya anak kecil dan juga orang fasik karena adzan disyariatkan untuk pemberitahuan, sedangkan ucapan mereka berdua tidak menghasilkan pemberitahuan karena mereka berdua termasuk orang yang tidak diterima kabar dan riwayatnya. Dan karena telah diriwayatkan : “Hendaklah adzan orang terpilihnya kalian.”[20]

Pendapat Kedua : Sah

يُعْتَدُّ بِأَذَانِهِ. وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ وَالشَّعْبِيِّ، وَابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَالشَّافِعِيِّ. وَرَوَى ابْنُ الْمُنْذِرِ، بِإِسْنَادِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ عُمُومَتِي يَأْمُرُونَنِي أَنْ أُؤَذِّنَ لَهُمْ وَأَنَا غُلَامٌ، وَلَمْ أَحْتَلِمْ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ شَاهِدٌ لَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ. وَهَذَا مِمَّا يَظْهَرُ وَلَا يَخْفَى، وَلَمْ يُنْكَرْ، فَيَكُونُ إجْمَاعًا، وَلِأَنَّهُ ذَكَرٌ تَصِحُّ صَلَاتُهُ، فَاعْتُدَّ بِأَذَانِهِ، كَالْعَدْلِ الْبَالِغِ

Sah adzannya. Hal ini adalah perkataan ‘Atho’, Asy-Sya’biy, Ibnu Abii Lailii, dan Asy-Syafi’i. Dan diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dengan isnadnya dari Abdullah bin Abu Bakar bin Anas ia berkata : 

Paman-pamanku menyuruhku adzan untuk mereka dan saat itu aku adalah anak kecil yang belum baligh sementara Anas bin Malik menyaksikannya dan tidak mengingkarinya. 

Dan hal ini dari apa yang tampak dan tidak samar, dan tidak diinkari, maka jadilah ijma’, karena ia laki-laki yang sah shalatnya sehingga adzannyapun sah sebagaimana orang yang adil dan baligh.[21]

Dari kedua pendapat tersebut maka kami mengambil kesimpulan :
  • Mengenai sah tidaknya anak kecil (yang sudah mumayyiz) maka yang lebih kuat adalah sah karena didukung adanya dalil riwayat tidak diingkarinya abdullah ketika mengumandangkan adzan sedangkan ia masih anak-anak.
  • Sedangkan mengenai orang fasik maka yang terkuat adalah sah namun tetap makruh hukumnya. Adapun dalil sahnya adalah bahwa shalat orang fasik juga diterima dan sah maka adzannyapun juga sah.
  • Adapun untuk lebih amannya maka hendaknya kita keluar dari perselisihan tersebut dengan mengutamakan muadzin yang sudah baligh dan adil. Wallahu a’lam.

5. Mumayyiz[22]

الصَّبِيُّ غَيْرُ الْعَاقِل (أَيْ غَيْرُ الْمُمَيِّزِ) لاَ يَجُوزُ أَذَانُهُ بِاتِّفَاقٍ

Anak kecil yang belum berakal (yaitu yang belum mumayyiz) tidak sah adzannya berdasarkan kesepakatan para ulama’.[23]

Adapun dalil tidak sahnya adzan anak kecil yang belum mumayyiz adalah karena mereka disamakan dengan orang yang belum berakal. Dan ibadah orang yang tidak berakal tidaklah sah berdasarkan hadits yang telah kami paparkan pada syarat kedua.

Syarat-syarat Mustahabbah

1. Bersuara Keras dan Bagus

Termasuk sifat yang hendaknya dimiliki oleh seorang muadzin adalah memiliki suara yang keras dan bagus. 

وَيُسَنُّ كَوْنُ الْمُؤَذِّنِ صَيِّتًا أَيْ: رَفِيعَ الصَّوْتِ، لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِهِ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْك»

Dan disunnahkan muadzin memiliki suara yang keras, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abdullan bin Zaid : Berdirilah bersama bilal dan ajarkanlah adzan itu padanya karena ia lebih lantang suaranya daripada engkau.[24]

2. Adzan dengan Berdiri

Termasuk sunnah dalam adzan adalah seorang muadzin mengumandangkannya dengan keadaan berdiri. Ibnu Qudamah menjelaskan :

يستحب أن يؤذن قائماً، لقول النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لبلال: قم فأذن

Disenangi adzan dengan berdiri, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda pada bilal : “Berdiri, lalu adzanlah”[25]

3. Dalam Keadaan Berwudlu

ويستحب أن يؤذن متوضئاً، لأن أبا هريرة قال: لا يؤذن إلا متوضئ ، وروي مرفوعاً، أخرجه الترمذي

Dan disenangi apabila seseorang adzan dalam keadaan berwudlu, karena Abu Hurairah mengatakan : “Janganlah adzan kecuali orang yang sudah berwudlu” [26] Diriwayatkan secara marfu’ dan di keluarkan oleh At-Tirmidzi[27]

4. Menghadap Kiblat

الْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ، لَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا؛ فَإِنَّ مُؤَذِّنِي النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانُوا يُؤَذِّنُونَ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ

Adapun yang disenangi adalah adzan dengan menghadap kiblat, dan kami tidak mengetahui perselisihan mengenai hal itu. Karena sesungguhnya muadzin-muadzinnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mereka dahulu adzan dengan menghadap kiblat.[28]

5. Mengumandangkan di Tempat yang Tinggi

Disunnahkan seorang muadzin adzan ditempat yang tinggi agar suara lebih terdengar. Adapun di zaman ini maka dianjurkan menggunakan pengeras suara.

وأن يؤذن على موضع عال، لأنه أبلغ في الإعلام. وروي أن بلالاً كان يؤذن على سطح امرأة، ويرفع صوته

Juga disenangi adzan ditempat yang tinggi karena lebih mengena dalam hal pemberitahuan. Diriwayatkan bahwa bilal adzan di atas atap rumah seorang wanita[29] dan ia mengeraskan suaranya.[30]

6. Menghadapkan Kepala ke Kanan dan Kiri, dan Menaruh Kedua Jari di Kedua Telinga

ويستحب أن يؤذن مستقبل القبلة، ويلتفت يميناً إذا قال: حي على الصلاة، ويساراً إذا قال: حي على الفلاح، ولا يزيل قدميه، ويجعل إصبعيه في أذنيه، لما روى أبو جحيفة قال: أتيت النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهو في قبة حمراء من أدم، وأذن بلال، فجعلت أتتبع فاه ههنا وههنا، يقول يميناً وشمالاً: حي على الصلاة، حي على الفلاح

Disenangi apabila adzan menghadap kiblat, dan menoleh kekanan ketika mengucapkan “حي على الصلاة” dan ke kiri ketika mengucapkan “حي على الفلاح” tanpa menggeserkan kedua kaki, dan (disenangi pula) menaruh kedua jari di kedua telinga. 

Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Juhaifah ia berkata : “Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau berada di kubbah merah dari kulit, sedangkan bilal adzan. Lalu aku berusaha mengikuti mulutnya kesana dan kemari, ia menghadap kanan dan kiri seraya mengucap حي على الصلاة, حي على الفلاح[31]

7. Mengumandangkan dengan Perlahan

Adzan hendaknya dikumandangkan dengan perlahan-lahan dan tidak terburu-buru. Tujuannya adalah agar orang-orang lebih mudah mengetahui adanya adzan. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

إذَا أَذَّنْتَ فَتَرَسَّلْ

Ketika engkau adzan maka perlahan-lahanlah[32]

8. Mengumandangkan di Awal Waktu

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ، لِيَعْلَمَ النَّاسُ، فَيَأْخُذُوا أُهْبَتَهُمْ لِلصَّلَاةِ. وَرَوَى جَابِرُ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ: كَانَ بِلَالٌ لَا يُؤَخِّرُ الْأَذَانَ عَنْ الْوَقْتِ، وَرُبَّمَا أَخَّرَ الْإِقَامَةَ شَيْئًا. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ

Dan disenangi apabila adzan diawal waktu agar orang-orang mengetahui (waktu shalat) dan mereka bisa bersiap-siap untuk shalat. 

Diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah ia berkata : Bilal tidaklah mengakhirkan adzan dari waktunya, dan kadangkala mengakhirkan iqamahnya.[33]

9. Dapat Dipercaya

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الإِمَامُ ضَامِنٌ، وَالمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، اللَّهُمَّ أَرْشِدِ الأَئِمَّةَ، وَاغْفِرْ لِلْمُؤَذِّنِينَ

Imam adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang dapat kepercayaan. Ya Allah bimbinglah para imam dan ampunilah para muadzin.[34]

Ibnu Qudamah menjelaskan :

ويستحب للمؤذن أن يكون أميناً لأنه مؤتمن على الأوقات

Dan disenangi bagi seorang muadzin apabila ia adalah seorang yang amanah, karena ia bertanggung jawab terhadap waktu-waktu (sholat)[35]

Ringkasan

  • Adzan adalah pemberitahuan waktu shalat dengan lafadz-lafadz khusus
  • Hukum adzan adalah fardhu kifayah
  • Syarat adzan : (1) Berurutan (2) Bersambung (3) Masuk waktu shalat (4) Terhindar dari kesalahan penyebutan yang fatal (5) Dilafadzkan sesuai sunnah.
  • Lafadz adzan  ada dua jenis : (1) Adzan Bilal bin Rabah : Yaitu sebagaimana yang sudah populer dikalangan kita (2) Adzan Abu Mahdzurah : Ada tambahan lafdz berupa pengulangan dua kalimat syahadat (disebut dengan tarji’).
  • Sunnah adzan : menambahkan tatswib setelah hayyalal falaah ketika adzan subuh.
  • Syarat wajib muadzin : (1) Muslim (2) Berakal (3) Laki-laki (4) Adil (5) Mumayyiz.
  • Sunnah-sunnah muadzin : (1) Suara keras dan bagus (2) Adzan dengan berdiri (3) Adzan dalam keadaan berwudlu (4) Menghadap kiblat (5) Mengumandangkan adzan di tempat tinggi (6) Menghadapkan kepala ke kanan dan kiri saat hayyalatain (7) Menaruh dua jari di kedua telinga (8) Mengumandangkan dengan perlahan (9) Mengumandangkan di awal waktu (10) Muadzin adalah orang yang dapat dipercaya.



[1] Dikatakan dekatnya waktu shalat karena kebolehan adzan subuh secara khusus untuk dikumandangkan sebelum waktunya.
[2] Lihat Manhu Al Jalil Syarh Mukhtashar Khalil : 1/196
[3] Lihat Al-Kafi fii Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hambal : 1/199
[4] Lihat Mulakhos Al-Fiqhy : 1/99
[5] Lihat Al-Wardah Syarah Al Umdah : 1/66
[6] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/309
[7] Mengumandangkan adzan dengan cara bersambung-sambung antar kalimat satu dengan kalimat setelahnya tanpa disela-sela dengan perkataan lain dan perbuatan selain adzan.
[8] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/308
[9] Yakni kesalahan pengucapan yang dapat mengakibatkan berubahnya makna pada kalimat.
[10] Lihat Al-Mausu’ah Al Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah : 2/364
[11] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/312
[12] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/312
[13] HR. Abu Dawud no. 499
[14] HR. Abu Dawud no. 500
[15] Lihat Al-Wardah Syarah Al Umdah : 1/67
[16] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/300
[17] HR. Tirmidzi no. 1423
[18] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/300
[19] Adil (العدل) adalah orang yang kebaikannya mendominasi dari pada kejelekannya atau orang yang mempunyai muru’ah yang tidak dicurigai. (Lihat : Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah 5/30)
[20] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/300
[21] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/300
[22] Mumayyiz (المميز) adalah seorang yang telah berakhir masa anak-anaknya dimana ia sudah mengetahui mana mudharat dan mana manfaat.
[23] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 2/367
[24] Lihat Kasyaful Qona’ 1/235
[25] Lihat Al-Kafi fii Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hambal : 1/209
[26] Isnadnya dhaif : dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (201) secara mauquf dari jalur Az-Zuhri dari Abu Hurairah. Dan isnadnya dhaif karena munqathi’ antara Az-Zuhri dan Abu Hurairah.
[27] Lihat Al-Kafi fii Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hambal : 1/211
[28] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/309
[29] Yakni seorang wanita dari Bani Najar
[30] Lihat Al-Kafi fii Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hambal : 1/209 dan riwayat tentang bilal ini disebutkan juga dalam sunan Abu Dawud pada bab adzan di atas menara no. 519
[31] Lihat Al-Kafi fii Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hambal : 1/211 dan riwayat tentang bilal ini disebutkan dalam Shahih Muslim no. 503
[32] HR. Tirmidzi no. 195
[33] Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah : 1/299
[34] HR. Tirmidzi no. 207
[35] Lihat Al-Kafi fii Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hambal : 1/207

Sumber https://www.nasehatquran.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel