Review : Jaga Pocong
“Di rumah ini, banyak insiden aneh.”
Ditugasin buat jagain pocong sebetulnya bukan problem besar asalkan mayit yang dikafani itu kerabat bersahabat dan saya bukan satu-satunya orang yang masih bernapas di lokasi. Tapi kalau mayit tersebut ialah orang asing yang tak diketahui masa lalunya macam apa, tak ada orang lain di sekeliling yang mondar-mandir, dan lokasinya jauh dari pemukiman warga… yaaa monmaap, saya undur diri. Baru mendengarnya saja sudah bikin bergidik ngeri, tidak yakin bisa menjalaninya dengan tabah. Nah, Jaga Pocong yang menandai untuk pertama kalinya bagi Acha Septriasa dalam menjajal kiprah di film horor (kecuali kau menghitung Midnight Show (2016) sebagai sajian horor) menggulirkan narasi menurut premis tersebut: bagaimana akhirnya ketika kiprah menjaga mayit yang telah dikafani justru berbuah teror? Sebuah premis yang mesti diakui menggelitik rasa ingin tau lebih-lebih sebab sosok pocong sudah cukup usang tak dikedepankan sebagai peneror utama – padahal dari sekian banyak hantu yang mendiami Indonesia raya, sosoknya paling angker bagi saya. Tambahkan dengan keterlibatan Acha Septriasa yang tergolong selektif menentukan peran, Jaga Pocong terdengar menyerupai proyek film horor menjanjikan… hingga kemudian saya mengetahui jajaran kru di belakangnya yang seketika mendorong saya untuk menekan ekspektasi.
Dalam Jaga Pocong, aktris penggenggam Piala Citra ini memerankan seorang suster berjulukan Mila yang bekerja di Rumah Sakit Sejahtera. Suatu ketika, Mila ditugaskan oleh atasannya untuk merawat Sulastri (Jajang C. Noer) di rumahnya yang jauh dari peradaban. Saking jauhnya, Mila tiba di rumah sang pasien jelang tengah malam padahal ia telah berangkat sedari hari masih terang. Perjalanan jauh yang ditempuh oleh Mila atas nama dedikasi ini sayangnya tak berakhir baik. Sulastri telah meninggal dan Radit (Zack Lee), putranya, meminta santunan kepada Mila untuk memandikan mayit ibunya kemudian membungkusnya dengan kain kafan. Mengingat Radit bukanlah anak kandung Sulastri, maka pekerjaan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Mila. Tak ada kesulitan berarti bagi Mila dan hanya dalam waktu singkat, ia telah merampungkannya. Berniat untuk undur diri sebab pekerjaannya telah selesai, tiba-tiba Radit menyodorkan satu ajakan terakhir kepada Mila: menjaga mayit Sulastri. Alasannya, Radit berniat untuk pergi sejenak demi mengurus izin pemakaman sang ibu. Mila pun ditinggal seorang diri bersama putri Radit, Novi (Aqilla Herby), dan mayit Sulastri di rumah yang sangat besar nan menyeramkan tersebut. Mulanya sih semua baik-baik saja, hingga kemudian Mila mendengar suara-suara yang entah darimana datangnya.
Sejujurnya, Jaga Pocong memulai segalanya dengan baik. Hadrah Daeng Ratu yang belum pernah bersentuhan dengan genre horor (filmografinya meliputi Mars Met Venus dan Super Didi) ternyata cukup mahir dalam mengemasnya menjadi sajian horor atmosferik. Alih-alih menciptakan penonton terlonjak dari dingklik bioskop dengan penampakan tanpa esensi yang dikit-dikit nongol serta iringan musik yang bikin penonton mesti ke dokter THT keesokan harinya, Hadrah menentukan untuk membangkitkan rasa takut dengan memanfaatkan atmosfer yang mengusik kenyamanan. Resepnya sudah ada di tangan: rumah gedongan yang jauh dari pemukiman warga, tengah malam yang sunyi senyap, dan mayit yang terbujur kaku di ruang tamu. Siapa coba yang tidak dirundung rasa ngeri apabila ditempatkan dalam situasi menyerupai yang dihadapi oleh Mila? Sekalipun tak ada sesuatu yang terjadi, pikiran niscaya melayang kemana-mana. Apalagi kalau kemudian terdengar suara-suara padahal hanya ada dirimu dan seorang bocah yang anteng. Hiii… Menilik fakta bahwa Jaga Pocong ialah sajian horor, kita tentu menyadari bahwa ada sesuatu yang salah di dalam rumah tersebut. Pertanyaanya adalah, ada apa dan kapan munculnya? Permainan antisipasi inilah yang mengakibatkan saya tidak bisa duduk hening selama paruh pertama sebab bulu kuduk meremang seraya dibentuk menerka-nerka arah kemunculan teror.
Ketidaktenangan akhir mengetahui ada sesuatu mengerikan tengah mengintai ini sayangnya tak bertahan lama. Menapaki pertengahan durasi, Hadrah tampak kebingungan dalam memperlakukan Jaga Pocong sehingga terasa diulur-ulur dengan contoh adegan senada: Mila naik turun tangga, kemudian lari teriak-teriak. Naskah rekaan Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) menurut dongeng dari Baskoro Adi (Jailangkung, Gasing Tengkorak) yang menjadi sumber kekhawatiran saya sedari mengetahui mereka turut terlibat, secara tidak mengejutkan memang tidak bisa diharapkan. Jangankan memberi deskripsi untuk huruf Mila yang sangat tipis atau menyajikan setup demi menghindari kesan ujug-ujug di babak pengungkapan, si peracik skenario bahkan terkesan ogah-ogahan dalam menulis dialog. Coba hitung berapa kali nama Novi dipanggil tanpa ada variasi di dalamnya, dan amati pula obrolan berikut ini yang muncul sebanyak dua kali:
“kenapa harus saya?”
“karena harus kamu!”
Ada yang merasa janggal? Tidak? Mari kita berpikiran positif, mungkin si pembuat skenario memegang prinsip bahwa tidak semua hal perlu penjelasan. Dia ingin menguarkan aroma misteri lebih kuat, ia ingin penonton menginterpretasi sendiri makna dibalik obrolan tersebut. Saya yang tadinya bersemangat sebab Jaga Pocong tersaji berbeda dibanding film horor Indonesia kebanyakan (berhasil pula!) pun seketika loyo begitu menyadari Aviv Elham masih belum berubah. Beruntung film ini masih mempunyai Acha Septriasa yang mempunyai rentang emosi mengagumkan. Meski bukan dalam penampilan terbaiknya, Acha masih memungkinkan bagi film untuk berada di taraf bisa dinikmati sebab ia memperlihatkan gestur beserta mulut apik yang memperlihatkan Mila tampak sangat ketakutan dan ingin segera mengakhiri penderitaannya. Andaikata kiprah Mila diserahkan kepada pelakon kurang kompeten, nasib Jaga Pocong akan berakhir: 1) membosankan karena si aktris hanya bisa teriak-teriak, atau 2) konyol menyaksikan keputusan-keputusan tak logisnya. Di tangan Acha, dua kasus tersebut berhasil diminimalisir dan oleh karenanya, Jaga Pocong mesti berterima kasih kepadanya.
Acceptable (3/5)