Review : Avengers: Infinity War
“The entire time I knew him, he only ever had one goal. To wipe out half the universe. If he gets all the Infinity Stones, he can do it with the snap of his fingers. Just like that.”
Pertempuran terakbar di sejarah perfilman dunia dalam satu dekade terakhir telah tiba. Para pahlawan dengan kekuatan adikuasa milik Marvel Studios yang pertama kali pundak membahu menyelamatkan dunia (atau New York?) dari kegilaan Loki melalui The Avengers (2012), kemudian bereuni dalam Avengers: Age of Ultron (2015) tatkala mereka menerima kiprah dinas bersama di Sokovia yang terancam hancur lebur dari serangan Ultron, dan sempat pecah kongsi alasannya ialah perbedaan ideologi di Captain America: Civil War (2016), jadinya memperoleh perlawanan yang tidak lagi sanggup dipandang sebelah mata lewat Avengers: Infinity War yang merupakan film ke-19 dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU). Ya, di perayaan menapaki usia ke-10 semenjak MCU pertama kali diperkenalkan dalam Iron Man (2008) ini, pertaruhannya benar-benar faktual dan berada di tingkatan sangat tinggi. Betapa tidak, para anggota Avengers sekarang mesti menghadapi Thanos yang digadang-gadang sebagai supervillain yang amat sulit untuk ditaklukkan. Dibandingkan dengan Thanos, Loki dan Ultron tidak lebih dari sebatas remah-remah renggingang. Dia mengoleksi enam kerikil akik, eh maksud saya, Batu Keabadian alias Infinity Stones, yang memungkinkannya untuk menguasai jagat raya dengan gampang semudah menjentikkan jari. Berbekal batu-batu tersebut, si Mad Titan ini akan melenyapkan separuh dari populasi galaksi yang dianggapnya telah berkontribusi terhadap kekacauan alam semesta sehingga suatu keseimbangan sanggup dicapai. Gila, kan?
Gila memang satu kata yang sempurna untuk mendeskripsikan Avengers: Infinity War disamping ambisius serta epik. Duo sutradara Anthony dan Joe Russo (Captain America: The Winter Soldier, Captain America: Civil War) memastikan bahwa penantian khalayak ramai selama satu dekade tidaklah sia-sia. Mereka berupaya untuk mengkreasi Avengers: Infinity War sebagai sebuah pemuncak yang layak dikenang dan lebih gegap gempita dibandingkan dengan dua predesesornya. Salah satu caranya ialah dalam penceritaan yang merentang panjang hingga 149 menit, duo ini tidak mempersilahkan para penonton untuk memalingkan muka barang sejenak dari layar bioskop maupun mengambil jeda satu dua menit untuk ngacir ke toilet demi merampungkan panggilan alam. Ya bagaimana sanggup melepaskan atensi ketika film telah mencengkram perhatian secara dekat sedari menit pertama. Russo bersaudara yang mengejawantahkan naskah kreasi Christopher Markus dan Stephen McFeely ini tidak banyak berbasa-basi kala memulai alunan penceritaan dari Avengers: Infinity War. Mereka seketika menempatkan kita dalam situasi mendebarkan yang merupakan kelanjutan dari adegan bonus di Thor: Ragnarok (2017) yang memperlihatkan nasib para pengungsi Asgard selepas para penumpang dari sebuah kapal ruang angkasa misterius dengan ukuran raksasa tiba-tiba menyantroni kapal mereka. Kita mengetahui bahwa salah satu penumpang kapal tersebut ialah Thanos (Josh Brolin) dan kita mengetahui bahwa Batu Keabadian koleksinya telah bertambah.
Itu artinya, alam semesta tengah terancam bahaya. Bruce Banner (Mark Ruffalo) yang kebetulan menjadi saksi mata kala Thanos merebut Space Stone dari genggaman Thor (Chris Hemsworth) seketika mengabarkan ke bumi bahwa ada ancaman besar yang segera tiba dalam wujud Thanos beserta kroni-kroninya yang dikenal dengan sebutan Black Order. Saya tidak perlu menjabarkan proses bersatunya kembali para anggota inti Avengers menyerupai Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rhodey (Don Cheadle), Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen), Vision (Paul Bettany), serta Sam Wilson (Anthony Mackie) secara detil alasannya ialah akan sedikit merusak kesenangan dalam menyaksikan Avengers: Infinity War. Yang jelas, mereka berkenan menyingirkan ego masing-masing dan tetapkan untuk bersatu sekali lagi karena dihadapkan pada satu musuh besar yang sama, yakni Thanos. Mengingat sang lawan sama sekali tidak sanggup diremehkan – terlebih lagi kalau ia sudah berhasil mengumpulkan keenam Batu Keabadian secara komplit – maka bala pemberian pun diharapkan oleh para personil Avengers yang sekali ini berasal dari Stephen Strange si penyihir (Benedict Cumberbatch), Peter Parker si pandai balig cukup akal laba-laba (Tom Holland), T’Challa si Raja Wakanda (Chadwick Boseman), Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang merupakan sohib kental Steve Rogers, hingga para mafia galaksi berhati mulia dari dwilogi Guardians of the Galaxy yang salah satu anggotanya mempunyai keterkaitan secara eksklusif dengan Thanos.
Semenjak adegan pembuka yang menciptakan diri ini terhenyak, daya cengkram memang tidak pernah sedikitpun mengendur hingga Avengers: Infinity War benar-benar mengakhiri gelarannya. Film ini memenuhi segala ekspektasi yang disematkan untuknya. Sepanjang durasi merentang, si pembuat film mengisinya dengan serentetan sekuens tubruk bombastis, humor yang efektif mengocok perut, serta momen emosional yang menciptakan mata sembab, yang mengakibatkan perjalanan panjang selama 2,5 jam terasa berlangsung dengan begitu cepat sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa film telah tutup durasi. Seperti telah saya singgung di dua paragraf sebelumnya, mengalihkan pandangan dari layar dan melenggang ke toilet di sela-sela rangkaian konfrontasi ialah suatu hal yang hampir tidak mungkin dilakukan selama menyaksikan Avengers: Infinity War. Ini tentu saja terdengar hiperbolis, tapi setidaknya begitulah situasi di bioskop kawasan saya menyaksikan reuni para pahlawan bertubuh atletis ini. Penonton duduk anteng menyaksikan intrik yang menggeliat dalam film (jika ada bunyi tak diinginkan, akan terdengar ‘sssttt’ berjamaah), kemudian gregetan dan harap-harap cemas ketika pertarungan antara Avengers melawan Black Order maupun Thanos mulai berlangsung, kemudian tertawa terbahak-bahak begitu mendengar celetukan atau tindakan kocak para abjad (favoritku secara personal: tatapan Okoye (Danai Gurira) ketika melihat Hulkbuster terjerembab di medan tempur. Priceless!), hingga jadinya menyeka air mata yang tidak nyana-nyana bakal mengalir di beberapa titik. Epik!
Keberhasilan Russo bersaudara dalam melibatkan emosi penonton ini tentu berkat kombinasi dari pengarahan, naskah, elemen teknis (efek visualnya jempolan!), serta performa aktor yang bekerja secara semestinya. Saat hendak menyaksikan Avengers: Infinity War, ada satu pertanyaan yang pastinya mencuat di benak sebagian penonton. Pertanyaan tersebut berbunyi, “bagaimana cara si pembuat film memberi mereka jatah tampil yang layak sementara jumlah mereka sangat banyak?.” Tidak sanggup dipungkiri memang ada kekhawatiran bahwa beberapa pahlawan kesayangan kita akan terpinggirkan porsinya mengingat durasi film begitu terbatas sementara ada lusinan superhero dan satu penjahat besar yang mengambil peran. Namun kekhawatiran tersebut lenyap tak bersisa usai film menjalankan penceritaannya secara resmi. Pengarahan beserta naskah yang solid ditunjang oleh penyuntingan rapi dan akting jajaran pemain yang apik memungkinkan setiap abjad mempunyai kesempatan untuk bersinar sekaligus berkontribusi faktual terhadap penceritaan termasuk pendatang gres macam Stephen Strange beserta para penjaga galaksi dan sang supervillain, Thanos, yang tak saja intimidatif tetapi juga menyimpan kompleksitas pada karakternya (dia bukanlah penjahat satu dimensi dengan motif dangkal) sehingga menciptakan kita berada di posisi serba salah; kita membencinya alasannya ialah destruksi yang diciptakannya dan di ketika bersamaan kita bersimpati kepadanya alasannya ialah dibalik perangainya yang bengis, ia masih mempunyai hati.
Bagusnya, para abjad yang jumlahnya bejibun ini dimunculkan alasannya ialah mereka memang diharapkan untuk menggerakkan kisah, bukan sebatas untuk memeriahkan film semata. Demi menegaskan peranan masing-masing, film berjalan sedikit pelan di paruh pertama – itupun sudah sarat tubruk dan humor jadi tak ada kesempatan untuk menguap. Ketika job description telah dipaparkan dengan jelas, Avengers: Infinity War seketika lepas landas di satu jam terakhir yang bersinonim dekat dengan ‘kegilaan’. Pertaruhannya meningkat diikuti dengan pertempuran yang keseruannya mengalami eskalasi dan tonjokkan pada sisi emosi. Selepas film berakhir kita memang tidak akan eksklusif bertepuk tangan (momen itu telah muncul di adegan ‘kembalinya Thor’ yang disambut sorak sorai), tetapi muncul satu perasaan yang menciptakan kita pada perenungan. Memandang ke layar bioskop yang telah kosong seraya berusaha mencerna tontonan yang gres saja kita saksikan. Bahkan perasaan ini masih menghinggapi hingga beberapa jam kemudian. Sebuah perasaan yang hanya sanggup muncul ketika film yang gres saja kita saksikan telah meninggalkan impak yang sangat besar lengan berkuasa pada emosi.
Note : Avengers: Infinity War hanya mempunyai satu adegan bonus di penghujung durasi, tapi penting untuk disimak.
Outstanding (4,5/5)