Adab Penuntut Ilmu Terhadap Diri Sendiri
Adab Penuntut Ilmu – Diantara kewajiban yang akan terus dikerjakan oleh setiap muslim hingga akhir hayatnya adalah menuntut ilmu.
Dikala menuntut ilmu, seorang penuntut ilmu sepantasnya untuk memperhatikan adab-adab penuntut ilmu.
Ulama’ terdahulu sangatlah menekankan pentingnya adab seorang penuntut ilmu.
Tanpa adab maka ilmu hanya akan menjadi sekedar pengetahuan di dalam kepala. Kebermanfaatan dan keberkahan ilmu akan sulit diraih apabila kita tidak memperhatikan adab-adab dikala menuntut ilmu.
Dikala menuntut ilmu, seorang penuntut ilmu sepantasnya untuk memperhatikan adab-adab penuntut ilmu.
Ulama’ terdahulu sangatlah menekankan pentingnya adab seorang penuntut ilmu.
Tanpa adab maka ilmu hanya akan menjadi sekedar pengetahuan di dalam kepala. Kebermanfaatan dan keberkahan ilmu akan sulit diraih apabila kita tidak memperhatikan adab-adab dikala menuntut ilmu.
Berikut ini akan kita pelajari bersama adab-adab penuntut ilmu yang kami terjemahkan dari kitab Tadzkiratu As-Saami’ wa Al-Mutakallim oleh Ibnu Jama’ah Asy-Syafi’i[1]. Beliau membaginya menjadi tiga pasal sebagai berikut :
- Adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri.
- Adab penuntut ilmu terhadap guru, pembimbing, dan orang yang wajib di hormati.
- Adab penuntut ilmu terhadap pembelajaran.
Adapun pada artikel ini akan kita bahas pasal yang pertama, yakni Adab Penuntut Ilmu Terhadap Dirinya.
Ada sepuluh hal mengenai adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri yang harus ia perhatikan, diantaranya sebagai berikut :
Ada sepuluh hal mengenai adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri yang harus ia perhatikan, diantaranya sebagai berikut :
1. Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Buruk
Seorang penuntut ilmu sepantasnya membersihkan hati dari seluruh sifat-sifat yang buruk seperti dengki atau iri, dendam, keyakinan yang buruk dan akhlak yang tercela.
Dengan hati yang bersih maka seorang penuntut ilmu lebih mudah menerima dan menjaga ilmunya, menguatkan perhatiannya terhadap makna-makna secara detail dan hakikat yang tersembunyi.
Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama’ : “Karena sesungguhnya ilmu adalah sholatussirr (sholat yang tersembunyi), ibadahnya hati, dan perbuatan batin yang mendekatkan pada Allah.”
Sebagaimana shalat yang mana ia merupakan ibadah badan yang nampak tidaklah sah kecuali dengan suci dari hadats dan kotoran, maka demikian pula ilmu yang mana merupakan ibadah hati tidaklah sah kecuali dengan mensucikannya dari sifat-sifat yang buruk dan hadats berupa akhlak-akhlak yang keji dan tercela.
Dengan hati yang bersih maka seorang penuntut ilmu lebih mudah menerima dan menjaga ilmunya, menguatkan perhatiannya terhadap makna-makna secara detail dan hakikat yang tersembunyi.
Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama’ : “Karena sesungguhnya ilmu adalah sholatussirr (sholat yang tersembunyi), ibadahnya hati, dan perbuatan batin yang mendekatkan pada Allah.”
Sebagaimana shalat yang mana ia merupakan ibadah badan yang nampak tidaklah sah kecuali dengan suci dari hadats dan kotoran, maka demikian pula ilmu yang mana merupakan ibadah hati tidaklah sah kecuali dengan mensucikannya dari sifat-sifat yang buruk dan hadats berupa akhlak-akhlak yang keji dan tercela.
Ketika hati diperbaiki untuk ilmu maka keberkahannya akan tampak dan terus bertambah. Seperti tanah yang ketika baik untuk ditanam maka tanamannya akan tumbuh dan subur.
Di dalam hadits disebutkan :
Di dalam hadits disebutkan :
أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah! Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang apabila ia baik maka seluruh jasadnya pun baik, namun bila ia rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah, bahwa itu adalah hati.[2]
Sahl bin Abdullah At-Tusturii mengatakan :
وَحَرَامٌ عَلَى قَلْبٍ أَنْ يَدْخُلَهُ النُّورُ، وَفِيهِ شَيْءٌ مِمَّا يَكْرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Diharamkan atas hati apabila dimasuki cahaya sedangkan di dalam hati itu terdapat hal yang dibenci oleh Allah azza wa jalla.[3]
Ilmu tidak akan masuk ke dalam hati yang dipenuhi dengan kotoran
2. Niat yang Baik
Seorang penuntut ilmu hendaknya berniat baik dikala menuntut ilmu. Yakni hendaknya ia memaksudkan ilmunya untuk meraih wajahnya Allah azza wa jalla, serta bermaksud untuk mengamalkannya, menghidupkan syariat, menyinari hatinya, menghias batinnya, dan untuk mendekatkan pada Allah ta’ala di hari ketika bertemu dengan-Nya, dan menghadapi apa yang telah ia sediakan untuk yang berhak menerimanya karena ridha-Nya dan keagungan keutamaan-Nya.
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan :
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي
Janganlah seorang penuntut ilmu memaksudkan ilmunya untuk tujuan keduniaan agar memperoleh kehormatan, pangkat, harta, kebanggaan, penghormatan orang lain kepadanya, atau ingin agar bisa selalu duduk di depan saat bermajelis dan lain sebagainya. Hendaknya ia mengganti niat itu dengan niat yang baik.
Abu Yusuf mengatakan :
أَرِيدُوا بِعِلْمِكُمْ اللَّهَ فَإِنِّي لَمْ أَجْلِسْ مَجْلِسًا قَطُّ أَنْوِي فِيهِ أَنْ أَتَوَاضَعَ إلَّا لَمْ أَقُمْ حَتَّى أَعْلُوَهُمْ وَلَمْ أَجْلِسْ مَجْلِسًا قَطُّ أَنْوِي فِيهِ أَنْ أَعْلُوَهُمْ إلَّا لَمْ أَقُمْ حَتَّى أَفْتَضِحَ
Niatkanlah ilmu kalian untuk Allah ta’ala, karena sesungguhnya tidaklah aku duduk disuatu majelis sama sekali yang aku berniat untuk merendahkan diri di majelis itu kecuali tidaklah aku berdiri hingga aku memuliakan mereka, dan tidaklah aku duduk disuatu majelis sama sekali yang aku berniat agar memuliakan mereka kecuali tidaklah aku berdiri sama sekali hingga keburukanku tersingkap.[5]
Ilmu adalah salah satu ibadah diantara ibadah-ibadah yang ada dan merupakan salah satu amalan yang mendekatkan diri kepada Allah diantara amalan yang ada.
Apabila niatnya murni karena Allah ta’ala maka diterimalah amalan itu serta keberkahannya akan tumbuh dan bertambah.
Namun, apabila ia diniatkan untuk selain Allah maka leburlah amalan tersebut, sia-sia, dan merugi.
Apabila ia terlewat dengan niat tersebut dan tidak memperolehnya maka ia telah menggagalkan tujuannya dan menyianyiakan usahanya.
Apabila niatnya murni karena Allah ta’ala maka diterimalah amalan itu serta keberkahannya akan tumbuh dan bertambah.
Namun, apabila ia diniatkan untuk selain Allah maka leburlah amalan tersebut, sia-sia, dan merugi.
Apabila ia terlewat dengan niat tersebut dan tidak memperolehnya maka ia telah menggagalkan tujuannya dan menyianyiakan usahanya.
Menuntu ilmu adalah ibadah. Bila dikerjakan atas dasar keikhlasan, maka diterima oleh Allah. Bila dikerjakan karena yang lain, maka rugilah dia.
3. Memperhatikan Waktu dan Memfokuskan Diri untuk Ilmu
Seorang penuntut ilmu hendaknya bergegas di masa muda dan sisa-sisa waktu dari umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah ia terperdaya dengan menunda-nunda dan banyak berangan-angan. Karena setiap waktu yang terlewat tidak akan pernah terganti dan terulang.
Selain itu penuntut ilmu harus melepaskan segala yang menyibukkannya dan segala sesuatu yang membuatnya terhalang dari kesempurnaan menuntut ilmu, pengorbanan kesungguhannya, dan kuatnya kesungguhan untuk memperoleh ilmu.
Penutut ilmu terdahulu lebih menyukai bepergian jauh dari keluarga dan tanah airnya untuk menuntut ilmu. Karena ketika pikiran terbagi-bagi maka akan kesulitan menemukan hakikat dan berkurangnya ketelitian. Allah ta’ala berfirman :
Penutut ilmu terdahulu lebih menyukai bepergian jauh dari keluarga dan tanah airnya untuk menuntut ilmu. Karena ketika pikiran terbagi-bagi maka akan kesulitan menemukan hakikat dan berkurangnya ketelitian. Allah ta’ala berfirman :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya[6]
Dikatakan pula bahwa “Ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya padamu hingga engkau memberikan keseluruhan dirimu kepadanya.”
Khatib Al-Baghdadi mengatakan :
لَا يَنَالُ هَذَا الْعِلْمَ إِلَّا مَنْ عُطِّلَ دُكَّانُهُ وَخُرِّبَ بُسْتَانُهُ وَهَجَرَ إِخْوَانَهُ وَمَاتَ أَقْرَبُ أَهْلِهِ إِلَيْهِ فَلَمْ يَشْهَدْ جَنَازَتَهُ
Ilmu ini tidak akan diperoleh kecuali orang yang sepi tokoknya, hancur kebunnya, meninggalkan saudaranya, keluarganya meninggal dunia dan belum menyaksikan jenazahnya.[7]
Hal ini kesemuanya akan terjadi walaupun di dalamnya terdapat hal yang berlebihan. Namun, maksudnya adalah bahwa seorang penuntut ilmu harus memfokuskan hati dan pikirannya untuk ilmu.
Bahkan, ada yang mengatakan bahwa sebagian syaikh dahulu memerintahkan muridnya dengan apa yang dikatakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dimana mereka perintahkan muridnya dengan mengatakan : “Celupkan saja bajumu agar pikiranmu tidak tersibukkan dengan mencucinya.”
Bahkan, ada yang mengatakan bahwa sebagian syaikh dahulu memerintahkan muridnya dengan apa yang dikatakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dimana mereka perintahkan muridnya dengan mengatakan : “Celupkan saja bajumu agar pikiranmu tidak tersibukkan dengan mencucinya.”
Termasuk apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i :
لو كُلِّفتُ شراء بصلة ما فهمتُ مسألة
Seandainya aku memikul barang dagangan bawang maka aku tidak akan memahami suatu permasalahan (fiqih).[8]
Fokus adalah kunci keberhasilan memahami ilmu
4. Qona’ah dengan Memudahkan Perkara Dunia dan Bersabar Atas Kesulitan dalam Menempuh Jalan Menuntut Ilmu
Seorang penuntut ilmu hendaknya merasa cukup dengan makanan pokoknya, dan pakaian yang menutupinya walaupun pakaian itu sudah usang.
Dengan kesabaran terhadap sempitnya kehidupan maka ia akan memperoleh keluasan ilmu, dan dengan fokusnya hati dari angan-angan yang terpecah belah maka ia akan memancarkan mata air hikmah.
Dengan kesabaran terhadap sempitnya kehidupan maka ia akan memperoleh keluasan ilmu, dan dengan fokusnya hati dari angan-angan yang terpecah belah maka ia akan memancarkan mata air hikmah.
Imam Syafi’i mengatakan :
لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح
Tidaklah seseorang mencari ilmu ini dengan kekuasaan dan kemuliaan diri lantas ia bisa sukses. Akan tetapi orang yang mencari dengan kehinaan diri, sempitnya kehidupan dan melayani ulama’ lah yang bisa sukses.
Beliau juga mengatakan :
لا يصلح طلب العلم إلا لمفلس، قيل: ولا الغني المكفي، قال: ولا الغني المكفي
“Tidaklah baik mencari ilmu kecuali oleh orang yang bangkrut.”
Beliau ditanya : “Bukan yang kaya dan yang berkecukupan?”
Beliau menjawab : “Bukanlah yang kaya dan berkecukupan.”
Beliau ditanya : “Bukan yang kaya dan yang berkecukupan?”
Beliau menjawab : “Bukanlah yang kaya dan berkecukupan.”
Imam Malik mengatakan :
لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضر به الفقر ويؤثره على كل شيء
Seseorang tidak akan sampai dari ilmu ini pada apa yang ia inginkan hingga ia ditimpa kefakiran dan menghormati segala sesuatu.
Imam Abu Hanifah mengatakan :
يُستعان على الفقه بجمع الهم، ويستعان على حذف العلائق بأخذ اليسير عند الحاجة ولا يزد
Ilmu fikih ini akan terbantu dengan seluruh kesusahan, dan melepas hubungan akan terbantu dengan mengambil keperluan secukupnya dan tidak berlebihan.
Ini semua adalah ucapan mereka para imam yang mana mereka adalah orang bernasib beruntung yang tidak terbantahkan, dan memang seperti inilah keadaan mereka.
Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan :
الْمُسْتَحَبُّ لِطَالِبِ الْحَدِيثِ أَنْ يَكُونَ عَزَبًا مَا أَمْكَنَهُ ذَلِكَ؛ لِئَلَّا يَقْتَطِعَهُ الِاشْتِغَالُ بِحُقُوقِ الزَّوْجَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِالْمَعِيشَةِ عَنِ الطَّلَبِ
Seorang pencari ilmu hadits dianjurkan dalam keadaan bujang selama hal itu memungkinkan. Tujuannya agar dalam mencari ilmu ia tidak tersibukkan dengan hak-hak suami istri dan mencari ma’isyah.[9]
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan :
من تزوج فقد ركب البحر فإن ولد له ولد فقد كسر به
Barang siapa yang menikah maka ia telah mengarungi lautan, apabila ia memiliki anak maka ia telah merusak kendaraannya.
Kesimpulan dari itu semua adalah : bahwa tidak menikah bagi seorang yang belum membutuhkannya atau yang belum mampu itu lebih utama, lebih-lebih bagi seorang pelajar yang pokok hartanya adalah seluruh jiwanya, penghibur hatinya, serta penggunaan pikirannya.
Qona’ah dan sabar adalah kunci keberhasilan para ulama’ dalam menuntut ilmu
5. Pembagian Waktu dan Penjelasan Waktu serta Tempat Terbaik untuk Menghafal
Seorang penuntut ilmu hendaknya membagi waktu siang dan malamnya serta memperhatikan sisa-sisa umurnya, karena sesungguhnya sisa umur ketika tua tidaklah bernilai baginya.[10]
Adapun waktu terbaik untuk menghafal adalah diwaktu sahur, untuk pembahasan ilmu ketika pagi, untuk menulis ketika siang hari, dan untuk menelaah dan mengulang pelajaran adalah ketika malam.
Adapun waktu terbaik untuk menghafal adalah diwaktu sahur, untuk pembahasan ilmu ketika pagi, untuk menulis ketika siang hari, dan untuk menelaah dan mengulang pelajaran adalah ketika malam.
Al-Khatib Al-Baghdaadi[11] mengatakan :
أجود أوقات الحفظ الأسحار ثم وسط النهار ثم الغداة
Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur, kemudian tengah hari, kemudian malam hari.
وحفظ الليل أنفع من حفظ النهار، ووقت الجوع أنفع من وقت الشبع
Menghafal di malam hari lebih bermanfaat dari pada di siang hari, dan waktu lapar lebih bermanfaat dari pada waktu kenyang.
وأجود أماكن الحفظ الغرف وكل موضع بعيد عن الملهيات
Tempat terbaik untuk menghafal adalah kamar, dan setiap tempat yang jauh dari tempat hiburan.
وليس بمحمود الحفظ بحضرة النبات والخضرة والأنهار وقوارع الطريق وضجيج الأصوات لأنها تمنع من خلو القلب غالبًا
Dan tidaklah baik menghafal di depan tumbuh-tumbuhan, sungai, di tengah jalan, dan suara yang gaduh, karena ia akan memecah konsentrasi.
Manfaatkan dan aturlah waktu sebaik mungkin untuk keberhasilan menuntut ilmu
6. Memakan Makanan Halal Secukupnya yang Dapat Membantu Aktivitas
Termasuk paling besarnya penyebab terbantunya aktivitas dan pemahaman, serta penghilang kejenuhan adalah memakan makanan yang halal dengan kadar secukupnya.
Imam Syafi’i mengatakan
ما شبعت منذ ست عشرة سنة
Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun.
Terlalu banyak makan otomatis menyebabkan banyak minum. Terlalu banyak makan dan minum dapat menyebabkan banyak tidur, kebodohan, pendeknya pemahaman, lemahnya panca indra, dan tubuh yang pemalas.
Semua ini juga hal yang dibenci dalam syariat dan menyebabkan penyakit pada tubuh, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair :
Semua ini juga hal yang dibenci dalam syariat dan menyebabkan penyakit pada tubuh, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair :
فإن الداء أكثر ما تراه – يكون من الطعام أو الشراب
Sesungguhnya penyakit yang paling banyak engkau lihat adalah karena makanan dan minuman.[12]
Tidaklah pernah dijumpai para auliya’ dan para aimmah ulama’ memiliki sifat banyak makan dan dipuji karena itu. Sesungguhnya banyak makan itu terpuji bagi hewan ternak yang mana mereka tidaklah berakal bahkan mereka selalu diawasi ketika bekerja.
Kecerdasan yang shahih lebih mulia dibandingkan pemborosan dan menelantarkan diri karena sekedar makanan yang tak berharga, yang mana perkara ini telah diketahui (akibatnya).
Walaupun tidak ada penyakit yang diakibatan dari banyak makan dan minum kecuali banyak masuk ke WC, namun sepantasnya bagi seorang yang berakal untuk menghindarkan dirinya dari hal itu.
Barang siapa yang menginginkan kesuksesan dalam mencari ilmu dan memperoleh apa yang ia kehendaki darinya dengan memperbanyak makan, minum, dan tidur maka sungguh ia telah menginginkan sesuatu yang mustahil.
Walaupun tidak ada penyakit yang diakibatan dari banyak makan dan minum kecuali banyak masuk ke WC, namun sepantasnya bagi seorang yang berakal untuk menghindarkan dirinya dari hal itu.
Barang siapa yang menginginkan kesuksesan dalam mencari ilmu dan memperoleh apa yang ia kehendaki darinya dengan memperbanyak makan, minum, dan tidur maka sungguh ia telah menginginkan sesuatu yang mustahil.
Adapun yang paling utama hendaknya ia mengambil makanan sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Tidaklah manusia memenuhi bejana yang lebih jelek dari pada perut. Cukuplah anak adam memakan makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Setidaknya sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.[13]
Apabila lebih dari itu maka ia telah berbuat berlebihan dan keluar dari sunnah. Allah ta’ala berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan (QS. Al-A’raaf : 31)
Sebagian ulama’ mengatakan tentang ayat itu (bahwa) “Allah telah menghimpun kalimat ini mencakup seluruh pengobatan.”
Barangsiapa yang ingin sukses dalam mencari ilmu dengan memperbanyak makan maka ia telah menginginkan sesuatu yang mustahil
7. Memiliki Sifat Wara’[14]
Seorang penuntut ilmu hendaknya mengambil sikap wara’ di setiap urusannya.
Hendaknya ia berusaha memilah dan memilih pada perkara yang halal untuk makanannya, minumannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, dan segala sesuatu yang ia butuhkan.
Tujuannya adalah agar hatinya bersinar dan mudah menerima ilmu dan nur serta memberikan manfaat padanya.
Hendaknya ia berusaha memilah dan memilih pada perkara yang halal untuk makanannya, minumannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, dan segala sesuatu yang ia butuhkan.
Tujuannya adalah agar hatinya bersinar dan mudah menerima ilmu dan nur serta memberikan manfaat padanya.
Tidaklah seorang penuntut ilmu mencukupkan dirinya dengan yang tampak kehalalannya secara syar’i walaupun sikap wara’ itu memungkinkannya sedangkan keperluannya tidak mendesaknya atau ia menduga bahwa bagian itu sebenarnya boleh untuknya.
Bahkan hendaknya ia mencari kedudukan yang tinggi dan mencontoh para ulama’ shalih terdahulu dalam bersikap wara’ dari kebanyakan apa yang mereka fatwakan kebolehannya.
Bahkan hendaknya ia mencari kedudukan yang tinggi dan mencontoh para ulama’ shalih terdahulu dalam bersikap wara’ dari kebanyakan apa yang mereka fatwakan kebolehannya.
Yang paling berhak untuk diikuti sifat wara’nya adalah sayyidunaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dimana beliau tidak memakan kurma yang ia jumpai di jalan karena takut bila ternyata kurma itu adalah sedekah (zakat)[15] dan juga karena jauh dari tempatnya.[16] Dan juga karena ahlul ilmi diikuti jejaknya dan dari merekalah diambil contohnya, maka apabila mereka tidak mengamalkan sikap wara’ maka siapa lagi yang akan mengamalkannya?
Sepantasnya bagi seorang thalib menggunakan rukhshah[17] sesuai pada tempatnya ketika ia membutuhkannya dan ada sesuatu yang menyebabkannya dalam rangka meneladani beliau.
Karena sesungguhnya Allah senang apabila seseorang menggunakan rukhsah yang diberikan oleh-Nya sebagaimana Allah senang apabila azimah[18]-Nya digunakan.
Karena sesungguhnya Allah senang apabila seseorang menggunakan rukhsah yang diberikan oleh-Nya sebagaimana Allah senang apabila azimah[18]-Nya digunakan.
Dengan sikap wara’ maka hati akan bersinar dan lebih mudah menerima ilmu
8. Menyedikitkan Makanan yang Menyebabkan Kebodohan
Seorang penuntut ilmu hendaknya menyedikitkan makanan-makanan yang dapat menyebabkan otak menjadi tumpul (jawa:dedel) dan melemahnya panca indra seperti apel masam, kacang sayur, dan cuka.
Begitu pula makanan yang menimbulkan dahak seperti terlalu banyak minum susu, makan ikan dan sebagainya.
Begitu pula makanan yang menimbulkan dahak seperti terlalu banyak minum susu, makan ikan dan sebagainya.
Sepantasnya ia mengonsumsi apa yang Allah jadikan sebagai penyebab otak menjadi cerdas. Seperti mengunyah permen karet, damar secukupnya, makan kismis di pagi hari, air mawar, dan selain itu.
Disamping itu, juga hendaknya seorang thalib menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan hilangnya khasiat; seperti makan makanan bekas sisa tikus, membaca papan kuburan, masuk diantara dua iringan unta, dan melempar kutu rambut dan semisal itu menurut beberapa penelitian. [disarankan lihat catatan kaki no:[19]]
Pilihlah makanan yang membantu kecerdasan otak!
9. Memperhatikan Badannya
Hendaknya seorang penuntut ilmu menyedikitkan tidurnya selama hal itu tidak membahayakan badan dan kecerdasannya.
Janganlah ia tidur dalam sehari lebih dari delapan jam yakni sepertiganya hari. Apabila ia melakukannya maka menjadi sedikit apa yang ia kerjakan di hari itu.
Janganlah ia tidur dalam sehari lebih dari delapan jam yakni sepertiganya hari. Apabila ia melakukannya maka menjadi sedikit apa yang ia kerjakan di hari itu.
Tidaklah mengapa seorang penuntut ilmu mengistirahatkan dirinya, hatinya, otaknya, dan pandangannya ketika semua itu terasa letih atau melemah dengan bertamasya atau melihat-lihat ke tempat piknik.
Setelah melakukan itu hendaknya ia segera kembali dengan keadaannya semula dan tidak menyia-nyiakan waktunya. Boleh juga ia berjalan-jalan dan berolahraga karena hal itu dapat membangkitkan kesemangatan, menghilangkan penyakit dan menjadikan tubuh lebih giat.
Setelah melakukan itu hendaknya ia segera kembali dengan keadaannya semula dan tidak menyia-nyiakan waktunya. Boleh juga ia berjalan-jalan dan berolahraga karena hal itu dapat membangkitkan kesemangatan, menghilangkan penyakit dan menjadikan tubuh lebih giat.
Persetubuhan/bersenggama yang halal pun juga diperbolehkan jika ia memang membutuhkannya. Para dokter mengatakan bahwa hal itu dapat meringankan beban dan menjernihkan otak bila memang diperlukan asal tidak berlebihan.
Namun, berhati-hatilah terlalu sering melakukannya sebagaimana berhati-hati pada serangan musuh. Dalam sebuah bait dikatakan :
Namun, berhati-hatilah terlalu sering melakukannya sebagaimana berhati-hati pada serangan musuh. Dalam sebuah bait dikatakan :
مَاء الْحَيَاة يراق فِي الْأَرْحَام
Air mani ditumpahkan di dalam rahim.[20]
(dapat) melemahkan pendengaran, pengelihatan, urat syaraf, suhu tubuh, pencernaan dan penyakit-penyakit lain yang dapat membinasakan.
Para peneliti dari kalangan kedokteran berpendapat bahwa meninggalkan hal itu lebih utama kecuali darurat atau untuk pengobatan.
Para peneliti dari kalangan kedokteran berpendapat bahwa meninggalkan hal itu lebih utama kecuali darurat atau untuk pengobatan.
Dari kesemua itu dapat disimpulkan bahwa tidaklah mengapa mengistirahatkan tubuh ketika khawatir merasa bosan.
Dahulu para akabirul ulama’ juga berkumpul bersama kawan-kawannya di tempat rekreasi di sebagian hari-hari tahunan mereka, dan mereka saling bersenda gurau dengan gurauan yang tidak membahayakan agama dan keduniaan mereka.
Dahulu para akabirul ulama’ juga berkumpul bersama kawan-kawannya di tempat rekreasi di sebagian hari-hari tahunan mereka, dan mereka saling bersenda gurau dengan gurauan yang tidak membahayakan agama dan keduniaan mereka.
Jagalah kesehatan pikiran dan badan untuk menghilangkan kejenuhan di saat menuntut ilmu!
10. Meninggalkan Teman Bergaul
Seorang penuntut ilmu sepantasnya meninggalkan teman bergaulnya. Karena meninggalkan teman bergaul termasuk hal terpenting yang sepantasnya dikerjakan oleh thalibul ilmi, lebih-lebih pada lawan jenis.
Khususnya meninggalkan orang yang banyak bermain dan sedikit berfikir, karena sesungguhnya watak manusia adalah suka mencuri (kesempatan).
Khususnya meninggalkan orang yang banyak bermain dan sedikit berfikir, karena sesungguhnya watak manusia adalah suka mencuri (kesempatan).
Penyakit yang ditimbulkan dari teman bergaul adalah menyia-nyiakan umur dengan hal-hal yang tidak berfaedah, menghabiskan uang dan harta, serta menghilangkan agama apabila kawan bergaulnya adalah orang yang hobi menghabiskan uang dan tidak beragama.
Adapun yang sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu adalah hendaknya ia bergaul bersama orang yang mendatangkan faedah kepadanya atau yang dapat ia ambil faedah darinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اغْدُ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ فَتَهْلِكَ
Jadilah seorang ‘alim atau pelajar atau pendengar atau orang yang mencintai di pagi hari. Dan janganlah jadi yang kelima atau rusaklah engkau.[21]
Maka jika ia membuka atau menghadapi persahabatan pada orang yang menyia-nyiakan umurnya, tidak berfaedah dan tidak memberikan faedah, dan tidak membantu apa yang menjadi tujuannya maka bersikap lembutlah ketika memutuskan tali persahabatan sejak awal sebelum tali persahabatan itu kokoh.
Karena ketika suatu perkara sudah menjadi kokoh maka akan sulit melepaskannya. Sebuah kalimat yang mengalir dari lisan para ahli fiqih mengatakan : “Mencegah itu lebih mudah dari pada mengobati.”
Karena ketika suatu perkara sudah menjadi kokoh maka akan sulit melepaskannya. Sebuah kalimat yang mengalir dari lisan para ahli fiqih mengatakan : “Mencegah itu lebih mudah dari pada mengobati.”
Namun, apabila memang membutuhkan seorang sahabat maka jadilah seorang sahabat yang shalih, beragama, bertakwa, bersikap wara’, berbudi luhur, banyak kebaikannya, sangat sedikit keburukannya, bersikap halus, sangat sedikit bertengkarnya, jika lupa maka mengingatkannya, jika ingat maka membantunya, jika memerlukan maka menghiburnya, dan jika gelisah maka menyabarkannya.
Dalam bait syair Ali bin Abu Thalib dikatakan :
فَلَا تَصْحَبْ أَخَا الْجَهْلِ وَإِيَّاكَ وَإِيَّاهُ
فَكَمْ مِنْ جَاهِلٍ أَرْدَى حَلِيْمًا حِيْنَ وَاخَاهُ
يُقَاسُ الْمَرْءُ بِالْمَرْءِ إِذَا مَا هُوَ مَاشَاهُ
Janganlah bersahabat dengan saudaranya kebodohan dan waspadalah engkau terhadapnya.
Betapa banyak orang bodoh yang menjatuhkan dengan perlahan tatkala ia bersaudara dengannya.
Seorang itu akan sama dengan kawannya ketika ia berjalan bersamanya.[22]
Dalam bait yang lain juga disebutkan :
إِنَّ أَخَاكَ الصِّدْقَ مَنْ كَانَ مَعَكَ
وَمَنْ يَضُرُّ نَفْسَهُ لِيُنْفِعَكَ
وَمَنْ إِذَا رَيْبُ زَمَانٍ صَدَّعَكَ
شَتَّتَ شَمْلَ نَفْسِهِ لِيَجْمَعَكَ
Saudaramu yang sesungguhnya adalah orang yang selalu bersamamu.
Dan orang yang mengorbankan dirinya untuk memberikan manfaat padamu.
Dan orang yang ketika kebutuhan waktunya memecah belah urusanmu
maka ia rela ceraiberaikan urusannya sendiri untuk memudahkan urusanmu. [23]
Dan orang yang ketika kebutuhan waktunya memecah belah urusanmu
maka ia rela ceraiberaikan urusannya sendiri untuk memudahkan urusanmu. [23]
Hendaklah penuntut ilmu itu memutus persahabatannya dengan orang yang tidak mendatangkan faedah
Alih bahasa : Adam Rizkala
[1] Beliau adalah Al-Imam Al-Qaadli Abu Abdullah Badru Ad-Diin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shokhr Al-Kinaaniy Al-Hamwiy Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala (639-733 H)
[10] Maksudnya sisa umur ketika tua tidak bernilai untuk ilmu karena disaat itu adalah waktu dimana pikiran sudah melemah dan waktu dimana hendaknya kita memperbanyak bekal untuk akhirat.
[11] Perkataan beliau bisa dilihat dalam kitab At-Tadzkirat As-Saami’ wa Al-Mutakallim fii Adab Al-‘Aalim wa Al-Muta’allim 1/89-90
[12] Lihat Diiwan Ibnu Ar-Ruumiy 1/149
[14] Ibrahim bin Adham mengatakan : Wara’ adalah meninggalkan setiap syubhat dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu yakni meninggalkan yang berlebihan dalam hal yang mubah. Lihat : Madariju As-Saalikin 2/24
[15] Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ahlul bait diharamkan memakan harta zakat.
[17] Dispensasi terhadap suatu ketetapan hukum karena adanya alasan tertentu.
[18] Ketetapan hukum yang ditetapkan pertamakali dalam bentuk umum.
[19] Barangkali penulis kitab menukil hal ini dari sebagian ahli pengobatan di zamannya. Dan segala yang disebutkan oleh mereka mengenai hal yang menyebabkan lupa adalah penyebab yang bersifat kauniyyah.
[20] Ini merupakan bagian belakang dari bait syairnya Al-Mujalli Al-‘Antari yang berbunyi أقلل نكاحك مَا اسْتَطَعْت فَإِنَّهُ (sedikitkanlah senggamamu semampumu karena sesungguhnya ia...). Lihat Uyun Al Anbaa’ fii Thabaqaat Al-Athbaa’ 1/390.
[21] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’bu Al-Iman 3/299 (no. 1581) Syaikh Albani menghukumi hadits ini dengan meletakkannya di dalam kitab Dlaif Al-Jaami’ no. 981
[22] Lihat Diwan Ali bin Abi Thalib 1/263
[23] Baitnya Abu Al-Atahiyah dalam diwannya 1/185