Fungsionalisme Struktural
Funsionalisme struktural istilah dari struktural dan fungsional dihentikan dipakai secara bersamaan, meskipun intinya keduanya ialah satu kesatuan. Dalam mempelajari struktur-struktur masyarakat tanpa membahas fungsinya (atau konsekuensi-konsekuensinya) bagi struktural lain. Dan sanggup menelaah fungsi dari aneka macam proses sosial yang mungkin tidak berbentuk struktural. Jadi, terhadap kedua elemen ini menjadi ciri dari fungsionalisme struktural. Meskipun fungsionalisme struktural mempunyai bermacam-macam bentuk, fungsionalisme masyarakat ialah pendekatan mayoritas diantara para fungsionalis struktural sosiologi.[1]
Asumsi dasarnya, setiap struktur dalam sistem sosial fungsi terhadap yang lain. Menurut teori ini, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubaan yang terjadi pada bab akan membawa perubahan pula terhadap bab lain. Sebaliknya, jika tidak fungsional struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Secara ekstrem penganut teori ini beranggapan bahwa semua kejadian dan semua
Menurut Lawer, teori ini mendasarkan pada tujuh asumsi, yaitu: (1) masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berinteraksi; (2) kekerabatan yang ada bisa bersifat satu arah atau kekerabatan yang bersifat timbal balik; (3) sistem sosial yang ada bersifat dinamis; penyesuaian yang ada tidak perlu banyak mengubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh; (4) integrasi yang tepat dimasyarakat tidak perna ada, sehingga di masyarakat senantiasa timbul ketegangan dan penyimpangan, tetapi ketegangan dan penyimpangan ini akan dinetralisasi lewat proses pembangunan; (5) perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahan sebagai suatu proses pembiasaan dan penyesuaian; (6) perubahan merupakan hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya diferensasi dan inovasi; dan (7) sistem diintegrasi lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.[3]
Teori fungsionalisme struktural beranggapan sebagai suatu sistem mempunyai struktur yang terdiri atas banyak lembaga. Masing-masing forum mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi dengan kompleksitas yang berbeda-beda ada pada setiap masyarakat, baik masyarakat modern maupun masyarakat primitif.
Mengacu pada pedoman Marx Weber, William I. Thomas, dan Emile Durkheim, Merton berupaya memusatkan perhatian pada struktur sosial. Merton menyoroti tiga perkiraan atau postulat yang terdapat dalam teori fungsional. Ketiga perkiraan itu: pertama, kesatuan fungsional masyarakat merupakan suatu keadaan dimana seluruh bab dari system sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsisten internal yang memadai, tanpa mengasilkan konflik berkepanjangan yang tidak sanggup diatasi atau diatur. Kedua, postulat fungsionalisme universal. Postulat ini menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku mempunyai fungsi-fungsi positif”. Ketiga postulat indispensability, bahwa “dalam setiap tipe peradapan setiap kebiasaan ide, objek material, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, mempunyai sejumlah kiprah yang arus dijalankan dan merupakan bab penting yang tidak sanggup dipisahkan dalam aktivitas sistem sebagai keseluruhan”.[4]
Merton menolak postulat fungsional yang masih mentah. Ia mengembangkan paham kesatuan masyarakat yang fungsional, fungsionalisme universal, dan indispensability. Menurut Merton, struktur yang ada dalam sistem sosial ialah realitas sosial yang dianggap otonom, dan merupakan organisasi keseluruan dari bagian-bagian yang saling ketergantungan. Dalam suatu sistem terdapat pola-pola sikap yang relatif abadi. Struktur sosial dianalogikan dengan organisasi birokrasi modern, yang didalamnya terdapat contoh kegiatan, hierarki, kekerabatan formal, dan tujuan organisasi.
Pandangan Talcott Parsons ihwal Fungsionalisme struktural, awalnya Parsons mengeritik paham utilitarianisme yang beropini bahwa individu sebagai pemain film yang atomistik, cenderung berlaku rasional, dan memunculkan ide-ide konstruksionisme dalam integrasi sosial. Parsons lebih banyak mengkaji sikap individu dalam organisasi system sosial, hingga melahirkan teori tindakan sosial. Parsons juga mengembangkan cara berfikir individu yang non-logis dan irasional dengan mencentuskan teori agresi sukarela. Teori ini lebih menempatkan individu sebagai agency daripada sebagai bab struktur. Teori agresi sukarela ini antara lain: (1) pemain film atau individu; (2) tujuan; (3)
seperangkat alternative; (4) dipengaruhi nilai, norma dan ideologi; (5) keputusan subjektif; (6) kiprah individu sebagai actor terhadap integrasi dalam suatu sistem, dan (7) perlu adanya institusionalisasi struktur yang mengatur contoh kekerabatan antar-aktor.[5]
Parsons juga mengenalkan teori AGIL untuk menjelaskan energi dan integrasi, melalui sistem budaya, sistem sosial, system kepribadian dan sistem organisasi, subsistem dalam kesatuan holistik (bersifat menyeluruh). Keempat persyaratan itu disebutnya AGIL. AGIL ialah akronim dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan Latency. Demi keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat harus menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni;
1. Adaptasi (adaptation): semoga masyarakat bisa bertahan beliau harus bisa menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya. Contoh kongkritnya: Penganut NU bisa menyesuaikan kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan penganut Muhammadiyah, selaku aktivitas sosial tersebut bisa menambah eratnya masyarakat Desa Kendal Sewu. Sebaliknya penganut Muhammadiyah bisa mengayomi aktivitas sosial penganut NU, meski mereka tidak sepenuhnya mengikuti aktivitas sosial tersebut. Penganut Muhammadiyah tetap ikut serta membantu pelaksanaan aktivitas sosial tersebut. Sehingga kekerabatan sosial antara penganut NU dan Muhammadiyah berjalan dengan baik dalam masyarakat.
2. Pencapain tujuan (goal attainment): fungsi yang dimiliki sebuah sistem untuk sanggup mendefinisikan dan mencapai tujuannya. Contoh kongkritnya: Meski aktivitas sosial beracam-macam, penganut NU dan Muhammadiyah tetap bisa ikut membantu pelaksanaan aktivitas sosial tersebut. Kadang antara penganut NU dan Muhammadiyah ada perbedaan pendapat tapi mereka bisa bersifat humanisme. Karena tujuan mereka agas bisa membentuk integrasi sosial yang baik antarmasyarakat Desa Kendal Sewu.
3. Integrasi (integration): masyarakat harus mengatur kekerabatan di antara komponen-komponennya semoga beliau bisa berfungsi secara maksimal. Fungsi ini juga berperan dalam mengelola kekerabatan ketiga fungsi lainnya dalam bagan AGIL. Contoh kongkritnya: Masyarakat Desa Kendal Sewu bisa menjaga dan mengelolah Integrasi Sosial antara penganut NU dan Muhammadiyah yang cukup kuat, maka tidak hingga terjadi perpecahan yang menciptakan dua kubu dalam melaksanakan suatu sistem (kegiatan sosial). Sehingga Desa Kendal Sewu bisa menjaga keseimbangan antara penganut NU dan Muhammadiyah.
4. Latency atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada: setiap masyarakat harus memperlengkapi, memelihara, memperbaiki mempertahankan, dan membaharui baik fungsi yang dimiliki suatu sistem, pada tingkat individu maupun pola-pola kultural. Contoh kongkritnya: Masyarakat Desa Kendal Sewu bisa memelihara secara Humanisme dalam melaksanakan aktivitas sosial antara penganut NU dan Muhammadiyah. Meski dulu sempat terjadi sedikit konflik, tapi mereka bisa mengatasi berkat keilmuan mereka yang semakin modern dan integrasi sosial antara penganut NU dan Muhammadiyah sudah berjalan kurang lebih 10 tahun.
Berdasarkan uraian di atas, sanggup diambil pengertian bahwa penjabaran fungsi sistem ialah sebagai Pemeliharaan Pola (sebagai alat internal), Integrasi (sebagai hasil internal), Pencapaian Tujuan (sebagai hasil eksternal), Adaptasi (alat eksternal). Pada bagan sistem tindakan tersebut, sanggup dilihat bahwa Parson menekankan pada hierarki yang jelas. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu pada lingkungan organis, hingga pada tingkatan yang paling tinggi, realitas terakhir. Dan pada tingkat integrasi berdasarkan sistem Parsons terjadi atas 2 cara: pertama, masing-masing tingkat yanng lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diharapkan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya.[6]
Dalam artikel ini memakai teori fungsionalisme struktural, sebuah konsep teoritik dari Talcott Parson. Asumsi-asumsi dasar dan teori fungsionalisme struktural menjadi dasar dari pedoman Talcott Person, yaitu berasal dari pedoman dari Emil Durkheim, dimana masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang masing-masingnya mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam masyarakat.[7]
Jadi sanggup disimpulkan bahwa yang sanggup dilihat dalam konsep Parsons mengenai Fungsionalisme teori sistemnya ini terlihat pada mencari keseimbangan dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat
meskipun berubah ataupun berkonflik tapi tetap menuju ke arah yang faktual dan mempunyai fungsi dalam setiap perubahan dan konfliknya itu. Inilah yang mengakibatkan Parsons dianggap sebagai orang yang konservatif dan statis, alasannya dalam salah satu pedoman terbesarnya mengenai masyarakat. Dan kekerabatan lainnya ialah pokok bahasannya yang mengkonsentrasikan pembahasan terhadap struktur dan institusi sosial mengakibatkan ia menjadi seorang yang fungsionalis.
[1] Goerge Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2013), 253.
[2] Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana, 2012), 42.
[3] Wirawan, Teori-teori Sosial, 43.
[4] Wirawan, Teori-teori Sosial, 48.
[5] Wirawan, Teori-teori Sosial, 58.
[6] Goerge Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2013), 123.
[7] Goerge Ritzer. Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2010), 121-123.