Darah Kebiasaan Wanita

DARAH KEBIASAAN WANITA
Segala Puji bagi Allah. Hanya kepada-Nya kita memuji, memohon pertolongan, meminta ampunan dan bertaubat. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa yang ditunjuki Allah maka tiada yang sanggup menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada yang sanggup menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tiada Sembahan yang Haq selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad ialah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kemudian.
Sungguh, problem darah yang biasa terjadi pada kaum wanita, yaitu Haid, istihadhah, dan nifas, merupakan problem penting yang perlu dijelaskan dan diketahui hukumnya, perlu dipilah mana yang benar dan yang salah  dari pendapat para ulama dalam problem ini. Dan hendaknya yang menjadi sandaran dalam memperkuat dan memperlemah pendapat dalam hal tersebut ialah dalil dari Kitab dan Sunnah, lantaran keduanya merupakan sumber utama yang menjadi landasan dalam beribadah, yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya.
Juga, lantaran bersandar kepada Kitab dan Sunnah akan membawa kepada ketenangan jiwa, kebahagiaan dan kepuasan batin serta membebaskan diri dari tanggungan.
Sedangkan, selain Kitab dan Sunnah tidak sanggup dijadikan hujjah, lantaran yang bahu-membahu hanyalah yang terdapat dalam firman Allah, sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan Ahli ilmu dari para shahabat, berdasarkan pendapat yang kuat, dengan syarat tidak menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, serta tidak bertentangan dengan perkataan shahabat yang lain.
Andaikata menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka wajib diambil apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah. Dan bila bertentangan dengan perkataan shahabat yang lain, maka perlu dilakukan tarjih di antara kedua pendapat tersebut dan diambil mana pendapat yang kuat. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala :
“Kemudian bila kau berlainan pendapat wacana sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), bila kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. AnNisaa:59).
Dan risalah ringkas ini merupakan klarifikasi wacana problem yang mendesak tersebut, yakni darah kebiasaan kaum perempuan dan hukum-hukumnya, yang pembahasannya meliputi:
Pasal I:          Makna haid dan hikmahnya.
Pasal II:         Usia dan masa haid.
Pasal III:       Hal hal diluar kebiasaan haid.
Pasal IV:       Hukum-hukum haid.
Pasal V:        Istihadhah dan hukum-hukumnya.
Pasal VI:       Nifas dan hukum-hukumnya.
Pasal VII :penggunaan alat pencegah atau perangsang haid, pencegah kehamilan dan penggugur kandungan.


PASAL I

MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA


1.            MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan berdasarkan syara’ ialah: darah yang terjadi pada perempuan secara alami, bukan lantaran suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Makara haid ialah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh lantaran haid ialah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang faktual pada setiap wanita.

2.            HIKMAH HAID
Adapun hikmahnya, lantaran janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak sanggup memakan sebagaimana yang dimakan anak diluar kandungan, dan mustahil bagi si ibu untuk memberikan sesuatu masakan untuknya, maka Allah subhanahu wa ta'ala telah menjadikan pada diri kaum perempuan proses pengeluaran darah yang berkhasiat sebagai zat masakan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang hingga kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui plasenta dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah pesan tersirat haid. Karena itu, apabila seorang perempuan sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula perempuan yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa menyusui.



PASAL II

USIA DAN MASA HAID

   1- USIA HAID
Usia haid biasanya antara 12 hingga 50 tahun. Dan kemungkinan seorang perempuan sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid setelah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama, berbeda pendapat wacana apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang perempuan tidak mendapatkan haid sebelum atau setelah usia tersebut?
Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam problem ini, mengatakan: “hal ini semua, berdasarkan saya keliru. Sebab, yang menjadi pola ialah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”.
Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang perempuan mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam problem ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada problem di atas tidak ada satupun dalil yang memperlihatkan hal tersebut.

2-            MASA HAID
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang beropini bahwa masa haid tidak memiliki batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini menyerupai pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Mereka bertanya kepadamu wacana haid. Katakanlah: “haid itu ialah suatu kotoran”, oleh lantaran itu, hendaklah kau menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid, dan janganlah kau mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS.  Al Baqarah: 222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas simpulan larangan ialah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini memperlihatkan bahwa illat (alasan) aturan (larangan menjauhui istri) ialah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, bila ada haid berlakulah aturan itu dan bila telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah:
(( افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالبَيْت حَتَّى تَطْهُرِي ))
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melaksanakan thawaf di Ka’bah sebelum kau suci” (HR. Muslim: 4/30).
Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban, barulah saya suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:
(( انْتَظِرِيْ، فَإِذَا طَهُرْتِ فَاخْرُجِي إِلَى التَنْعِيْم ))
“Tunggulah, bila kau suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai batas simpulan larangan ialah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini memperlihatkan bahwa aturan tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam problem ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini problem penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh insan dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, pasti telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan aturan lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan wacana shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; wacana zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya, wacana puasa; waktu dan masanya, wacana haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan wacana etika makan, minum, tidur,  jima’ (hubungan suami-istri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat,, hingga jumlah bilangan watu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum mu’minin.
Firman Allah ta’ala:
 “…Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl: 89).
 “…Al-Qur’an itu bukanlah kisah yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu…". (QS. Yusuf: 111).
Oleh lantaran itu pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak sanggup dijadikan patokan. Namun, yang bahu-membahu dijadikan patokan ialah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ berdasarkan ada atau tidak adanya haid.
Dalil ini –yakni suatu aturan tidak sanggup diterima bila tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berkhasiat bagi anda dalam problem ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, lantaran aturan syar’i tidak sanggup ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i   dari kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan: “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan aneka macam aturan dalam Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu batasan dalam problem ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35).
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah membuktikan illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid ialah haid dan kotoran ialah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam aturan di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah berdasarkan Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam aturan lantaran kesamaan keduanya dalam illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memperlihatkan batasan memperlihatkan bahwa dalam problem ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi pola bila terjadi perselisihan pendapat ialah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid ialah pendapat yang besar lengan berkuasa dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali perempuan melihat darah alami, bukan di sebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali bila keluarnya darah itu terus-menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja menyerupai sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut ialah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan Insya Allah, wacana istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim ialah haid. Kecuali bila ada bukti yang memperlihatkan bahwa darah itu istihadhah.”
Kata ia pula: “Maka darah yang keluar ialah haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau lantaran luka.”
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang besar lengan berkuasa berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling sanggup dipahami dan dimengerti serta lebih simpel diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat mereka yang memperlihatkan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima lantaran sesuai dengan akidah agama Islam, yaitu simpel dan gampang.
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kau dalam agama suatu kesempitan” (QS.  Al Hajj: 78).
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوْا))
“Sungguh agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorangpun yang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira” (HR. Al Bukhari).
Dan di antara watak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa bila ia diminta menentukan dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.

3. HAID WANITA HAMIL
Pada umumnya, seorang perempuan bila dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad rahimahullah: “kaum perempuan sanggup mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila perempuan hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai rasa sakit, maka darah tersebut ialah darah nifas, tetapi bila terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tapi tidak disertai rasa sakit, maka darah itu bukan darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak menyerupai aturan darah haid? ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam problem ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi ialah darah haid apabila terjadi pada perempuan berdasarkan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari rahim perempuan ialah darah haid selama tidak ada lantaran yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada perempuan hamil.
Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyar (hal: 30): “Dan dinyatakan oeh Al Baihaqi berdasarkan salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali dari pendapat ini”.
Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada perempuan hamil ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:
1.      Talak. Diharamkan mentalak (mencerai) perempuan tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi itu tidak diharamkan terhadap perempuan hamil. Sebab talak (perceraian) dalam keadaan haid terhadap perempuan yang tidak hamil menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 “… apabila kau menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kau ceraikan mereka pada waktu mereka sanggup (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath Thalaq: 1).
Adapun mencerai perempuan hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab, siapa yang mencerai perempuan hamil berarti ia menceraikannya pada ketika dalam menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, lantaran masa iddahnya ialah dalam kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mencerai perempuan hamil, sekalipun setelah melaksanakan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan perempuan tidak hamil.
2.      Iddah. Bagi perempuan hamil iddahnya berakhir pada ketika melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath Thalaq: 4).


PASAL III

HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID


Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:
1.            Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang perempuan biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung hingga tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

2.            Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang perempuan biasanya haid pada simpulan bulan lalu, tiba-tiba haid tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan, kemudian tiba-tiba haid tiba pada simpulan bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun pendapat yang benar, bahwa seorang perempuan bila mendapatkan darah (haid) maka dia dalam keadaan haid dan bila tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan dalam pasal terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.
Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, ia berkata: “Andikata watak kebiasaan menjadi dasar pertimbangan, berdasarkan yang disebutkan dalam madzhab, pasti dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, lantaran mustahil ia menunda-nunda klarifikasi pada ketika dibutuhkan. Istri-istri ia dan kaum perempuan lainnya pun membutuhkan klarifikasi itu pada setiap saat, maka ia tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan wacana watak kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan perempuan yang istihadhah saja.

3.      Darah berwarna kuning atau keruh
Yakni seorang perempuan mendapatkan darahnya berwarna kuning menyerupai infeksi atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.
Jika hal ini terjadi pada ketika haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu ialah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun bila terjadi setelah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ummu 'Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha:
(( كُنَّا لاَ نُعِدُّ الصُّفْرَةَ وَالكُدْرَة بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا ))
“Kami tidak menganggap sesuatu apapun (haid) darah yang berwarna kuning atau keruh setelah masa suci”
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa kalimat “sesudah masa suci”, tetapi ia sebutkan dalam “Bab: Darah Warna Kuning Atau Keruh Di luar Masa Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan: “itu merupakan isyarat Al Bukhari umtuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, “sebelum kau melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam cuilan ini, bahwa maksud hadits Aisyah ialah ketika perempuan mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka berdasarkan apa yang disampaikan Ummu Athiyah”.
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari pada cuilan sebelumnya, bahwa kaum perempuan pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang dipakai perempuan untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning, maka Aisyah berkata: “janganlah tergesa-gesa sebelum kau melihat lendir putih” maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada ketika habis masa haid.
4.      Darah haid keluar secara terputus-putus
Yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar. Dalam hal ini terjadi 2 kondisi:
1.            Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang perempuan setiap waktu, maka darah itu ialah darah istihadhah.
2.            Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang perempuan tetapi adakala saja tiba dan dia memiliki ketika suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam aturan haid?
Madzhab Imam Asy Syafi'i, berdasarkan salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam aturan haid, pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi menyerupai ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya ialah haid yang sesudahnyapun haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, lantaran bila demikian pasti masa iddah dengan perhitungan Quru’  (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula bila dijadikan sebagai keadaan suci, pasti akan merepotkan dan menyulitkan lantaran harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal syariat tidaklah itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur berdasarkan madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, bila darah keluar berarti darah haid dan bila berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu ialah darah Istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al Mughni: “jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, insyaallah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi perempuan pada setiap ketika berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 “… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kau agama suatu kesempitan …” (QS.  Al Hajj: 78).
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali bila si perempuan mendapatkan bukti yang memperlihatkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada simpulan masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih (Al Mughni, juz I, Hal: 355).

5.      Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si perempuan tidak mendapatkan selain merasa lembab atau berair (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada ketika masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi bila terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan menyerupai ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.


                                                                                  PASAL IV

                                                                    HUKUM-HUKUM HAID


Terdapat banyak aturan haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:
1.            Shalat.
Diharamkan bagi perempuan yang sedang haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnat, dan bila ternyata mengerjakan shalat, maka shalatnya tidak sah. Tidak wajib baginya mengerjakan shalat kecuali bila ia mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk mengerjakan satu rakaat sempurna, baik pada awal atau simpulan waktunya.
Contoh pada awal waktu, seorang perempuan haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan waktu sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat maghrib tersebut setelah suci, lantaran ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum datangnya haid.
Adapun contoh pada simpulan waktu: seorang perempuan suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat subuh tersebut setelah bersuci, lantaran ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.
Namun bila perempuan yang haid mendapatkan sabagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; menyerupai kedatangan haid -pada contoh pertama– sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid –pada contoh kedua– sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ ))
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu” (Hadits muttafaq ‘alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang perempuan haid mendapatkan satu rakaat dari waktu ashar, maka wajib baginya mengerjakan shalat dzhuhur bersama ashar, atau mendapatkan satu rakaat  dari waktu Isya’ apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya’ ?
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam problem ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja yaitu shalat Ashar dan shalat Isya’, lantaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ))
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar” (Hadits muttafaq ‘alaih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan “maka ia telah mendapatkan shalat Dzhuhur dan Ashar” juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Dzhuhur baginya. Dan berdasarkan kaidah: seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abi Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab "syarh Al Muhadzdzab juz III, hal. 70".
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do’a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur’an, maka tidak diharamkan bagi perempuan haid, hal ini berdasarkan hadits dalam shahih Al Bukhari dan Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar di pangkuan Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang haid, kemudian ia membaca Al Qur’an.
Diriwayatkan pula dalam shahih Al Bukhari dan Muslim Dari Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ وَالحُيَّضَ – يعني إلى صلاة العيد - وَلْيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى ))
“ Agar keluar para gadis, perawan dan perempuan haid- yakni ke shalat  Idhul Fitri dan Adha- serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman. Tetapi perempuan haid menjauhi tempat shalat”
Sedangkan membaca Al Qur’an bagi perempuan haid itu sendiri, bila dengan mata atau dengan hati tanpa diucapkan dengan ekspresi maka tidak apa-apa hukumnya, contohnya mushaf atau lembaran Al Qur’an diletakkan kemudian matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. berdasarkan An Nawawi dalam kitab "Syarh Al Muhadzdzab" Juz II, hal: 362, hal ini boleh tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun bila perempuan haid itu membaca Al Qur’an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al Bukhari, Ibnu Jarir At Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya.
Juga boleh membaca ayat Al Qur’an bagi perempuan haid berdasarkan Imam Malik dan Asy syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari, serta berdasarkan Ibrahim An Nakha’i sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: “Pada dasarnya tidak ada hadits yang melarang perempuan haid membaca Al Qur’an. Sedangkan pernyataan “wanita yang sedang haid dan orang junub tidak boleh membaca Al Qur’an” ialah hadits dhaif berdasarkan janji para hebat hadits. Seandainya perempuan yang sedang haid dihentikan membaca Al Qur’an, menyerupai halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui oleh istri ia sebagai ibu kaum mu’minin, serta disampaikan sobat kepada orang lain. Namun, tidak ada seorangpun yang memberikan bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam problem ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal banyak pula perempuan haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama, seyogyanya, kita katakan, lebih utama bagi perempuan yang sedang haid tidak membaca Al Qur’an secara lisan, kecuali bila diperlukan. Misalnya seorang guru perempuan yang perlu mengajarkan membaca Al Qur’an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur’an, dan lain sebagainya.

2.            puasa
Diharamkan bagi perempuan yang sedang haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunnat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha’ puasa yang wajib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
(( كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ -تعني الحيض- فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ ))
“Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat (hadits muttafaq ‘alaih).
Jika seorang perempuan kedatangan haid ketika berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang Maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu, bila puasa tersebut puasa wajib. Namun bila ia mencicipi gejala akan datangnya haid sebelumnya, tetapi darah gres keluar setelah Maghrib, maka berdasarkan pendapat yang shahih bahwa puasanya itu tepat dan tidak batal, alasannya, darah yang masih dalam rahim belum ada hukumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya wacana perempuan yang bermimpi dalam tidur menyerupai mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? beliaupun menjawab:
(( نَعَمْ إِذَا هِيَ رَأَت المَاءَ ))
"Ya, bila perempuan itu melihat adanya air”.
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan aturan dengan air, bukan dengan gejala akan keluarnya. Demikian pula problem haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan gejala akan keluarnya.
Juga pada ketika terbitnya fajar seorang perempuan masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi bila suci menjelang fajar, maka sah puasanya, sekalipun ia gres mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, bila berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
((كَانَ النَّبِيُّ r يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَصُوْمُ فِي رَمَضَانَ))
“Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub lantaran jima’, bukan lantaran mimpi, kemudian ia berpuasa". (Hadits muttafaq ‘alaih).

3.            Thawaf.
Diharamkan bagi perempuan yang sedang haid melaksanakan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah:
(( افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي ))
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melaksanakan thawaf di Ka’bah sebelum kau suci.”
Adapun kewajiban lainnya menyerupai sa’i antara Shafa dan marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji dan umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, bila seorang perempuan melaksanakan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid eksklusif setelah thawaf atau di tengah-tengah melaksanakan sa’i, maka tidak apa-apa hukumnya.

4. Thawaf wada’
Jika seorang perempuan mengerjakan seluruh manasik haji dan umrah, kemudian tiba haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung hingga batas waktu pulang, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada’. Dasarnya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma:
(( أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ ))
“Diperintahkan kepada jamaah haji saat-saat terakhir bagi mereka berada di baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal ini tidak dibebankan kepada perempuan yang sedang haid.” (Hadits muttafaq alaih).
Dan tidak disunnatkan bagi perempuan yang sedang haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo’a. lantaran hal ini tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada aliran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, berdasarkan aliran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah Radhiyallahu ‘anha ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “kalau demikian, hendaklah ia berangkat” (hadits muttafaq alaih ) . Dalam  hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi perempuan yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci.

5. Berdiam dalam masjid
Diharamkan bagi perempuan yang sedang haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ، وفيه: وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى ))
“Agar keluar para gadis, perawan dan perempuan haid… tetapi perempuan yang sedang haid menjahui tempat shalat” (muttafaq alaih).

6.      Jima’ ( senggama)
Diharamkan bagi suami melaksanakan jima’ dengan istrinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi istri memberi kesempatan kepada suaminya melaksanakan hal tersebut. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 “Mereka bertanya kepadamu wacana haid, katakanlah: “haid itu suatu kotoran: oleh lantaran itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid dan janganlah kau mendekati mereka sebelum mereka suci…" (QS. Al Baqarah: 222).
Yang dimaksud dengan “المحيض  " dalam ayat di atas ialah waktu haid atau tempat keluarnya darah haid,  yaitu: farji (vagina).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( اصْنِعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ ))
“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (yakni: bersenggama).” (HR. Muslim).
Umat Islam juga telah setuju bahwa jima’ di dalam farji istri pada masa haid ialah hal yang dilarang.
Oleh lantaran itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melaksanakan perbuatan ini, yang telah dihentikan oleh Kitab Allah, sunnah Rasul–Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Maka barang siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman.
An Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, juz II, hal. 374, mengatakan: “Imam Syafi'i beropini bahwa orang yang melaksanakan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan berdasarkan para sobat kami dan yang lainnya, orang yang melaksanakan senggama dengan istri yang sedang haid hukumnya kafir.
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melaksanakan selain jima’ (senggama), menyerupai berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain tempat farji (vagina). Namun sebaiknya, jangan bersebadan pada tempat antara pusar dan lutut kecuali bila sang istri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha:
(( كَانَ النَّبِيُّ r يَأْمُرُنِيْ فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرَنِي وَأَنَا حَائِضٌ ))
“Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku mengenakan kain kemudian ia mencumbuiku sedang saya dalam keadaan haid.” (muttafaq alaih).
  
7.            Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Hai Nabi, apabila kau menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kau ceraikan mereka pada waktu mereka sanggup (menghadapi) iddahnya ( yang wajar)". (QS. Ath Thalaq: 1).
Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan sanggup menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli. Sebab bila seorang istri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak sanggup menghadapi iddahnya lantaran haid yang sedang dialami pada ketika jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan bila ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak terperinci lantaran tidak sanggup diketahui apakah ia hamil lantaran digauli tersebut apakah tidak hamil, bila ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan bila tidak hamil maka iddahnya dengan haid. Karena belum sanggup dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi suami mentalak istrinya sehingga terperinci permasalah tersebut.
Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka Nabipun murka dan bersabda:
(( مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ ))
“Suruh ia merujuk istrinya kemudian mempertahankannya hingga ia suci, kemudian haid, kemudian suci lagi, setelah itu, bila ia mau, sanggup mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli, lantaran itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak istri.”
Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan merujuk istrinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai dengan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk istrinya hendaklah ia membiarkannya hingga suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu bila ia menghendaki sanggup mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang sedang haid, ada tiga problem yang dikecualikan:
1.      Jika talak terjadi sebelum bersenggama dengan istri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin gres misalnya) maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab dalam masalah demikian, istri tidak terkena iddah. Maka talak tersebut tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“…Maka hendaklah kau ceraikan mereka pada waktu mereka sanggup (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS.  Ath Thalaq: 1).
2.      Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana yang telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3.      Jika talak tersebut atas dasar iwadh (penggantian) maka boleh bagi suami menceraikan istrinya dalam keadaan haid.
Misalnya terjadi percekcokan dan kekerabatan yang tidak serasi lagi antara suami dan istri. Lalu si istri meminta suami biar mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi karenanya, maka hal itu, sekalipun istri dalam keadaan haid boleh, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu:
(( أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتٍ بن قَيْسٍ بن شَمَّاسٍ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ r فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ الله إِنِّيْ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ وَلاَ دِيْنٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَـالَ النَّبِيُّ r: أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُـوْلُ الله r: اقْبَل الحَدِيْقِةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً )) رواه البخاري.
“Bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas tiba kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “ Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mencelanya dalam watak maupun agamanya, tetapi saya takut akan kekafiran dalam Islam” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “ Maukah kau mengembalikan kebunnya kepadanya? Wanita itu menjawab: “Ya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (kepada suaminya): “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" ( HR.Al Bukhari ).
Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan lantaran talak ini dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan apapun, bila memang diperlukan.
Dalam kitab Al mughni disebutkan wacana alasan dibolehkannya khulu’ (cerai atas ajakan istri dengan tebusan) dalam keadaan haid: “Dilarangnya talak dalam keadaan haid lantaran adanya madharat (bahaya) bagi istri dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang khulu’ ialah untuk menghilangkan madharat (bahaya) bagi si istri disebabkan adanya kekerabatan yang tidak serasi dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri daripada menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada perempuan yang meminta khulu’ wacana keadaannya.
Dan bibolehkan melaksanakan ijab kabul dengan perempuan yang sedang haid, lantaran hal itu intinya ialah halal. Dan tidak ada dalil yang melarangnya, namun perlu dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli istri yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, bila dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.

8.            'Iddah talak dihitung dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau berkumpul dengannya, maka si istri harus beriddah selama tiga kali haid secara tepat apabila termasuk perempuan yang masih mengalami haid dan tidak hamil, hal ini berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’" (QS.Al Baqarah: 228).
Tiga kali quru’ artinya tiga kali haid. Tetapi bila istri dalam keadaan hamil maka iddahnya ialah hingga melahirkan, baik masa iddahnya itu usang maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 “…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya...” (QS.Ath Thalaq: 4).
Jika si istri termasuk perempuan yang tidak haid, lantaran masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau lantaran pernah dioperasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan sanggup haid kembali, maka iddahnya ialah tiga bulan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Dan perempuan-perempuan yang frustasi dari haid di antara istri-istrimu bila kau ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka ialah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid …"(QS. Ath Thalaq: 4).
Jika si istri termasuk perempuan yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya lantaran suatu lantaran yang terperinci menyerupai sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun usang masa iddahnya hingga ia kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun bila lantaran itu sudah tidak ada, menyerupai sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya lantaran tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar’iyah. Dengan alasan, bila lantaran itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung tiba maka perempuan tersebut hukumnya menyerupai perempuan yang terhenti haidnya lantaran karena yang tak jelas; maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan, sembilan bulan sebagai perilaku hati-hati untuk kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan masa iddahnya.
Adapun bila talak terjadi setelah ijab kabul sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli istrinya, maka dalam hal ini tidak ada iddahnya sama sekali, baik dalam keadaan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kau menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kau menceraikan mereka sebelum kau mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kau minta menyempurnakannya ..” (QS. Al Ahzaab: 49).

9.      Keputusan bebasnya rahim.
Yakni bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan, selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, lantaran hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan perempuan (istri) yang kandungannya sanggup menjadi hebat waris orang tersebut, padahal si perempuan setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang gres itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau terperinci kehamilannya. Jika telah terperinci kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan lantaran kita putuskan adanya janin tersebut pada ketika bapaknya mati. Namun bila perempuan itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan, lantaran kita putuskan bahwa rahim perempuan tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.

10 . Kewajiban mandi
Wanita yang lagi haid, bila telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
(( إِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ ))
“Bila kau kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat" (HR. Al Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membasuh seluruh anggota tubuh dengan air hingga cuilan kulit yang ada di bawah rambut. Yang lebih utama, ialah sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ditanya oleh Asma' binti sahl wacana mandi haid, ia bersabda:
(( تَأْخُذُ إِحْدِاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتُطَهِّرَ فَتُحْسِنَ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فُرْصَةً مُمسَكَة - أَيْ قِطْعَةَ قُمَّاشٍ فِيْهَا مِسْكٌ- فَتُطَهِّر بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: كَيْفَ تُطَهِّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ الله، فَقَالَتْ عَائِشَـةُ لَهَا: تَتْبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ ))
“Hendaklah seseorang di antara kau mengambil air dan daun bidara kemudian berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air ke cuilan atas kepala dan menggosok-gosokkannya dengan besar lengan berkuasa sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya, setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. Asma’ bertanya:” bagaimana bersuci dengannya? Nabi menjawab: “Subhanallah”. Maka Aisyah membuktikan dengan berkata:” Ikutilah bekas-bekas darah”. (Hadits riwayat Muslim).
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali bila terikat besar lengan berkuasa dan dikawatirkan air tidak hingga ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam shahih Muslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنِّيْ امْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الجَنَابَةِ؟ وَفِي رِوَايَةٍ: لِلْحَيْضَةِ وَالجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: (( لاَ إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْنَ ))
“Aku seorang perempuan yang menggelung rambutku, haruskah saya melepasnya untuk mandi junub? berdasarkan riwayat lain: untuk (mandi) haid dan junub? Nabi bersabda: “Tidak, cukup kau siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu) kemudian kau guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci”.
Apabila perempuan yang sedang haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, maka ia harus segera mandi biar sanggup mendapatkan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tapi takut membahayakan dirinya bila memakai air, atau dalam keadaan sakit dan berbahaya baginya bila memakai air, maka ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi hingga hal yang menghalanginya tidak ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum perempuan yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi pada waktu lain, dalihnya: “tidak mungkin sanggup mandi dengan tepat pada waktu kini ini”. Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan, lantaran boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia sanggup mandi dengan sempurna.

                                                                                        PASAL  V

ISTIHADHAH DANHUKUM-HUKUMNYA

1.            Makna Istihadhah.
Istihadhah ialah keluarnya darah terus-menerus pada seorang perempuan tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar menyerupai sehari atau dua hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluarnya darah terus- menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al Bukhari dari Aisyah Radhiayallahu ‘anha  bahwa Fathimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ. وفي رواية: أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر ))
“Ya Rasulullah, sungguh saya istihadhah (tak pernah suci) Dalam riwayat lain: Aku mengalami istihadhah, maka tak pernah suci”.
Dalam kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika tiba kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
(( يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصحح، ونقل عن الإمام أحمد تصحيحه وعن البخاري تحسينه.
   “Ya Rasulullah, sungguh saya sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi dengan menyatakan shahih, disebutkan pula bahwa hadits ini berdasarkan Imam Ahmad shahih, sedang berdasarkan Al Bukhari hasan.

2.            Kondisi perempuan mustahadhah.
Ada tiga kondisi bagi perempuan mustahadhah:
1. Sebelum mengalami istihadhah, ia mengalami haid yang terperinci waktunya. Dalam kondisi ini, hendaknya ia berpedoman kepada kegiatan haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang perempuan biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Fathimah binti Abi hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ (( قَالَ: لاَ، إِنَّ ذَلَكَ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتَ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ )) رواه البخاري.
   “Ya Rasulullah, sungguh saya mengalami istihadhah, maka tidak pernah suci, apakah saya meninggalkan shalat? Nabi menjawab: “tidak, itu ialah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kau haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat” (HR.Al Bukhari).
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu Habibah binti jahsy:
(( امْكُثِيْ قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ ))
   “Diamlah (tinggalkan shalat) selama masa haid yang biasa menghalangimu, kemudian mandilah dan lakukan shalat”.
Dengan demikian, perempuan yang dalam istihadhah yang haidnya sudah terperinci waktunya, maka ia menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, meskipun darah pada ketika itu masih keluar.
2  . Tidak memiliki masa haid yang terperinci sebelum mengalami istihadhah, lantaran darah istihadhah tersebut terus-menerus keluar pada dirinya, semenjak pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melaksanakan tamyiz (pembedaan); menyerupai bila darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang terjadi ialah darah haid, dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan bila tidak demikian, yang terjadi ialah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya; seorang perempuan pada ketika pertama kali mendapati darah, dan darah itu keluar terus-menerus, akan ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwarna hitam, kemudian setelah itu berwarna merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati  selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau. Maka haidnya yaitu: darah yang berwarna hitam (pada masalah pertama). Darah kental (pada masalah kedua) dan darah yang berbau (pada masalah ketiga) dianggap sebagai darah haidh.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti debu Hubaisy:
(( إِذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَن الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّيْ فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ )) رواه أبو داود والنسائي وصححه ابن حبان والحاكم.
“Jika suatu darah itu darah haid, maka ia berwarna hitam diketahui, bila demikian maka tinggalkan shalat. Jika selain itu maka berwudhulah dan lakukan shalat lantaran itu darah penyakit. (HR. Abu dawud, An Nasai dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, namun telah diamalkan oleh para ulama’. Dan hal ini lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum perempuan pada umumnya.
3.      Tidak memiliki haid yang terperinci waktunya, dan darah yang keluar tidak bisa dibedakan secara tepat. Seperti bila istihadhah yang dialaminya terus- menerus mulai dari ketika pertama kali melihat darah. Sementara darahnya hanya satu sifat saja, atau berubah-ubah dan mustahil dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum perempuan pada umumnya. Maka masa haidnya ialah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari ketika pertama kali mendapati darah. Sedang selebihnya merupakan darah istihadah.
Misalnya, seorang perempuan pada ketika pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa sanggup dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari mulai dari tanggal lima tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً فَمَا تَرَى فِيْهَا قَدْ مَنَعَتْنِي الصَّلاَةَ وَالصِّيَامَ، فَقَالَ: (( أَنْعَتُ لَكِ (أَصِفُ لَكِ اسْتِعْمَالَ) الكُرْسُفَ (وهو القطن) تَضَعِيْنَهُ عَلَى الفَرجِ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ. وَفِيْهِ قَالَ: (( إِنَّمَا هَذَا رَكْضَةٌ مِنْ رَكَضَاتِ الشَّيْطَان، فَتَحِيْضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ فِيْ عِلْمِ الله تَعَالَى، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُوْمِيْ )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصححه، ونقل عن أحمد أنه صححه وعن البخاري أنه حسنه.
Ya Rasulullah, sungguh saya sedang mengalami istihadhah yang deras sekali, kemudian bagaimana pendapatmu wacana itu dikarenakan telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatnya pada farji (kemaluan) lantaran hal itu sanggup menyerap darah”. Hamnah berkata: “Darahnya lebih banyak dari pada itu”. Nabipun bersabda: “ini hanyalah salah satu ejekan syaitan. Maka hitunglah haidmu 6 atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah subhanahu wa ta'ala, kemudian mandilah hingga kau merasa lebih higienis dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 23 hari, dan puasalah" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At Tirmidzi hadits ini shahih, sedang berdasarkan Al Bukhari Adalah hasan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ 6 atau 7 hari “ tersebut bukan untuk memperlihatkan pilihan, tapi biar si perempuan berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari perempuan lain yang lebih menyerupai kondisi fisiknya, lebih bersahabat usia dan kekerabatan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan yang lainnya. Jika kondisinya lebih mendekati yang selama enam hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari, tetapi bila kondisinya lebih mendekati yang 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.

3.      Hal wanita yang menyerupai istihadhah.
Kadang kala seorang wanita, lantaran suatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, menyerupai lantaran operasi pada rahim atau sekitarnya, hal ini ada dua macam:
1- Diketahui bahwa si perempuan tak mungkin haid lagi setelah operasi, menyerupai operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang menimbulkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya ialah aturan perempuan yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau berair setelah masa suci. Karena itu tidak boleh meninggalkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi lantaran keluarnya darah, tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (pembalut wanita) pada farjinya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu menyerupai berwudhu untuk shalat. Tidak boleh ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya. Jika shalat itu telah tertentu waktunya menyerupai shalat lima waktu; bila tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya, menyerupai shalat sunnah yang mutlak.
2- Tidak diketahui bahwa si perempuan tidak bisa haid lagi setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi, maka berlaku baginya aturan mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
(( إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِالحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَاتْرُك الصَّلاَةَ ))
“Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid, bila tiba haid maka tinggalkan shalat”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ bila tiba haid ..” menunjukkan bahwa mustahadhah berlaku bagi perempuan yang berkemungkinan haid, yang bisa tiba atau berhenti. Adapun perempuan yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar, pada prinsipnya dihukumi sebagai darah penyakit.

4.            Hukum – aturan Istihadhah.
Dari klarifikasi terdahulu, sanggup kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah. Jika yang terjadi ialah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedang bila yang terjadi darah istihadhah maka yang berlaku pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan dimuka. Adapun hukum-hukum istihadhah menyerupai halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). tidak ada perbedaan antara perempuan mustahadhah dan perempuan suci, kecuali dalam hal  berikut ini:
a-      Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
(( ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ )) رواه البخاري في باب غسل الدم.
“Kemudian berwudhulah setiap kali hendak shalat (HR. Al Bukhari, Bab: membersihkan darah).
Hal itu memperlihatkan pemahaman bahwa perempuan mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali bila telah masuk waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada ketika hendak melakukannya.
b-      Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sia darah dan melekatkan kapas (pembalut) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamnah:
(( أَنْعَتُ لَكِ الكُرْسُف فَإِنَّه يُذْهِبُ الدَّمَ )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: (( فَاتَّخِذِيْ ثَوْبًا )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: فَتَلَجَّمِيْ ))
Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, lantaran hal itu sanggup menyerap darah”. Hamnah berkata: “darahnya lebih banyak dari pada itu, ia Bersabda: “Gunakan kain!” Kata Hamnah: Darahnya masih banyak pula” Nabipun bersabda: “Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya, lantaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( اجْتَنِبِيْ الصَّلاَةَ أَيَّامَ تَحِيْضُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ، ثُمَّ صَلِّيْ، وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الحَصِيْرِ )) رواه أحمد وابن ماجه.
“Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, kemudian shalatlah meskipun darah menetes di atas alas” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
c-      Jima’ (senggama). Para ulama berbeda pendapat wacana kebolehannya pada kondisi di mana bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan mengakibatkan zina. Yang benar ialah boleh secara mutlak. Karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah:
 “... Hendaklah kau menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid …” (QS. Al Baqarah: 222).
Ayat ini memperlihatkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari istri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan perempuan mustahadhah, maka jima’pun lebih boleh. Dan tidak benar jima’ perempuan mustahadhah dikiaskan dengan jima’ perempuan haid, lantaran keduanya tidak sama, bahkan berdasarkan pendapat para ulama menyatakan haram (mengkiaskannya). Sebab mengkiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda ialah tidak sah.


PASAL VI
NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA

1.            Makna Nifas
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang dilihat seorang perempuan ketika mulai merasa sakit ialah darah nifas”. Beliau tidak memperlihatkan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat wacana apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya "tentang sebutan yang dijadikan kaitan aturan oleh pembawa syariat" hal. 37: “Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang perempuan mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu ialah darah nifas. Namun bila berlanjut terus maka itu ialah darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, lantaran hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.
Atas dasar ini, bila darah nifasnya melebihi 40 hari, pada hal berdasarkan kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak gejala akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si perempuan menunggu hingga berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika tepat 40 hari lantaran selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu hingga habis masa haidnya. Jika berhenti selama masa (40) hari, maka hendaklah hal tersebut dijadikan patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang. Namun bila darahnya terus-menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum perempuan mustahadhah yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun bila si perempuan telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa, dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, bila berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalm kitab Al Mughni.
Nifas tidak sanggup ditetapkan, kecuali bila si perempuan melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia, seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum terperinci berbentuk insan maka darah yang keluar itu bukan darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya ialah aturan perempuan mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk insan ialah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari.
Menurut Al Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab syarhul Iqna’: “Manakala seorang perempuan mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun bila sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila setelah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku aturan berdasarkan kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban”.
  
   2- Hukum –hukum nifas
   Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
a.       Iddah. Dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab bila talak jatuh sebelum istri melahirkan, iddahnya akan habis lantaran melahirkan bukan lantaran nifas. Sedangkan bila talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu setelah haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
b.      Masa ila’.  Masa haid termasuk masa ila’, sedangkan masa nifas tidak.
   Ila’ yaitu: bila seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila ia bersumpah demikian dan si istri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari ketika bersumpah. Setelah tepat masa tersebut suami diharuskan menggauli istrinya, atau menceraikan atas ajakan istri. Dalam masa ila’ selama empat bulan bila si perempuan mengalami nifas, tidak dihitung terhadap suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
c.       Baligh. Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena seorang perempuan mustahil bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang perempuan terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
d.      Darah haid bila berhenti kemudian kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya seorang perempuan yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian tiba lagi pada hari ketujuh dan kedelapan, maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali tiba itu ialah darah haid.
Adapun darah nifas, bila berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si perempuan shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya, dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi perempuan haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu hal-hal yang wajib diqadha perempuan haid. Inilah pendapat yang masyhur berdasarkan para fuqaha’ dari madzhab Hanbali.
Pendapat yang benar, bila darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk darah nifas. Jika tidak, maka ia darah haid; kecuali  bila darah itu keluar terus-menerus maka merupakan darah istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab Al Mughni juz I, hal. 349, bahwa Imam Malik mengatakan: “Apabila seorang perempuan mendapati darah setelah dua atau tiga hari; yakni semenjak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti ia darah haid”. Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam problem darah. Namun, keragu-raguan ialah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al Qur’an dan sunnah berisi klarifikasi atas segala sesuatu. Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali bila ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak sanggup diatasi dengan mengqadha’. Adapun bila seseorang sanggup mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari tanggungannya, sebagaimana firman Allah:
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
 “Maka bertaqwalah kau kepada Allah berdasarkan kesanggupanmu..”(QS. At- taghabun: 16).
e.       Dalam haid, bila si perempuan suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, bila ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, berdasarkan yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Tapi pendapat yang benar, berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dihentikan menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar’i yang memperlihatkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa istrinya tiba kepadanya sebelum empat puluh hari, kemudian ia berkata: “Jangan kau dekati aku!”.
Ucapan utsman tersebut tidak berarti suami dihentikan menggauli istrinya lantaran hal itu mungkin saja merupakan perilaku hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau istrinya belum suci benar, atau takut sanggup menimbulkan pendarahan disebabkan senggama atau lantaran lainnya. Wallahu a’lam.


                                                                               PASAL VII

PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH

                                                   ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH

KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN

1. Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi perempuan memakai alat pencegah haid, dengan dua syarat:
a. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya, bila dikhawatirkan membahayakan dirinya lantaran memakai alat tersebut, maka  hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 “…Dan janganlah kau menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.." (QS. Al Baqarah: 195).
 “…Dan janganlah kau membunuh dirimu, sesungguhnya Allah ialah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisaa': 29).
b.      Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut memiliki kaitan dengannya. Contohnya; si istri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi nafkah kepadanya, memakai alat pencegah haid supaya lebih usang iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumnya tidak boleh bagi si istri memakai alat pencegah haid ketika itu kecuali dengan seizin suami. Demikian juga bila terbukti bahwa pencegahan haid sanggup mencegah kehamilan, maka harus dengan  seizin suami.
Meski secara aturan boleh, namun lebih utama tidak memakai alat pencegah haid kecuali bila dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.
   2. Perangsang haid
Diperbolehkan juga memakai alat perangsang haid, dengan dua syarat:
a.       Tidak memakai alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya; seorang perempuan memakai alat perangsang haid pada ketika manjelang Ramadhan dengan tujuan biar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.
b.      Dengan seizin suami, lantaran terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan kekerabatan suami-istri. Maka tidak boleh bagi si perempuan memakai alat yang sanggup menghalangi hak suami kecuali dengan restunya. Dan bila istri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurnya hak rujuk bagi suami bila ia masih boleh rujuk.
3. pencegah kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
a.       Penggunaan alat yang sanggup mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, lantaran sanggup menghentikan kehamilan yang menimbulkan berkurangnya jumlah keturunan. Dan hal ini bertentangan dengan tawaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biar memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
b.      Penggunaan alat yang sanggup mencegah kehamilan sementara, seorang perempuan yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali, maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sobat pernah melaksanakan azl terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Azl yaitu tindakan - pada ketika bersenggama - dengan menumpahkan sperma di luar farji (vagina) istri.
4. Penggugur kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan ada dua macam:
a.Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin, bila janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak diragukan lagi ialah haram, lantaran termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya berdasarkan Al Qur’an, sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun bila janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam problem ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang menyampaikan boleh sebelum berbentuk segumpal darah, artinya sebelum berumur 40 hari. Ada pula yang membolehkan bila janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati ialah tidak boleh melaksanakan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali bila ada kepentingan. Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak bisa lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi menyerupai ini ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali bila janin tersebut diperkirakan telah berbentuk insan maka hal ini tidak diperbolehkan. Wallahu A’lam.
c.Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada perempuan hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya yang tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam problem ini ada empat hal:
c.i Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, menyerupai sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Demikian, lantaran tubuh ialah amanat Allah subhanahu wa ta'ala yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu, dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tetapi ternyata membawa bahaya.
c.ii. Jika ibu dan bayi yang di kandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
c.iii. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali bila dikhawatirkan sanggup membahayakan si ibu. Sebab berdasarkan pengalaman wallahu a’lam bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak sanggup dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalaupun dibiarkan terus dalam kandungan, sanggup mencegah kehamilan ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami bila ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
c.iv. Jika si ibu meninggal dunia, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, bila bayi yang dikandung diperkirakan tak ada impian untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun bila ada impian untuk hidup, menyerupai sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi bila sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar maka ada yang beropini bahwa tidak boleh melaksanakan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya, lantaran hal itu merupakan tindakan penyiksaan.
Pendapat yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya bila tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf :" pendapat ini yang lebih utama”.
Apalagi pada zaman kini ini, operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan. Karena setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar dari pada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran ialah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung ialah insan yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a’lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya memakai alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran) harus ada izin dari pemilik kandungan yaitu suami.


PENUTUP

Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul yang penting ini. Sengaja kami batasi pembahasan pada pokok problem dan kaidah umum. Jika tidak, maka segala cabang dan cuilan problem serta apa yang terjadi pada perempuan dalam permasalahan ini bagai samudra tak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu sanggup mengembalikan cabang dan cuilan permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta sanggup mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Perlu diketahui oleh seorang mufti (pemberi fatwa) bahwa dirinya ialah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam memberikan aliran yang dibawa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjelaskan kepada mereka. Dia akan ditanya wacana kandungan Al- Qur’an dan sunnah, yang keduanya merupakan sumber aturan yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah ialah salah, dan wajib ditolak, siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan lantaran berijtihad, tetapi orang lain yang mengetahui kesalahannya tidak boleh mendapatkan ucapannya.
Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata lantaran Allah subhanahu wa ta'ala, selalu memohon maunah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta kehadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran.
Al-Qur’an dan Sunnah wajib menjadi sentra perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti keduanya atau memakai pendapat para ulama untuk memahami keduanya.
Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin tidak ditemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah tampak baginya aturan permasalahan itu dengan simpel dan gamblang. Hal itu sesuai dengan keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menetapkan aturan manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak aturan yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya bisa meratapi dan fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.
Seorang mufti bila diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapannya akan dipercaya dan diperhatikan, tetapi bila dikenal ceroboh yang sering kali menciptakan kekeliruan, pasti fatwanya tidak akan dipercaya orang. Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala memperlihatkan kita dan kaum muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.    

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel