Review : Reuni Z
“Halo, ini kita lagi di reuni. Tiba-tiba temen-temen kita pada mati semuanya. Minta tolong kirimkan pasukan kemari, Pak.”
“Ndak mau diselesaikan secara kekeluargaan? Kita orang Indonesia, menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat.”
“Nggak bakal hingga mufakat, Pak. Yang ada, musyawarah hingga akhirat.”
(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler)
Sosok peneror dalam film menyeramkan berwujud jenazah hidup yang berjalan gontai dan gemar memangsa insan yang dikenal sebagai zombie, sanggup dikatakan kalah pamor (sangat jauh) dibandingkan pocong, sundel bolong, atau kuntilanak di perfilman Indonesia. Bisa jadi, ini disebabkan oleh statusnya sebagai memedi impor sehingga masyarakat kurang mempunyai ikatan berpengaruh dengan mereka sehingga menjadikannya kurang menyeramkan. Alhasil tidak banyak film buatan dalam negeri yang mempergunakan jasa zombie untuk menakut-nakuti khalayak ramai. Beberapa yang terlintas di kepala hanyalah Pengabdi Setan (1980, 2017), segmen ‘The Rescue’ dalam Takut: Faces of Fear (2008), Kampung Zombie (2015), serta 5 Cowok Jagoan (2017), yang sebagian besar diantaranya memperoleh resepsi tak menggembirakan dari penonton film Indonesia. Meski pasar kurang memberi sambutan positif, duo Soleh Solihun dan Monty Tiwa (Mau Kaprikornus Apa?), nekat menempatkan zombie di posisi peneror utama dalam film terbaru mereka yang mengambil jalur komedi horor, Reuni Z. Di sini, para zombie mendadak berkeliaran di satu gedung sekolah ketika sebuah reuni tengah berlangsung. Pemicunya, beberapa pengisi program yang tanpa sengaja tercemar virus misterius selepas mereka makan bakso di pinggir sekolah.
Sebelum film menenggelamkan diri sepenuhnya pada teror jenazah hidup, film mengajak penonton untuk melongok sejenak ke masa kemudian beberapa huruf sentral kemudian menengok bagaimana kehidupan mereka ketika ini. Dalam kilas balik, kita mengetahui bahwa persahabatan Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) merenggang usai performa grup musik mereka di pensi sekolah berakhir buruk. Juhana lantas berkarir di dunia hiburan sebagai bintang iklan dan aktor kelas ecek-ecek, sementara Jeffri yang kini menikahi rekan bandnya, Lulu (Ayushita Nugraha), menjalani rutinitas sebagai laki-laki kantoran seraya sesekali mengunggah permainan gitarnya di Youtube. Dua sobat yang tak lagi saling bicara ini lantas dipertemukan kembali dua puluh tahun kemudian dalam reuni Sekolah Menengan Atas Zenith angkatan 1997. Mereka, termasuk Lulu, bertemu pula dengan Marina (Dinda Kanyadewi) yang tak dikenali oleh siapapun, Raina (Fanny Fabriana) yang kini menjadi EO kondang, serta Jody (Surya Saputra) yang tak pernah berhenti merundung kawan-kawannya yang lemah. Reuni yang diwarnai segala kecanggungan ini perlahan tapi niscaya berubah menyeramkan sehabis sejumlah cheerleader yang mengisi program bermetamorfosis sebagai zombie dan memangsa akseptor reuni satu demi satu.
Materi kisah yang diusung oleh Reuni Z harus diakui tergolong menggelitik rasa penasaran. Memanfaatkan program reunian yang acapkali dipenuhi basa-basi belaka (dan kepalsuan) sebagai latar utama untuk melepas serangan zombie. Dari sini lantas muncul satu pertanyaan, “akankah manusia-manusia yang sudah tidak lagi berinteraksi secara intensif selama sekian tahun akan saling pundak membahu untuk menyelamatkan diri atau justru mementingkan keselamatan masing-masing?.” Menarik sekali, bukan? Disamping melontarkan bahan yang jarang dikupas dalam film produksi Indonesia, Reuni Z turut menghadirkan pemain ansambel menjanjikan menyerupai Tora Sudiro, Soleh Solihun, Ayushita Nugraha, Dinda Kanyadewi, Surya Saputra, Fanny Fabriana, Cassandra Lee, Kenny Austin serta pasangan bapak-anak Henky Solaiman dan Verdi Solaiman, yang kian meningkatkan daya jualnya. Membuat Reuni Z terlihat menyerupai film yang patut dimasukkan ke daftar tontonan wajib. Menetapkan ekspektasi elok kala melangkahkan kaki ke bioskop, nyatanya lagi-lagi membawa saya pada kekecewaan besar begitu keluar dari gedung bioskop. Reuni Z berakhir sebagai hidangan yang serba tanggung. Sebagai film komedi, beliau kurang bisa menghadirkan gelak tawa. Sebagai film horor, beliau kurang berhasil menunjukkan daya cekam yang sanggup menciptakan penonton meringkuk di dingklik bioskop.
Tidak terhitung berapa banyaknya lontaran humor yang meleset dalam Reuni Z. Ketimbang tergelak-gelak, saya justru berulang kali dibentuk mencari-cari letak kelucuannya. Garing euy! Dari seabrek pelakon yang dikerahkan, satu-satunya yang cukup berhasil membawa keriuhan di gedung bioskop secara konsisten hanyalah Dinda Kanyadewi sebagai si wanita misterius. Memiliki comic timing yang elok (seperti ditunjukkannya dalam Hangout dimana beliau juga menyelamatkan film), celetukan dan tingkah lakunya yang asing bisa mengundang tawa renyah – bahkan cara beliau mengucapkan “Marinaaa…” masih terngiang hingga sekarang. Tanpa kehadirannya, bisa jadi tawa akan semakin jarang terdengar dalam Reuni Z. Elemen horor yang dijadikan rujukan selepas elemen komedi yang anyep pun tidak berjalan secara semestinya. Ada satu dua momen yang menciptakan diri ini berdebar-debar, menyerupai ketika serangan pertama kali terjadi, tapi secara keseluruhan film terasa melelahkan buat disimak. Pemicunya, hukum main dalam menjadi atau membunuh zombie yang sama sekali tak terang sehingga meminimalisir pertaruhan. Meminimalisir ketegangan. Ada yang tahu berapa usang waktu yang diharapkan bagi seseorang untuk bermetamorfosis menjadi zombie? Karena Reuni Z tidak pernah memaparkannya secara konsisten (terkadang sekejap, terkadang butuh waktu beberapa menit). Lalu bagaimana bisa mencicipi ketegangan ketika zombie bisa dibunuh atau dikelabui dengan cara apapun? Bayangkan, kau tak perlu repot-repot mencari benda tajam atau meminta bala dukungan dari polisi lantaran bahwasanya kentut sudah lebih dari cukup untuk menciptakan para zombie menjauh.
Jika demikian, kenapa isu membahagiakan ini tidak segera disebarkan kepada para penyintas? Memangnya wangi kentut mempunyai tingkatan yang berbeda-beda ya sehingga hanya orang tertentu yang bisa mengeluarkan wangi tak tertahankan? Jika tidak, seharusnya para penyintas ini tidak perlu repot-repot menjangkau aula demi memainkan musik rock untuk membunuh para zombie yang pada jadinya mengorbankan beberapa huruf inti, dong? Tinggal kentut bareng kemudian sisanya memberi perlawanan memakai pecahan gelas, kelar perkara. Lagipula misi utama mereka hanya untuk meninggalkan sekolah bukan memusnahkan zombie, to? Disinilah saya merasa pusing. Andai sedari awal Reuni Z telah menetapkan satu solusi untuk membasmi zombie, daya cekam itu mungkin masih ada (sekalipun keputusan untuk mengubah beberapa huruf inti menjadi zombie kemudian menghempaskan mereka begitu saja juga menciptakan garuk-garuk kepala). Sayangnya, naskah yang juga kekurangan bahan humor lucu ini terlampau sering mengambil jalan pintas demi mengurai duduk kasus yang berdampak pula pada terurainya ketertarikan untuk mengikuti film. Padahal, Reuni Z telah mengajukan bahan menarik dan bersedia memberi backstory mencukupi yang menciptakan satu dua huruf layak diberi dukungan. Sungguh disayangkan.
Acceptable (2,5/5)