Pembangunan Masjid Nabawi, Pondasi Masyarakat Islam

PEMBANGUNAN MASJID NABAWI, PONDASI MASYARAKAT ISLAM
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Setelah unta tunggangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berhenti di suatu daerah di Madinah, maka kaum muslimin menjadikannya sebagai daerah untuk menunaikan shalat. Tempat itu merupakan daerah penjemuran kurma milik Suhail dan Sahl, dua anak yatim dari Bani Najjâr yang berada dalam pemeliharaan As’ad bin Zurârah.

Ketika tunggangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berhenti di daerah itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( هَذَا إِنْ شَاءَ اللهُ الْمَنْزِلُ )) [ رواه البخاري]
"Insya Allah, daerah ini (untuk) rumah" [HR Bukhâri]

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil kedua anak yatim itu dan menawar tanah itu untuk dijadikan masjid. Tetapi kedua anak itu berkata: “Justru kami ingin memberikannya kepada anda, wahai Rasulullah”. Meski demikian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa enggan mendapatkan derma dua anak kecil ini, sehingga dia Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap membelinya. Dan di atas tanah ini, Masjid Nabawi dibangun.[1]
Dalam riwayat Imam Bukhâri rahimahullah lainnya diceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak memerintahkan pembangunan masjid, dia Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan ke Bani Najjâr. Ketika mereka sudah datang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
(( يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لَا وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ ))
"Wahai Bani Najjâr, hargailah kebun kalian ini untukku!" Mereka menjawab: "Demi Allah , tidak! Kami tidak akan meminta harganya kecuali kepada Allah Azza wa Jalla ".
Dalam riwayat ini dijelaskan juga, bahwa di daerah ini terdapat kuburan orang-orang musyrik, dataran yang agak tinggi, dan ada juga pohon kurma. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan biar kuburan orang-orang musyrik ini digali dan tulang-belulangnya dikeluarkan, dataran yang agak tinggi diratakan, dan dia Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan biar memotongi pohon-pohon kurma tersebut. Setelah itu, pembangunan masjid pun dimulai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri berbaur bersama para sahabat membawa watu bata yang masih mentah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan syair:
" هَذَا الْحِمَـالُ لَا حِمَـالَ خَيْبَرْ هَذَا أَبَرُّ رَبَّنَا وَأَطْهَرْ "
"Yang dibawa ini bukanlah beban dari Khaibar.Ini lebih kekal, lebih bermanfaat dan lebih suci di sisi Rabb kami".

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berseru:

" اللَّهُمَّ إِنَّ الْأَجْرَ أَجْرُ الْآخِرَهْ فَارْحَمْ الْأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرَه "
"Ya Allah, bergotong-royong ganjaran itu yaitu ganjaran akhirat
Berilah rahmat kepada kaum Anshâr dan kaum Muhajirin"
.[2]

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa mereka memindahkan bebatuan sambil membawakan syair, sementara itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berbaur bersama mereka. Mereka mengumandangkan syair:

" اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُ الْآخِرَهْ فَانْصُرْ الْأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرَهْ "

"Ya Allah, bergotong-royong tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat- Maka berilah pertolongan kepada kaum Anshâr dan Muhajirin" [3].
Dalam pembangunan masjid ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutamakan orang-orang yang ahli. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat yang ikut bekerja membangun masjid: "Dekatkanlah al-Yamâmi ke tanah itu, alasannya yaitu sentuhan dia terbaik di antara kalian, dan paling berpengaruh adonannya”

Dalam riwayat lain, al-Yamâmi berkata: “Aku mencampurkan tanah, kemudian seakan campuranku ini menakjubkan dia Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bersabda: 'Biarkanlah al-Yamaami al-Hanafi dengan tanah, alasannya yaitu dia paling jago di antara kalian dalam urusan tanah'."[4]

‘Ammar bin Yâsir Radhiyallahu 'anhu termasuk sahabat yang sangat bersemangat dalam pembangunan ini. Saat yang lain membawa satu watu bata, dia membawa dua. Satu untuk dirinya, sedangkan yang satu lagi untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Melihat perbuatan 'Ammar ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap punggung ‘Ammâr seraya bersabda: “Wahai Ibnu Sumayyah, orang-orang ini mendapatkan pahala satu, tetapi engkau mendapatkan pahala dua, bekal terakhirmu yaitu satu hirupan susu, dan engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang”.[5]
Hadits ini termasuk di antara bukti kenabian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, alasannya yaitu di kemudian hari ‘Ammâr Radhiyallahu 'anhu meninggal dengan cara yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas.

Pembangunan masjid Nabawi membutuhkan waktu dua belas hari. Setelah itu, dilanjutkan dengan membangun kamar-kamar untuk istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara yang sama sebagaimana membangun masjid. Saudah bin Zum’ah Radhiyallahu 'anha, salah seorang istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai daerah tersendiri, dan begitu pula dengan 'Aisyah Radhiyallahu 'anha. Dua rumah inilah yang pertama kali dibangun untuk istri-istri dia Shallallahu 'alaihi wa sallam. Keduanya berdampingan dengan masjid dan sangat sederhana, terbuat dari tanah dan pelepah kurma, atau watu yang disusun dan atapnya pelepah kurma. Kemudian dilanjutkan dengan rumah-rumah berikutnya kalau dia Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah menikah lagi. Setelah semuanya selesai, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pindah dari rumah Abu Ayyub Radhiyallahu 'anhu ke daerah yang gres dibentuk itu.
Pada tahun pertama hijrah ini pula disyariatkan adzan dengan lafazh yang kita dengar sekarang. Demikian, berdasarkan pendapat yang râjih. Driwayatkan, dikala 'Abdullah bin Zaid Radhiyallahu 'anhu bermimpi perihal lafazh-lafazh adzan kemudian diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada Bilal bin Rabbah Radhiyallahu 'anhhu untuk mengumandangkan adzan dengan lafazh-lafazh tersebut. Ketika adzan ini terdengar oleh 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia pun bergegas menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan mimpinya yang sama dengan mimpi 'Abdullah bin Zaid Radhiyallahu 'anhu.
Hingga beberapa lama, keadaan masjid yang sangat sederhana ini tetap sama tak berubah sebagaimana dikala dibangun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu menjadi Khalifah, dia Radhiyallahu 'anhu tidak melaksanakan renovasi apapun. Ketika Umar Radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, dia Radhiyallahu 'anhu merubah tiangnya yang terbuat dari pohon kurma menjadi kayu dan melindungi atapnya dari hujan. Kemudian Utsman Radhiyallahu 'anhu, dia Radhiyallahu 'anhu melaksanakan banyak perubahan. Beliau Radhiyallahu 'anhu membangun temboknya dengan watu yang berukir, dan begitu pula dengan tiangnya. Sedangkan atapnya dirubah dengan sejenis kayu hias.[6]
Awal mulanya, di masjid Nabi ini belum ada mimbar sebagai daerah berkhutbah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah sambil bersandar pada sebuah batang kurma. Tentang batang kurma ini, terdapat insiden yang menjadi bukti kebenaran kenabian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dibuatkan mimbar dan kemudian dia Shallallahu 'alaihi wa sallam pindah tempatnya dalam memberikan khutbah, batang kurma yang biasa dijadikan sandaran dia Shallallahu 'alaihi wa sallam itu menangis layaknya anak kecil. Mendengar tangisan pohon ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun kembali kepadanya dan memeluknya sehingga diam.[7]
Alangkah indahnya keterangan yang disampaikan oleh Hasan al-Bashri sesudah membawakan riwayat ini. Beliau rahimahullah berkata: “Wahai kaum muslimin, kayu sanggup merintih alasannya yaitu merindukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bukankah orang-orang yang berharap sanggup berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pantas untuk merindukannya?” [8]
FUNGSI MASJID
Dibangunnya masjid oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai fungsi sebagai sarana ibadah.Juga difungsikan untuk mengurus segala hal berkaitan dengan kepentingan kaum muslimin, seperti:
1. Menampung kaum Muhajirin yang miskin dan masih lajang yang belum sanggup menciptakan daerah tinggal sendiri. Mereka ini dikenal dengan ahlu shuffah.[9]
2. Menampung kaum perempuan yang gres masuk Islam dan belum mendapatkan daerah tinggal selain masjid, menyerupai al-Walîdah as-Saudâ` yang menciptakan rumah-rumahan dan kecil.[10]
3. Menjadi sentra pembelajaran kaum muslimin perihal duduk masalah din mereka.
4. Menjadi sentra penggubahan syair-syair untuk membela dakwah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [11]

5. Menjadi daerah menahan para tawanan perang, sehingga kaum muslimin sanggup mengambil pelajaran, dan para tahanan itu juga sanggup mengambil pelajaran dikala melihat kaum muslimin melaksanakan shalat dan mendengarkan al-Qur`ân, sebagaimana dalam kisah Tsumâmah bin Utsâl Radhiyallahu 'anhu.[12]

6. Menjadi sentra pengobatan bagi kaum muslimin yang terluka dalam peperangan.
7. Tempat mendapatkan duta-duta yang diutus kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
8. Sebagai daerah berkumpul kaum muslimin dengan para komandan mereka. Dalam hal ini terdapat dua faidah (pelajaran) yang sanggup diambil;
a. Mendekatkan relasi antara kaum muslimin dengan para komandan.
b. Mendekatkan relasi sesama kaum muslimin.

Dua faidah sudah dirasakan oleh banyak kaum muslimin. Karena mereka mengira, bahwa masjid hanya untuk shalat saja.
HUKUM DAN HIKMAH DARI KISAH DI ATAS
1. Mayoritas ulama jago fiqh berdalil dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membeli tanah milik anak yatim melalui mediator orang yang memelihara mereka, sebagai dalil tidak sahnya aqad anak yang belum baligh pada harta yang dia miliki. Untuk menguatkan dalil ini, para ulama juga mempunyai dalil lain dari Al-Qur`ân:
﴿ وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ   [إبراهيم: 34 ]
"Dan janganlah kau dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga hingga ia dewasa" [al An’âm/6 : 152].
Sedangkan hadits yang memperlihatkan bahwa janji ini terjadi eksklusif antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan si anak, maka pengertiannya sanggup dibawa pada kekhususan dia Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli tanah ini dari si anak dalam kapasitasnya sebagai pemimpin seluruh kaum muslimin, bukan sebagai pribadi.
Dalam duduk masalah janji yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh, para ulama mempunyai beberapa pendapat, di antaranya:
a. Jika akadnya hanya akan mendatangkan manfaat bagi dia menyerupai mendapatkan pemberian, maka itu boleh.
b. Jika akadnya hanya akan mendatangkan bahaya, menyerupai janji memperlihatkan sesuatu maka itu tidak boleh.
2. Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggali kuburan usang memperlihatkan bolehnya menggali kuburan yang usang itu dan membangun masjid di atasnya, kalau tanahnya sudah bersih.
3. Bahwasanya tanah yang ada kuburannya masih boleh dijual dan masih menjadi hak yang memilikinya dan jago warisnya, kalau tanah itu belum diwakafkan.
4. Berdasarkan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak memberatkan diri dalam membangun masjid, dan berdasarkan perkataan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, maka para ulama menyatakan bahwa aturan mengukir masjid dan menghiasinya yaitu makruh, bahkan sebagian beropini haram (Ahmad Nusadi)
Sumber: as-Siratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril Ashliyyah, Dr Mahdi Rizqullah, hlm. 293-299, diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Nusadi.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Bukhâri, al-Fath, 15/101, no. 3906.
[2]. HR Bukhâri, al-Fath, 15/101, no. 3906.
[3]. HR Bukhâri, al-Fath, 15/101, no. 3932.
[4]. Ibnu Hajar rahimahullah membawakan kedua riwayat ini dalam kitab Fat-hul-Baari, 3/112. Beliau rahimahullah mengatakan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[5]. HR Muslim (4/2236, no. 2916), Ahmad dalam al-Musnad (3/5), al-Hakim (3/389) dan dia t berkata: "Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Muslim, namun dia berdua tidak membawakannya”.
[6]. HR Bukhari, al-Fath (3/106 dan 108, no. 446). Mengenai yang lakukan oleh 'Utsman bin 'Affan z ini, maka Ibnu Hajar berkata: “Beliau z membaguskannya tanpa menghiasnya”.
[7]. Lihat kisah ini dalam Shahih Bukhari dengan lafazh berbeda. Al-Fath, 14/95, no. 3584 dan 3585.
[8]. Al-Baihaqi dalam Dalaailun-Nubuwwah, 2/559.
[9]. Riwayat Bukhâri, al-Fath, 3/102 berdasarkan dari perkataan Anas .
[10]. Lihat kisahnya, dikala dia x dituduh mencuri oleh kaumnya. Bukhri, al-Fath, 3/100, no. 439.
[11]. Riwayat Bukhâri, al-Fath, 3/118, no. 453. Lihat pula keterangan Ibnu Hajar rahimahullah dalam pecahan ini.
[12]. HR Bukhâri, al-Fath, 3/127, no. 461
[13]. Lihat juga surat al-Isrâ`/17 ayat 33.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel