Review : Deadpool 2
“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.”
“So dark. You sure you're not from the DC universe?”
Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics memperlihatkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan cukup umur (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang bau tanah tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun menerima keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya memakai cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan wanita pujaannya, hingga melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan tumpuan ke budaya terkenal yang tidak sedikit diantaranya meliputi F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan bagus sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jikalau kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama menyerupai predesesornya?
Berlatar dua tahun selepas kejadian di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan berjulukan Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk mempunyai momongan. Jika segalanya berjalan sesuai planning menyerupai ini, kemudian apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan jago dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si abjad tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi niscaya membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah abjad baru, salah satunya yaitu Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya yaitu ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero berjulukan X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja berjulukan Russell (Julian Dennison) yang mempunyai kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya.
Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun bangku penyutradaraan sekarang bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh alasannya yaitu itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang pembangkang banyak mencuplik tumpuan ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi hukum tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak langgar di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat hingga titik puncak yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi target empuk nyinyirannya, terlebih jikalau namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir pemeran berkebangsaan Kanada berjulukan Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas membuat konflik rumit.
Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu alasannya yaitu lelucon merupakan bab dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan langgar yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak memperlihatkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch mampu meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kau menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen titik puncak membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan mempunyai makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan memperlihatkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter gres yang mengisi kekosongan hatinya.
Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – menyerupai persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds bisa menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik ia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung bisa mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang mempunyai obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin memperlihatkan sisi ringkih dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu membuat kesenangan dalam Deadpool 2 yaitu pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), hingga lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion kolam lagu tema dari James Bond. Gokil!
Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop alasannya yaitu ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kau tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kau merampungkan urusan belakang sebelum film dimulai alasannya yaitu salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jikalau kau keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel ketika menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it.
Outstanding (4/5)