Review : Dear Nathan, Hello Salma
Bagi mereka yang belum pernah menyaksikan Dear Nathan (2017) – salah satu film remaja tanah air yang underrated meski tergarap sangat baik – mungkin akan menganggap remeh Dear Nathan: Hello Salma. Alasannya sederhana, 1) “halah, film cinta-cintaan remaja begini kan bisanya cuma menye-menye doang,” dan 2) “Jefri Nichol lagi, Amanda Rawles lagi, kayak nggak ada pemain film lain saja.” Saya bisa memahami karena pertama kali menjajal instalmen terdahulu yang beranjak dari novel laku rekaan Erisca Febriani, perilaku skeptis tersebut turut membayangi mengingat jejak rekam film percintaan remaja di Indonesia terbilang kurang kinclong dalam beberapa tahun terakhir. Hanya segelintir yang bisa dikudap, sementara sisanya bikin kepala kliyengan karena terlampau ngoyo buat romantis sampai-sampai mengabaikan logika. Dear Nathan, secara mengejutkan, termasuk salah satu dari yang segelintir itu. Memang sih narasinya klise, tapi film bisa tersaji memuaskan berkat pengarahan penuh sensitivitas beserta lakonan apik (Ingat, tidak semua film butuh penceritaan rumit, dan tidak semua film dengan penceritaan sederhana maupun klise secara otomatis buruk!). Adegan pamungkasnya pun, whew… manis sekali. Kapan terakhir kali ada film percintaan remaja tanah air yang ditutup dengan sedemikian mengesankan? Hmmm… sulit untuk mengingatnya. Itulah mengapa ketika film kelanjutannya diumumkan, saya tak kuasa untuk menolaknya. Ada kerinduan mendengar gombalan Nathan (Jefri Nichol) dan melihat salah tingkahnya Salma (Amanda Rawles) ketika digombalin Nathan. Menggemaskan!
Dalam Dear Nathan: Hello Salma, kisah cinta dua sejoli tersebut masih berlanjut. Keduanya mencicipi kebahagiaan ketika mereka saling bergandeng tangan seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua. Dimana ada Nathan, disitu ada Salma – berlaku pula sebaliknya. Melihat bagaimana keduanya berinteraksi ditambah lagi penerimaan dari orang bau tanah masing-masing, kita mengira mustahil mereka sanggup dipisahkan. Tuhan telah membuat mereka untuk saling mengisi satu sama lain… that’s for sure. Akan tetapi, hubungan asmara yang tengah merekah ini seketika mengalami goncangan ketika Nathan yang sudah bertaubat kembali ke watak lamanya: berantem. Bukan asal hajar, melainkan karena murka mendengar kekasihnya dilecehkan. Akibat tindakannya ini, Nathan diseret ke ruang kepala sekolah dan dikenai skors. Nathan yang merasa dirinya membela kebenaran, tentu tak bersedia mendapatkan eksekusi ini kemudian menentukan untuk pindah sekolah. Salma yang mengetahui keputusan Nathan pun dirundung kekecewaan sampai-sampai tak sengaja meminta putus. Nathan memang menyanggupi seruan Salma, meski belakangan ia mengupayakan untuk kembali mempunyai hati Salma. Hanya saja, perjuangannya untuk mendekati Salma lagi tak berlangsung gampang untuk sekali ini karena ayah Salma (Gito Gilas) yang gres saja pulang dari Kanada enggan memberi restu. Dia berusaha menjauhkan putrinya dari Nathan, termasuk dengan mengenalkan Salma pada putra mitra baiknya, Ridho (Devano Danendra). Pun begitu, Nathan tak gentar, sementara di sisi lain, Salma digerogoti oleh depresi karena tak besar lengan berkuasa menanggung tekanan sang ayah yang menginginkannya untuk mengambil jurusan kedokteran di Universitas Indonesia.
Seperti halnya instalmen pertama yang turut mengedepankan info dysfunctional family dibalik kemasan percintaan yang cerah ceria, Dear Nathan: Hello Salma juga memboyong info serius pada penceritaan berkaitan dengan depresi berujung bunuh diri. Isu ini sejatinya telah disentil di film sebelumnya, hanya saja sekali ini Indra Gunawan (Hijrah Cinta, Serendipity) selaku sutradara beserta Bagus Bramanti yang menempati sektor penulisan skenario memutuskan untuk menempatkannya sebagai topik utama. Mereka menghadirkan abjad baru, Rebecca (Susan Sameh), yang dikisahkan mempunyai hubungan jelek dengan orang tuanya sehingga membentuknya menjadi pribadi tukang onar. Usahanya untuk mengakhiri hidup berhasil digagalkan oleh Nathan yang belakangan memutuskan mendampinginya supaya ia bisa melewati fase depresi. Kepedulian Nathan sempat disalahartikan oleh Rebecca yang belakangan bersedia mendapatkan pria tersebut sebagai teman. Tak sebatas dimanfaatkan sebagai perumit kisah, keberadaan Rebecca turut mempunyai impak terhadap hubungan Nathan-Salma terlebih ia menjadi sosok yang mendorong Salma untuk berdiri dari keterpurukannya di kala Nathan tak bisa berada di sampingnya. Adanya dialog yang meminta penonton untuk meningkatkan kesadaran terhadap mental illness ini membuat Dear Nathan: Hello Salma bukan sebatas film percintaan remeh temeh. Arah pembicaraannya lebih dewasa, terlebih abjad Nathan pun digambarkan lebih bijak dalam mengambil keputusan. Dia memang masih suka baku hantam – utamanya terhadap pria yang merendahkan wanita – tetapi pandangannya terhadap persoalannya dengan Salma memperlihatkan bahwa ia telah bermetamorfosis sosok yang bijaksana.
Dia mengalami kebimbangan untuk memperjuangkan Salma karena ia tahu konsekuensinya bagi sang mantan: kehilangan keluarga. Si pembuat film menghubungkan info depresi terhadap keluarga yang semestinya memperlihatkan rasa nyaman dan kondusif bagi setiap personilnya. Dear Nathan: Hello Salma berargumen bahwa ketiadaan komunikasi yang sehat dari dua belah pihak (orang bau tanah dan anak) ditengarai sebagai penyebab utama keretakan hubungan yang lantas berpotensi memicu timbulnya depresi. Melalui subplot ini, film hadirkan dua momen emas yang sanggup mengundang bulir-bulir air mata, yakni dialog hati ke hati antara seorang ayah dengan putra/putrinya di teras rumah. Saya menyukai pengadeganannya terutama karena saya pernah mencicipi di posisi Salma: seorang ayah dengan persona absolut bersedia untuk mengungkap titik lemah dirinya kepada sang buah hati demi mengutarakan maksud sikapnya yang disalahpahami. Bagi saya, inilah potongan terbaik dari Dear Nathan: Hello Salma disamping kebersamaan Nathan-Salma yang sekali ini agak tereduksi menyusul narasinya yang berpusat pada “setelah mereka putus”. Pilihan untuk menghadirkan plot ini memang beresiko ke pesona film yang tak semengkilau jilid pertama. Maklum, kekuatan sesungguhnya dari seri ini ialah kisah kasih Nathan-Salma yang menggemaskan lengkap dengan segala kecanggungan si Salma dalam menanggapi kenarsisan Nathan yang bertujuan untuk menggodanya. Pemicu dari keberhasilan kita untuk jatuh hati kepada muda-mudi ini ialah chemistry Jefri Nichol dengan Amanda Rawles yang kuat. Sesuatu yang mungkin dianggap sepele karena mereka sudah berulang kali main bareng, bukan?
Saya bekerjsama menyayangkan keputusan untuk terus memasangkan mereka dalam tugas yang sejatinya tidak jauh berbeda – bahkan beberapa ahad kemudian kita gres melihat mereka di Something in Between. Coba bayangkan andai mereka merangkul kata eksklusif, bukan mustahil sosok Nathan-Salma akan lebih dinanti-nantikan (maupun dielu-elukan) sebagai pasangan remaja perwakilan generasi Z a la Rangga-Cinta. They’re that good, actually. Atau saya lebih suka menyebutnya, natural. Duo Jefri-Amanda butuh disandingkan dengan pemain film pendukung mumpuni untuk bisa membantu menaikkan level permainan lakon mereka. Susan Sameh menonjol sebagai Rebecca sekalipun transformasi karakternya berlangsung agak kelewat cepat, sementara Devano Danendra yang diniatkan sebagai villain justru kelelep. Tak sebatas disebabkan oleh performanya tetapi juga penulisan karakternya yang terbatas. Dia ada di sana hanya untuk mengganggu hubungan protagonis kita – tak ada kedalaman sedikitpun di dalamnya. Beruntung sektor pemain senior lebih optimal (well, kecuali Karina Suwandi yang kiprahnya tersisihkan) menyerupai Surya Saputra sebagai ayah Nathan yang meneduhkan dengan saran-saran bijaknya, dan Gito Gilas yang tampak bernafsu dibalik kerapuhannya. Bersama dengan Susan Sameh, keduanya berkontribusi terhadap munculnya elemen dramatik yang difungsikan untuk menyokong Jefri-Amanda yang bertanggung jawab di sektor romansa maupun komedi. Hasilnya pun tak mengecewakan. Meski pesonanya tak sekuat jilid pertama, tapi Dear Nathan: Hello Salma masih bisa tersaji lucu, manis, sekaligus hangat. Bagi saya, itu sudah cukup.