Review : The Gift (2018)
“Setiap kali kau cerita, imajinasi kau membuat dunia semakin luas. Dan saya ingin menaklukkan itu.”
Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan bisa memperlihatkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang diperlukan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya ibarat Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka dikala ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini hingga diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa ingin tau yang menggelayuti. Lebih-lebih, beliau mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi ajal yang terlalu menarik hati untuk dilewatkan begitu saja, bukan?
Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan kekerabatan dan interaksi dua insan yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari wangsit untuk merampungkan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat jalan masuk ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah laki-laki yang gemar beramah tamah, korelasi baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai seruan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus sebab tukar obrolan diantara mereka berujung pada pertikaian lisan lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, bahwasanya agak sulit membayangkan keduanya sanggup membuat koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, kemudian berusaha untuk saling memahami. Di dikala inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi hingga kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.
Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” kemudian menghadirkan orang ketiga dalam korelasi asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas berkembang menjadi sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ ialah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua aksara utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua insan yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa beliau tumbuh sebagai wanita yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak menerima perlakuan serupa dan pembagian terstruktur mengenai mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun jadinya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini bahwasanya saling membutuhkan. Mereka ialah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus.
Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan aksara Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa kemudian menyakitkan yang mempunyai dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, hingga ingin memperlihatkan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini terperinci merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali obrolan melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak sanggup memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta pertolongan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu ialah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak hingga berdampak signifikan pada keseluruhan film.
Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di formasi karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau penyesuaian dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.
Exceeds Expectations (3,5/5)