Review : A Quiet Place
“Who are we if we can’t protect them? We have to protect them.”
A Quiet Place, sebuah film horor aba-aba John Krasinski (The Hollars, Brief Interviews with Hideous Men), mempunyai sebuah premis menggigit yang bisa jadi akan seketika menarik perhatianmu. Dalam film tersebut, suami dari Emily Blunt (yang didapuk menjadi pemain drama utamanya) ini mengajukan premis berbunyi, “bagaimana jikalau di masa depan insan harus bertahan hidup dari serangan makhluk absurd dengan cara tidak mengeluarkan bunyi sama sekali?”. Coba bayangkan, insan cukup umur ini yang tidak sanggup menahan godaan untuk mempergunjingkan orang lain saban beberapa menit sekali dipaksa untuk tutup lisan sepenuhnya. Tentu saja bukan perkara mudah. Tapi ada konsekuensinya jikalau kau keberatan untuk tutup mulut: siap-siap saja dibantai oleh makhluk absurd yang entah darimana datangnya. Seramnya lagi, ini tidak sebatas berlaku pada mengistirahatkan pita bunyi tetapi juga menghilangkan bunyi-bunyian yang diciptakan oleh derap kaki, tepukan tangan, batuk-batuk ringan, kipas angin, mainan berbaterai, kertas yang sobek, pemutar musik, ketikkan di gawai canggih, klakson kendaraan, serta kegiatan (berikut benda) sehari-hari lainnya yang menjadikan bunyi. Gila, kan? Ya, A Quiet Place memang mempunyai premis gila, tapi ini belum ada apa-apanya tatkala dibandingkan dengan hasil akhirnya. Si pembuat film sanggup mentranslasinya ke dalam sebuah tontonan menyeramkan yang akan membuatmu enggan menghembuskan nafas barang sejenak.
Dalam A Quiet Place, John Krasinski membawa kita ke beberapa tahun di masa depan dikala bumi bukan lagi suatu planet yang layak huni bagi manusia. Penonton tidak pernah diberi narasi menyeluruh mengenai kekacauan yang membawa bumi pada kehancuran, melainkan hanya sekilas kemudian dari tajuk utama di surat kabar bekas yang berantakan dimana-mana. Dari tajuk utama tersebut kita memperoleh informasi bagaimana bunyi telah membuat kematian misterius di banyak sekali potongan dunia. Populasi insan menyurut dan kota-kota besar ditinggalkan sehingga membuat jalanan utama kosong melompong menyerupai di film-film zombie. Tidak diketahui secara niscaya ada berapa umat insan yang masih berlalu lalang di atas tanah alasannya yaitu fokus utama dari A Quiet Place yang menentukan bercerita secara intim hanyalah sebuah keluarga yang terdiri atas Ayah (John Krasinski), Ibu (Emily Blunt), serta tiga orang anak dengan konfigurasi satu wanita dan dua laki-laki. Mereka bertahan hidup dengan cara mengambil persediaan di supermarket terbengkalai, menangkap ikan di sungai, mendiami sebuah rumah pertanian, dan paling penting, tidak bersuara. Maklum, bunyi sekecil apapun sanggup mendatangkan tragedi alam besar bagi mereka. Demi meminimalisir munculnya suara, kelimanya pun setuju untuk melepas bantalan kaki dan berkomunikasi memakai bahasa isyarat. Akan tetapi, upaya mereka untuk diam ini mengalami kegagalan tatkala salah satu dari mereka melaksanakan kesalahan besar yang tidak saja mendatangkan tragedi alam tetapi juga penyesalan mendalam.
Tanpa banyak berbasa-basi, Krasinski yang turut menempati posisi sutradara dan peracik skrip seketika membawa penonton pada situasi yang tidak menenangkan dalam A Quiet Place. Kita melihat keluarga kecil ini tengah berkeliling supermarket untuk mencari obat. Si kecil bermain-main, berlari-lari, yang belum apa-apa sudah membuat diri ini was-was. Mungkinkah ada sesuatu yang berbahaya tengah mengintai mereka di sana? Suasananya memang sangat sunyi. Kalaupun ada suara, itu berasal dari deru angin atau burung-burung yang menari-nari di udara seolah mengejek para insan yang dibentuk tak berdaya oleh ancaman makhluk asing. Interaksi antar abjad dilangsungkan memakai bahasa isyarat atau sekadar ekspresi wajah. Hanya jikalau keadaan memungkinkan (berdasar hukum main di film ini, mereka bebas bersuara dikala ada bunyi lebih keras di sekitar mereka), obrolan verbal sanggup muncul. Bisik-bisik pun sebisa mungkin dihindari alasannya yaitu hey, tidak ada salahnya menghindari tindakan yang beresiko, bukan? Siapa yang tahu bunyi menyerupai apa yang masih bisa ditolerir? Dari kesunyian ini, Krasinski lantas membangun teror. Menciptakan situasi yang sangat mengusik kenyamanan sehingga memunculkan rasa tercekam dalam diri penonton. Betapa tidak, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan ancaman tersebut akan tiba menghampiri. Kelima abjad dalam A Quiet Place sanggup berbuat blunder sewaktu-waktu mengingat benda-benda yang menghasilkan bunyi-bunyian masih gampang dijumpai di sekitar mereka. Kayu yang berderit, misalnya.
Kelihaian Krasinski dalam membuat penonton megap-megap alasannya yaitu sulit untuk bernafas (ya gimana bisa bernafas kalau setiap menitnya yaitu ancaman!) menerima sokongan elok dari tim tata bunyi yang bisa menghasilkan ‘kesunyian mencekam’. Saya justru merasa tenang dikala ada suara, dentuman atau apalah-apalah itu, tapi begitu mode bunyi beralih ke senyap, hmmm… baiklah. Bersiap-siap buat merapal doa dalam hati seraya meremas-remas dingklik bioskop nih. Oia, kesunyian ini bukan berarti tanpa bunyi sama sekali menyerupai halnya film bisu lho alasannya yaitu skoring musik mengejutkan khas film menyeramkan masih setia mengiringi utamanya tatkala si peneror telah tiba di sekitar personil keluarga. Hanya saja, A Quiet Place memang terasa lebih mencekam justru dikala musik-musik ini tiada. Pada suasana yang sunyi ini pula, kita memperoleh kesempatan untuk menengok keluarga fiktifnya John Krasinksi-Emily Blunt. Dari sini, kita sebagai ‘pengamat’ menyaksikan munculnya figur orang bau tanah yang rela melaksanakan apa saja demi menyelamatkan anak-anaknya, mendapati upaya mereka untuk berdamai dengan sedih usai suatu kehilangan besar, serta melihat merenggangnya suatu hubungan yang dipicu oleh komunikasi yang kurang intens serta cenderung terhambat. Meski Krasinski ditemani duo penulis skrip, Bryan Woods dan Scott Beck, tidak menggali konflik internal ini lebih dalam lagi, tapi apa yang mereka paparkan telah cukup untuk menghasilkan momen emosional yang menonjok sekaligus membekali penonton sehingga mereka sanggup membentuk afeksi dengan para abjad inti.
Beruntungnya, A Quiet Place mempunyai jajaran pemain yang bisa diandalkan menyerupai John Krasinski, Emily Blunt, serta duo bocah Millicent Simmonds (sekadar informasi, ia memang tuna rungu di kehidupan positif menyerupai abjad yang dimainkannya) dan Noah Jupe yang memerankan putra-putri dari Krasinski-Blunt. Mereka membentuk chemistry meyakinkan sampai-sampai kita bisa meyakini bahwa mereka yaitu keluarga betulan. Kala berlakon sendiri-sendiri pun, keempat pemain ini memperlihatkan performa yang impresif. Simmonds menyembunyikan kerapuhan dan kekecewaan dibalik topeng tangguhnya, sementara Jupe yaitu bocah polos yang dipaksa tumbuh lebih cepat alasannya yaitu keadaan. Lalu Krasinski tampak menyerupai seorang ayah dan pejuang yang begitu mencintai keluarganya tapi mengalami kesulitan dalam mengungkapkan rasa cintanya, sementara Blunt memancarkan aura keibuan yang sangat kuat. Blunt berkesempatan pula untuk unjuk gigi dalam A Quiet Place – pertanda bahwa ia yaitu aktris yang patut diperhitungkan – melalui adegan paling membekas dari film ini yaitu ‘tertimpa kesialan di hari H’. Tengok saja ekspresinya, air mukanya, yang menyiratkan rasa sakit bercampur ketakutan. Membuat diri ini ikut berada dalam fase berdebar-debar tidak karuan. Ikut merasa tertekan! Kemahiran para pelakon dalam berolah tugas ini memang menjadi salah satu kunci keberhasilan A Quiet Place alasannya yaitu berkat mereka, penonton sanggup menginvestasikan emosi. Dapat memperlihatkan pertolongan moril sehingga film pada kesannya tak saja bisa membuat teror dan momen emosional yang mengesankan, tetapi juga kenangan (entah baik entah buruk).
Outstanding (4/5)