Pengertian Tafsir Al Quran, Sejarah, dan Urgensi Mempelajarinya


Allah menurunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia Pengertian Tafsir Al Quran, Sejarah, dan Urgensi Mempelajarinya
Pengertian Tafsir Al Quran Al Quran adalah kalam Allah azza wa jalla yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui perantara malaikat Jibril ‘alaihis salam

Allah menurunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Barang siapa yang menjadikan Al Quran sebagai pedoman utamanya maka ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Sebaliknya, barang siapa yang tidak menjadikan Al Quran sebagai pedomannya maka ia akan mendapatkan kesengsaraan di dunia dan akhirat.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa Allah menurunkan Al Quran kepada Rasul-Nya dengan bahasa Arab. Kita sebagai seorang muslim wajib menjadikannya sebagai pedoman. Agar bisa dijadikan pedoman maka kita perlu mengetahui isinya. 

Namun, kita bukanlah orang yang ahli dalam bahasa Arab. Padahal kita ditunutut untuk mengetahui isinya. Lalu bagaimanakah cara kita mengetahui isinya sementara kita bukanlah orang yang pandai bahasa Arab? 

Maka dari itu mempelajari tafsir Al Quran adalah jalan agar kita dapat mengetahui isi dari Al Quran. Dengan mengetahui isinyalah kita dapat menjadikannya sebagai pedoman.

Berikut ini akan kita bahas bersama tentang pengertian tafsir Al Quran, sejarahnya, hukum mempelajarinya, dan urgensi mempelajarinya di zaman ini.

A. Apa Pengertian Tafsir Al Quran Menurut Para Ulama?

Pengertian Tafsir Al Quran : secara etimologis tafsir berasal dari kata فَسَّرَ – يُفَسِّرُ – تَفْسِيْرًا yang artinya adalah menjelaskan, menerangkan, atau menyingkap. Hal ini semakna dengan apa yang difirmankan oleh Allah ta’ala :

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[1]

Ibnu Abbas menafsirkan kata تَفْسِيرًا adalah تَفْصِيْلًا yang berarti penjelasan atau perincian.

Adapun pengertian tafsir Al Quran secara terminologis, didefinisikan oleh beberapa ulama sebagai berikut :

1. Az-Zarkasyi :

التَّفْسِيرُ عِلْمٌ يُفْهَمُ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ الْمُنَزَّلِ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيَانَ مَعَانِيهِ، وَاسْتِخْرَاجِ أَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ

Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, menjelaskan maknanya, menarik kesimpulan hukum dan hikmahnya.[2]

2. Az-Zurqooni

عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ القُرْآنِ الكَرِيْمِ مِنْ حَيْثُ دَلَالَتِهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ تَعَالَى بِقَدْرِ الطَّاقَةِ البَشَرِيَّةِ

Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al Quran Al karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai apa yang dimaksud oleh Allah ta’ala sebatas kemampuan manusia.[3]

Dari kedua pengertian tersebut kita dapat mengetahui bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang keterangan serta penjelasan terhadap makna dan maksud ayat-ayat Al Quran sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah sebatas kemampuan manusia.

B. Sejarah Perkembangan Tafsir Al Quran[4]

Ilmu tafsir memiliki sejarah perkembangan tersendiri. Dengan mengetahui sejarah perkembangannya, maka kita akan mengetahui bagaimana asal-usul berdirinya ilmu ini. Berikut ini sejarah singkat perkembangan ilmu tafsir Al Quran mulai masa Nabi dan para sahabat hingga masa tadwin :

a. Tafsir di Masa Nabi dan Para Sahabat

1. Bahasa Al Quran

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa Al Quran diturunkan dengan bahasa yang digunakan oleh Nabi dan para sahabat, yakni bahasa Arab. 

Uslub atau stalistika[5] yang digunakan dalam Al Quran sangatlah indah dan beragam, diantaranya ada haqiqah[6], majaz[7], sarih[8], kinayah[9], ijaz[10], dan ithnab[11], yang mana uslub tersebut juga digunakan oleh orang-orang Arab di saat itu dalam pembicaraan dan syair-syair mereka. 

Dengan diturunkannya Al Quran dengan uslub inilah para sahabat menafsirkan Al Quran sesuai kemampuan mereka dalam memahami bahasa Arab.

2. Pemahaman Nabi dan Para Sahabat Terhadap Al Quran

Sudah menjadi hal yang lumrah apabila pemahaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap Al Quran itu sangatlah rinci dan menyeluruh. Demikian pula pemahaman para sahabat yang menyeluruh terhadap Al Quran dari sisi dzahir dan ahkamnya. 

Adapun pemahaman yang lebih rinci dimana ayat yang ingin mereka ketahui penafsirannya terdapat musykil atau mutasyabih atau semisalnya maka mau tidak mau mereka harus merujuk atau bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengenai penafsiran ayat tersebut.

3. Sumber Para Sahabat dalam Menafsirkan Al Quran

Sumber utama para sahabat dalam menafsirkan Al Quran adalah mencarinya dalam Al Quran itu sendiri, karena antara satu ayat dengan ayat yang lainnya saling menafsirkan. 

Setelah itu, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mana beliau sendiri adalah seorang mubayyin[12] terhadap ayat-ayat Al Quran itu sendiri. 

Apabila mereka tidak menemukan penafsiran dari keduanya atau tidak sempat menanyakannya kepada Nabi maka mereka menggunakan ra’yu (pemikiran) atau berijtihad dengan bantuan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab, sya’ir-sya’ir Arab jahiliyyah, pengenalan terhadap tradisi Arab, pengetahuan terhadap keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab tatkala turunnya Al Quran, latar belakang turunnya Al Quran, dan kemampuan penalaran mereka. 

Yang terakhir, baru mereka menanyakan kepada ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, khususnya tentang masalah sejarah Nabi-nabi terdahulu dan kisah-kisah dalam Al Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbaar dan lainnya.

4. Bentuk Tafsir

Ilmu tafsir saat itu belum menjadi disiplin ilmu tersendiri karena saat itu ilmu ini belum disusun secara sistematis dan hanya berupa riwayat-riwayat yang masih berserakan. 

Saat itu juga ilmu tafsir belum disusun dalam sebuah kitab, karena memang para sahabat adalah kaum ummiyyiin[13]. Disamping itu, penafsiran Al Quran saat itu belum menyeluruh karena hanya ayat-ayat yang sukar dipahami saja yang mereka tafsirkan dan mereka tanyakan kepada Nabi.

b. Tafsir di Masa Tabi’in

1. Sumber dalam Menafsirkan Al Quran

Dalam menafsirkan Al Quran para ahli tafsir di masa tabi’in berpegang dengan Al Quran itu sendiri, hadits-hadits Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat, dan juga penafsiran sahabat. 

Mereka juga mengambil dari ahli kitab yang termaktub dalam kitab-kitab mereka dan juga menafsirkan dengan metode ijtihad dan pendalaman terhadap Al Quran.

Dikarenakan masih banyaknya ayat-ayat yang belum ditafsirkan di zaman Nabi dan para sahabat maka hadits-hadits dan ucapan para sahabat terkait tafsir Al Quran tidak mencakup seluruh ayat dalam Al Quran. 

Sehingga mereka berusaha menafsirkan ayat-ayat yang rancu di zaman mereka dengan kemampuan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab dan hadits-hadits Nabi.

2. Madrasah Tafsir Al Quran

Setelah berkembangnya Islam ke berbagai negeri maka mulailah berdiri madrasah-madrasah tafsir Al Quran. Madrasah-madrasah tersebut diantaranya :
  • Madrasah tafsir di Mekah : didirikan oleh Ibnu Abbas
  • Madrasah tafsir di Madinah : didirikan oleh Ubayy bin Ka’ab
  • Madrasah tafsir di Iraq : didirikan oleh Ibnu Mas’ud

c. Tafsir di Masa Tadwin (Pembukuan)

Masa tadwin ini terjadi pada akhir masa Bani Umayyah dan permulaan Bani Abbasiyyah.

Periode Awal

Tafsir sebelum itu diajarkan antara satu sama lain dengan metode periwayatan, dimana sahabat meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana mereka saling meriwayatkan. Dan tabiin meriwayatkan dari sahabat, sebagaimana mereka saling meriwayatkan. Dan pada masa inilah langkah awal (munculnya disiplin ilmu) tafsir.

Periode Kedua

Setelah berakhirnya masa sahabat dan tabi’in maka datanglah masa tadwin (pembukuan) terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dikelompokkan menjadi bab tersendiri. 

Pembukuan tafsir ini belum disusun secara sistematis seperti antara satu surat menafsirkan surat lainnya, ayat menafsirkan ayat, disusun dari awal hingga akhir dsb. Bahkan saat itu dijumpai banyak para ulama’ mengembara ke berbagai negeri untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi.

Periode Ketiga

Setelah melewati periode yang kedua maka ilmu tafsir ini mulai menjadi disiplin ilmu tersendiri. Ilmu tafsir ini disusun setiap ayat dalam Al Quran dan diurutkan sesuai dengan urutan mushaf. 

Diantara para penyusun tersebut adalah : Ibnu Majah (w. 273 H) Ibnu jarir Ath-Thabari (w. 310 H) Abu Bakar bin Al-Mudzir An-Naisaaburi (w. 318 H) Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) Abu Syaikh ibnu Hibban (w. 369 H) Al-Hakim (w. 405 H) dan lainnya.

Tafsir yang disusun itu dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur atau tafsir bil manqul, yakni metode menafsirkan Al Quran dengan Al Quran dan riwayat hadits dan juga atsar para sahabat. 

Setelah berkembangnya ilmu pengetahuan di masa Abbasiyyah, para mufassir berupaya mengembangkan tafsir dengan peran ra’yu atau ijtihad. Tafsir dengan bentuk ini dikenal dengan istilah tafsir bir-ra’yi atau tafsir bil ma’qul, dimana para mufassir menafsirkan Al Quran dengan kemampuan ijtihad atau pemikiran mereka tanpa meninggalkan tafsir bil ma'tsur, yakni Al Quran dengan Al Quran atau dengan hadits dan tidak meninggalkan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. 

Penafsiran semacam ini membutuhkan bantuan berbagai macam cabang ilmu seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al Quran, ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah, dan selainnya.

C. Apa Hukum Mempelajari Tafsir Al Quran?

Sebelum kita mengetahui apa hukum mempelajari tafsir Al Quran, mari kita perhatikan firman Allah berikut ini :

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.[14]

Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa hikmah diturunkannya Al Quran adalah agar kita mentadabburi atau memperhatikan serta mengambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa mentadabburi Al Quran dan mengambil pelajaran di dalamnya? 

Maka jawabannya adalah dengan mempelajari makna atau tafsir Al Quran itu sendiri

Untuk bisa mentadabburi ayat kita perlu mempelajari tafsirnya. Karena tidaklah mungkin kita mentadabburi ayat-ayat dalam Al Quran atau mengambil pelajaran dari suatu ayat tanpa mengetahui makna atau tafsirnya terlebih dahulu. Bahkan Allah mencela orang orang yang tidak mentadabburi ayat-ayat dalam Al Quran, Allah ta’ala berfirman :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?[15]

Selain itu, kita sebagai seorang muslim juga wajib mengamalkan Al Quran sesuai apa yang diinginkan oleh Allah. Maka “Mungkinkah kita mengetahui keinginan Allah dalam Al Quran tanpa mengetahui maknanya?” 

Jawabannya adalah MUSTAHIL

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan dari ayat-ayat tersebut bahwa mempelajari tafsir Al Quran itu WAJIB hukumnya bagi setiap muslim. Dengan mempelajari tafsir itulah kita dapat mengetahui isi firman Allah dan mengamalkan ayat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah ta’ala.

Mempelajari Tafsir Wajib Hukumnya Bagi Setiap Muslim

D. Apa Urgensi Mempelajari Tafsir Al Quran di Zaman Ini?

Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa tidaklah datang suatu zaman kecuali zaman itu lebih buruk dari pada zaman sebelumnya. 

Termasuk buruknya fenomena di zaman akhir ini adalah betapa banyaknya kaum muslimin yang tidak mengerti isi dari Al Quran yang mereka baca. 

Bahkan mirisnya saat ini mulai muncul banyak generasi penghafal Al Quran 30 Juz tetapi jahil dalam masalah tafsir. 

Padahal para sahabat terdahulu tidaklah mereka menghafal dan mempelajari Al Quran kecuali mereka mengetahui tafsirnya dan mengamalkannya. 

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا إِذَا تَعَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزُهُنَّ حَتَّى يَعْرِفُ مَعَانِيْهُنَّ، وَالْعَمَلَ بِهِنَّ

Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : 

“Dahulu orang-orang dikalangan kami ketika belajar 10 ayat tidak akan melewati pelajaran tersebut hingga ia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.”[16]

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمن، قَالَ: حَدَثَّنَا الَّذِيْنَ كَانُوْا يُقْرِئُوْنَنَا: أَنَّهُمْ كَانْوا يَسْتَقْرِئُوْنَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانُوْا إِذَا تَعَلَّمُوْا عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُخَلِّفُوْهَا حَتَّى يَعْمَلُوْا بِمَا فِيْهَا مِنَ الْعَمَلِ، فَتَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ وَالْعَمَلَ جَمِيْعًا

Dari Abu Abdirrahman, ia berkata : Orang-orang yang mengajarkan Al Quran kepada kami bercerita : Bahwa mereka dahulu ketika diajarkan Al Quran oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka mereka belajar sepuluh ayat dan tidak meninggalkan kesepuluh ayat tersebut hingga mereka mengetahui maknanya agar bisa diamalkan. Maka kamipun belajar Al Quran sekaligus mengamalkannya.[17]

Tidaklah para generasi terdahulu mempelajari ayat Al Quran kecuali mereka mengetahui makna dan mengamalkannya
Lihatlah para generasi salaf kita! Dimana mereka tidaklah mempelajari Al Quran hanya hafalan dan qira’ahnya saja. Akan tetapi mereka juga mempelajari tafsir agar bisa mengamalkannya. 

Berbeda dengan sebagian kaum muslimin saat ini. Mereka hanya berhenti sampai menghafalkannya saja tanpa mempedulikan tafsirnya. 

Bahkan sebagian mereka ada yang berlomba-lomba membaguskan suara dengan mempelajari nada-nada seperti bayyati, hijaz, nahawan dan selainnya yang pada hakikatnya hal itu bukanlah hal yang utama. 

Bukan berarti tidak boleh mempelajari nada-nada tersebut, akan tetapi hendaknya kita lebih memprioritaskan hal yang terpenting dari Al Quran, yakni tafsir dan pengamalannya. Karena, hukum mempelajari tafsir Al Quran dan mengamalkannya adalah wajib bagi setiap muslim.

Bahkan, ada yang lebih parah dari fenomena itu! Yakni banyaknya beredar kesalahan penafsiran pada suatu ayat dikalangan masyarakat, contoh kesalahan yang sering kita jumpai adalah tafsir dari ayat :

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan[18]

Sebagian kaum muslimin khususnya di negara kita memahami bahwa fitnah yang dimaksud ayat tersebut ditafsirkan sebagai perkataan bohong tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dengan maksud menjelekkan orang

Padahal fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut bermakna “perbuatan syirik kepada Allah”.[19] 

Inilah kesalahan penafsiran Al Quran yang beredar di masyarakat karena tidak merujuk pada keterangan tafsir dari para ulama’. 

Padahal menafsirkan Al Quran dengan pendapat sendiri tanpa ilmu adalah perbuatan yang tercela. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ قَالَ: فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ، فَقَدْ أَخْطَأَ

Barang siapa yang berkata tentang firman Allah azza wajalla dengan opininya sendiri, lalu kebetulan ia benar maka ia tetap salah.[20]

مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barang siapa yang berkata tentang Al Quran dengan tanpa ilmu maka hendaknya ia menempatkan tempat duduknya di neraka.[21]

Dalam menafsirkan Al Quran hendaknya kita benar-benar mengetahui ilmunya terlebih dahulu dan bertawaqquf tatkala tidak mengetahui tafsirnya. 

Dalam hal ini, kita bisa meneladani Ibnu Abbas tatkala menafsirkan firman Allah yang berbunyi “فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ”. 

Pada mulanya, beliau tidak mengerti maksud kata فَاطِر sama sekali. Sehingga akhirnya beliau bisa mengetahui tafsirnya tatkala mengetahui dalam konteks kalimat apa kata itu digunakan oleh orang Arab. Ibnu Abbas menuturkan :

كُنْتُ لَا أَدْرِي مَا "فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ"، حَتَّى أَتَانِي أَعْرَابِيَّانِ يَخْتَصِمَانِ فِي بِئْرٍ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ:"أَنَا فَطَرتُهَا"، يَقُوْلُ: أَنَا ابْتَدَأتُهَا

Dahulu aku tidak mengerti tafsir dariفَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِhingga aku menjumpai dua orang badui yang saling memperdebatkan masalah sumur. Lalu, salah seorang diantara mereka berekata : “Akulah yang membuat sumur ini pertama kali.”[22]

Dari kisah Ibnu Abbas di atas menunjukkan betapa hati-hatinya Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al Quran. Sehingga beliau tidak mau berkomentar apapun tentang tafsir ayat tersebut sampai ia mengetahui konteks penggunaan kata فَاطِر dalam percakapan orang-orang Arab. 

Tatkala beliau sudah mengetahui dalam konteks kalimat seperti apa kata فَاطِر itu digunakan dalam percakapan orang Arab maka beliaupun dapat mengetahui tafsir dari ayat tersebut.

HARAM hukumnya menafsirkan Al Quran tanpa ilmu!

E. Kesimpulan dan Saran

Dari pemaparan di atas, kita dapat mengetahui apa pengertian dari tafsir Al Quran itu sendiri dan apa urgensi mempelajarinya. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim wajib mempelajari tafsir dan ilmu-ilmu agama lainnya dengan mendatangi kajian-kajian di majelis ta’lim. 

Dengan mengikuti kajian itulah kita bisa berkumpul dengan komunitas yang mencintai agama ini. Dan dengan itulah kita bisa memperoleh pemahaman terhadap agama kita.

Ingatlah! Bahwa tidaklah seorang dikatakan cinta terhadap agama ini apabila ia tidak mengenal dan mengetahui isi dari agamanya. Karena cinta terhadap agama Islam ini tidak cukup hanya dengan pengakuan, namun perlu ada upaya untuk mengetahui dan mengenalnya lebih dalam.

Oleh : Adam Rizkala


[1] QS. Al-Furqon ayat 33.
[2] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqon fii Ulum Al-Quran (Al-Hayyi’ah Al-Mishriyyah Al-Ammah li Al-Kitaab, 1974), Jilid 4, hlm. 195.
[3] Muhammad Abdul Adzim Az-Zurqooni, Manaah Al-‘Irfaan fii Uluum Al-Quran, (Mathba’ah Isa Al-Baabii Al-Halbii), Jilid 2, hlm. 3.
[4] Refrensi : DR. Muhammad As-Sayyid Husain Adz-Dzahabi w. 1398 H, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah).
[5] Ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa
[6] Adalah kata yang dipergunakan sesuai dengan penunjukkan makna aslinya.
[7] Adalah kata yang dipergunakan pada tempat yang tidak sesuai dengan penunjukkan makna aslinya.
[8] Adalah kalimat yang langsung dapat diketahui maknanya dan tidak mengandung makna yang lain.
[9] Adalah kata yang dipergunakan bukan pada makna aslinya sekalipun tidak ada qarinah yang mencegahnya dari makna tersebut. Kinayah ini menempati posisi pertengahan antara majaz dan haqiqah.
[10] Adalah mengumpulkan makna yang banyak dalam kata-kata yang sedikit dengan jelas dan fasih.
[11] Adalah mengungkapkan makna dengan ucapan yang lebih banyak dari maknanya.
[12] Seorang yang menjelaskan.
[13] Bukan ahli baca tulis.
[14] QS. Al-Furqoon ayat 29.
[15] QS. Muhammad ayat 24.
[16] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fii Ta’wiil Al-Quran (Muassasah Ar-Risaalah, 2000), jilid 1, hlm 80.
[17] Ibid.
[18] QS. Al-Baqarah ayat 191
[19] Lihat : Tafsir Ath-Thabari jilid. 3 hlm. 565
[20] HR. Abu Dawud no. 3625
[21] HR. Tirmidzi no. 2950
[22] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fii Ta’wiil Al-Quran (Muassasah Ar-Risaalah, 2000), jilid 11, hlm 283.

Sumber https://www.nasehatquran.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel