Nahdlatul Ulama

Agama merupakan bentuk konstruksi sosial, Tuhan, ritual, nilai, kepercayaan dan sikap yang berdasarkan sosiolog yaitu untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial. Ignas Kleden menyatakan bahwa agama ialah seperangkat makna khusus yang mempunyai kemampuan menjelaskan dan mengkonstruksi kenyataan sosial didalam waktu dan daerah yang berbeda dengan begitu agama tidak hanya sekedar normatif, tetapi efektif dalam gerakan sosial yang terorganisir secara baik dan terencana.[1]

Sedangkan berdasarkan Durkheim potensi peranan agama dalm mempertahankan ketertiban sosial, berdasarkan agama yaitu pantulan dari solidaritas sosial. Setiap agama mempunyai fungsi ganda sebagai intitusi sosial dan sebagai jalan kesempurnaan yang berafiliasi antar keduanya sanggup saling menunjang tetapi juga saling bertentangan dan saling merugikan. Peran agama ditandai dengan fungsinya dalam menjaga integrasi sosial.

Muhammad Abdul Qadir Ahmad menyampaikan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diridhai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu insan tunduk dan patuh kepada-Nya. Nahdlatul Ulama atau NU yang dikenal sebagai organisasi yang barhaluan “tradisional” yang melawan dengan “modernis”.  Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama‟ah. Kedua kitab tersebut disebut demikian, alasannya yaitu NU memang
bertujuan untuk mempertahankan atau memelihara tradisi yang disebut paham “ahlussunnah wa al jamaah” (aswaja).[2]

Logo Nahdlatul Ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari kata ahlun artinya golongan, sunnah artinya hadits, dan jama’ah artinya mayoritas. Maksudnya, golongan orang-orang yang ibadah dan tingkah lakunya selalu berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadits, sementara pengambilan aturan islamnya mengikuti lebih banyak didominasi mahir fiqh (sebagian besar ulam mahir aturan islam).[3]

Sehingga Nahdlatul Ulama bisa diartikan gerakan keagamaan yang berbasis Islam dan bertujuan menegakkan aliran Islam berdasarkan faham Ahlussunnah wal jamaah dan menjadi pewaris tradisi dengan mempertahankan aliran keempat madzhab meslipun pada kenyataanya menganut salah satu madzhab yakni madzhab syafi’I, organisasi tersebut lahir sebagai reaksi atas gerakan keagamaan kelompok modernis. Meskipun Al-Qur’an dan Al-hadist dijadikan dalam pergerakannya akan tetapi ulama menjadi pedoman yang wajib diikuti.

Dalam merespon dilema baik yang berkenaan dengan dilema keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdhatul Ulama mempunyai manhaj Ahlususnnah sebagai berikut: NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah rujukan pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim
aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al- Qur'an, Sunnah, tetapi juga memakai kemampuan nalar ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, ibarat Abu Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, membuatkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.




[1] Asep Gunawan & Dewi Nurjulianti (ed), Gerakan Keagamaan dalam Civil Society (Jakarta: LSAF dan TAF, 1999), 3.
[2] Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi politik Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), 3.
[3]  Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU (Yogyakarta:Pustaka Pesantren, 2006), 7.

Sumber https://pakarmakalah.blogspot.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel