Optimisme Dan Berbaik Sangka Kepada Allah Shubhanahu Wa Ta’Alla

Optimisme Dan Berbaik Sangka Kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan saya juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Sesungguhnya perilaku optimis dan berbaik sangka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla merupakan kasus yang layak menjadi perhatian khusus bagi seorang mukmin yang harus terus dirawat dan dijaga. Karena cara bersikap semacam itu akan membantu dirinya untuk terus berkarya dan meraih kesuksesan yang ada dihadapannya. Seseorang yang optimis dirinya akan mempunyai harapan tinggi untuk meraih masa depan indah yang lebih baik dari keadaanya sekarang. Dengan berusaha keras mengganti kerugian yang pernah dialami, dan melewati masa-masa sulit yang menimpanya. Demi tercapainya cita-cita, perbaikan serta kesuksesan yang belum bisa direngkuh pada hari ini.
Imam al-Marwadi menjelaskan, "Optimisme akan menguatkan kemauan, melahirkan kekuatan, dan mendorong untuk memperoleh apa yang diinginkan. Dimana Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga begitu optimis didalam ekspedisi maupun peperangannya. Dan yang dimaksud dengan optimis ialah seorang mukmin berlapang dada, berprasangka baik serta mengharapkan bernasib baik".[1]
Ulama lain yang berjulukan Ibnu Atsir menjelaskan pula, "Optimisme gambarannya ibarat seseorang yang sedang sakit kemudian dirinya mengharapkan bernasib baik dengan ucapan orang yang dia dengar mengatakan, 'Hai, Salim'. Atau seseorang yang sedang kesulitan mencari barang hilang, kemudian mendengar orang menyeru, 'Hai, orang yang mendapatkan'. Lantas tersirat dalam benaknya kalau dirinya akan segera sembuh dari sakitnya, dan akan segera menemukan barang yang hilang (karena mendengar ucapan-ucapan tadi)".[2] Lihat, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah diisolir, disakiti bahkan dikeluarkan dari negerinya, kekasihnya terbunuh, enam putranya meninggal dunia, namun, dengan itu semua dia tetap optimis, sehingga disebutkan dia menyukai nama yang anggun mengharap dengan nama tersebut berakibat baik pada pemiliknya.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ» [أخرجه البخاري و مسلم]
"Sangat menakjubkan diriku pengharapan nasib baik dari sebuah ucapan yang bagus". HR Bukhari no: 5756. Muslim no: 2224.

Dibawakan oleh Imam Ahmad sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia menceritakan:
« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَفَاءَلُ وَلَا يَتَطَيَّرُ وَيُعْجِبُهُ الِاسْمُ الْحَسَنُ » [أخرجه أحمد]
"Adalah Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengharap bernasib baik namun dia tidak hingga meramalkannya. Dan dia sangat suka dengan nama yang bagus". HR Ahmad 4/169 no: 2328.

Ada sebuah kisah yang dibawakan oleh Imam Bukhari dari Sa'id bin Musayib dia menceritakan kepadaku bahwa kakeknya yang berjulukan Hazna (sedih) pernah berkunjung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika bertemu dia bertanya, "Siapa namamu? Hazna, jawabnya. Beliau bersabda, "Bagaimana kalau kau ganti namamu menjadi Sahl (mudah)? Dia berkata, "Aku tidak mau merubah nama santunan orang tuaku". Ibnu Musayib menjelaskan, "Dan kakekku tadi setelah itu, betul-betul selalu dalam kesedihan". HR Bukhari no: 6193.
Sebuah kisah lagi, tepatnya tatkala terjadi perjanjian Hudaibiyah. Manakala Suhail bin Amr tiba menemui Nabi sebagai utusan orang kafir, maka tatkala Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dia berkata pada para sahabatnya, "Dia telah memudahkan urusan kalian". HR Bukhari no: 2731, 2732. Beliau merasa bernasib baik dengan kedatanganya sebab namanya Suhail (mudah).
Sahabat Ibnu Abbas menjelaskan, "Perbedaan antara tafa'ul (optimis) dan thiyarah (meramal). Kalau tafa'ul itu melalui jalan prasangka baik pada Allah Shubhanahu wa ta’alla, sedang thiyarah tidaklah dipakai melainkan dalam keburukan". Oleh karenanya yang terakhir ini dilarang. [3] Imam al-Hulaimi mengatakan, "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat suka dengan perilaku optimis, dikarenakan tasya'um (pesimis) merupakan prasangka jelek kepada Allah ta'ala. Sedang tafa'ul itu berprasangka baik kepada         -Nya. Dan seorang mukmin diperintah semoga senantiasa berprasangka baik kepada Allah ta'ala pada tiap keadaan".[4]
Al-Baghawi menerangkan, "Kenapa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyukai perilaku optimis sebab didalamnya terkandung pengharapan pada kebaikan serta manfaat yang ada dibaliknya. Sedang berharap memperoleh kebaikan itu lebih utama bagi seseorang dari pada pesimis dan menganggap sudah putus harapannya". [5] Dan tafa'ul (optimisme) ialah dengan berprasangka baik kepada -Nya. Dan seorang mukmin diperintah semoga senantiasa berprasangka baik kepada Allah ta'ala pada tiap keadaan. Dimana Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah membimbing umatnya semoga selalu mempunyai prasangka baik kepada Allah azza wa jalla.
Dijelaskan dalam hadits Qudsi yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي إِن ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ » [أخرجه أحمد]
"Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta'ala berfirman, "Aku sesuai dengan prasangka yang ada pada hamba -Ku, jikalau dirinya berprasangka baik maka (balasannya) semacam itu, dan jikalau dirinya berprasangka jelek (balasannya) juga serupa". HR Ahmad no: 9076.

Bahkan prasangka baik itu ditegaskan harus selalu menyertai seseorang hingga menjelang ajal. Dijelaskan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ » [أخرجه مسلم]
"Janganlah kalian meninggal dunai melainkan dirinya tetap berprasangka baik kepada Allah azza wa jalla". HR Muslim no: 2877.

Baca Juga

Para ulama menjelaskan, "Yang dimaksud dengan berbaik sangka kepada Allah Shhubhanahu wa ta’alla ialah dirinya selalu berbaik sangka pada -Nya bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memberi rahmat dan mengampuninya". [6]
Bila kita perhatikan kisah perjalanan para Rasul  'alaihim sallam, dan orang-orang shaleh yang tiba sesudahnya, kita jumpai mereka ialah orang-orang yang punya optimisme tinggi ketika menghadapi tiap pergolakan hidup baik peristiwa alam atau pun kesulitan. Lihatlah, pada kisahnya nabi Musa bersama kaumnya manakala mereka terjebak dalam kejaran Fir'aun dengan bala tentaranya dan lautan luas menghadang dihadapannya sedang musuh berada dibelakangnya. Akan tetapi dia sangat optimis dan selalu berbaik sangka kepada Rabbnya. Sehingga Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabadikan kisahnya dalam al-Qur'an:
﴿ فَلَمَّا تَرَٰٓءَا ٱلۡجَمۡعَانِ قَالَ أَصۡحَٰبُ مُوسَىٰٓ إِنَّا لَمُدۡرَكُونَ ٦١ قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ ٦٢﴾ [ الشعراء: 61-62]
"Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul". Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku". (QS asy-Syu'araa: 61-62).

Kisah lain, Ummu Isma'il Hajar ketika ditinggal oleh suaminya Ibrahim di negeri tandus yang tidak berpenghuni bersama anaknya Isma'il, negeri Makah yang kondisinya pada ketika itu belum ada orang, dan tidak ada mata air yang bisa diminum, lantas suaminya Ibrahim meninggalkan mereka berdua disana. Dirinya cuma meninggalkan kantong yang berisi air dan kurma disisi istri dan anaknya, kemudian dia bertolak pergi meninggalkan keduanya, melihat hal itu maka Ummu Isma'il berdiri mengejarnya sembari bertanya, "Wahai Ibrahim, kemana engkau hendak pergi, apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak bertuan ini? Dirinya bertanya ibarat itu berulang-ulang, namun suaminya tidak menoleh sedikitpun. Maka diakhir pertanyaanya dia bertanya, "Apakah Allah Shubhanahu wa ta’alla yang menyuruhmu hal ini? Beliau gres menjawab, "Ya". Kalau demikian niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak akan menyia-yiakan kami, katanya. HR Bukhari no: 3364.
Tidak ketinggalan juga, Ummul mukminin Khadijah bin Khuwailid radhiyallahu 'anha, tatkala turun wahyu pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu suaminya pulang ke rumah dalam keadaan ketakutan sembari berkata, "Selimuti aku, selimuti aku, sungguh saya sangat khawatir akan keselamatanku". Maka dengan tegas istrinya menenangkan, "Sekali-kali tidak akan demikian! Demi Allah, -Dia tidak akan menghinakanmu selamanya. Sungguh engkau penyambung tali kerabat, pemikul beban orang lain yang mendapat kesusahan, pemberi orang papa, penjamu tamu, serta pendukung setiap upaya penegakan kebenaran". HR Bukhari no: 3.
Dan Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dia ialah orang yang paling tinggi optimisnya serta berbaik sangkanya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Diriwayatkan oleh Imam Muslim sebuah kisah dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasannya beliau  bercerita pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, "Apakah engkau pernah menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada perang uhud? Beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِى عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلاَلٍ فَلَمْ يُجِبْنِى إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِى فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلاَّ بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِى فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِى فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِى فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ قَالَ فَنَادَانِى مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلَّمَ عَلَىَّ. ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِى رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِى بِأَمْرِكَ فَمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْنِ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا » [أخرجه مسلم]
"Aku pernah mendapat perlakuan garang dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang paling berat yang saya rasakan ialah pada waktu di Aqabah ketika saya memperlihatkan diriku pada Ibnu Abd Yalail bin Abd Kallal tetapi dia tidak menanggapi apa yang saya inginkan sehingga saya beranjak dari sisinya dalam keadaan sedih. Aku tidak lagi menyadari apa yang terjadi kecuali setelah erat dengan daerah yang berjulukan Qarn ats-Tsa'alib. Waktu saya mengangkat kepalaku tiba-tiba tiba segumpal awan menaungiku, kemudian saya melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku.
Dia berkata, "Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka".
Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku dan memberi salam kepadaku, kemudian berkata, "Wahai Muhammad, Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu. Aku ialah malaikat penjaga gunung yang Allah utus untuk engkau perintahkan sesuai keinginanmu terhadap mereka. Jika engkau menghendaki saya meratakan mereka dengan al-Akhasyabain (dua gunung besar diMakah) maka akan saya lakukan".
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Bahkan saya berharap kelak Allah memunculkan dari tulang punggung mereka suatu kaum yang menyembah Allah ta'ala semata, dan tidak menyekutukan -Nya dengan sesuatupun". HR Muslim no: 1795.

Didalam shahih Bukhari dikisahkan dari Aisyah wacana ayahnya, dia menceritakan, "Tatkala Abu Bakar berada ditengah-tengah Ibnu ad-Daghinah yang memberi proteksi padanya, dia menciptakan masjid dihalaman rumahnya. Lalu secara terang-terangan dia kerjakan sholat dan membaca al-Qur'an disana, maka hal itu membikin geram orang Quraisy sehingga mereka berusaha menghipnotis Ibnu ad-Daghinah supaya Abu Bakar tidak melaksanakan hal itu lagi. Mereka berkata, "Kami takut suaranya akan memfitnah belum dewasa dan para perempuan kami".
       Lalu Ibnu ad-Daghinah beranjak pergi pada Abu Bakar kemudian berkata, "Silahkan engkau tidak mengerjakan urusanmu lagi atau engkau menentukan tetap berada disampingku. Sungguh saya tidak lezat kalau penduduk kota ini membicarakan diriku yang telah menciptakan lari sahabatku yang telah saya lindungi".
      Abu bakar menjawab, "Aku lebih suka pergi meninggalkanmu dan menentukan berada disisi Allah azza wa jalla". HR Bukhari no: 3905.

       Diantara kisah yang dinukil pada kita yang menjelaskan wacana optimisme ialah kejadian yang terjadi pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dikisahkan, pada tahun 702 H, tentara Tatar memobilisasi pasukanya untuk menyerang negeri Syam, mendengar itu Ibnu Taimiyah mengabarkan pada insan dan penguasa bahwa peristiwa dan kekalahan akan musuh rasakan, sedang kemenangan akan diperoleh oleh kaum muslimin. Ucapannya tersebut dia barengi dengan sumpah kepada Allah sebanyak tujuh puluh kali. Maka ada yang mengingatkan beliau, "Katakanlah insya Allah". Beliaupun berkata, "Insya Allah, niscaya akan terjadi tidak saya ragukan sedikitpun".
Ibnu Qoyim menuturkan, "Aku mendengar dia mengucapkan hal itu, manakala banyak orang-orang yang membicarakan ucapan beliau, maka saya katakan pada mereka, "Kalian jangan banyak menyoal ucapan beliau, catatan Allah Shubhanahu wa ta’a’alla telah tetap di Lauh Mahfud kalau mereka akan kalah di negeri ini. Dan kemenangan bagi pasukan kaum muslimin. Beliau melanjutkan, "Maka sebagian pemimpin dan pasukan sudah bisa mencicipi manisnya kemenangan sebelum kepergin mereka bertarung bersama tentara musuh. Maka benar kemenangan diraih oleh kaum muslimin. Allah ta'ala menyatakan dalam firman -Nya:

﴿ أَلَآ إِنَّ نَصۡرَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ ٢١٤ ﴾ [ البقرة: 214]
"Ingatlah, bahwasanya pertolongan Allah itu amat dekat". (QS al-Baqarah: 214).

Allah ta'ala juga mengatakan:

﴿ وَكَانَ حَقًّا عَلَيۡنَا نَصۡرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٤٧  ﴾ [ الروم: 47]
"Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman". (QS ar-Ruum: 47).[7]

Diantara kisah lain yang pertanda hal itu juga, bahwa Syaikh Syamsudin yang menjadi punggawa, ditugaskan untuk mendidik Sulthan Muhammad Fatih al-Utsmani kecil. Dikisahkan, dia pernah membawa Sulthan Muhamamd yang masih kecil ketika itu berjalan-jalan di tepi pantai, sambil menggandeng tangannya, kemudian disana dia menunjuk pada bangunan kostantinopel yang nampak terang dari kejauhan menjulang tinggi diantara benteng-bentengnya. Setelah itu dia berkata pada sang Sulthan, "Apakah baginda melihat kota itu yang bangunannya menjulang tinggi dilangit, itu ialah Kostantinopel, sungguh telah mengabarkan pada kita Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa akan ada seseorang dari kalangan umatnya yang akan menaklukan mereka dengan bala tentaranya kemudian menyatukan mereka didalam panji tauhid. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sungguh Kostantinopel niscaya akan sanggup ditaklukan, dan sebaik-baik pemimpin pada ketika itu ialah yang memimpin pasukan ke sana, dan sebaik-baik pasukan ialah pasukan tersebut". [8]
Mendengar hal itu maka sang Sulthan kecil merasa optimis dan bertekad dengan mengumpulkan segalanya untuk menjadi orang yang bisa menaklukan negeri tersebut, dan menjadi orang yang dikabarkan dalam hadits yang mendapat kabar bangga dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Manakala tiba waktunya, dan dirinya telah diangkat menjadi Khalifah maka dirinya bergegas untuk mengadakan negosiasi dengan pembesar Kostantinopel supaya mereka mengalah tanpa bersyarat. Ketika benar hal itu dilakukan, mereka eksklusif menolaknya, tidak rela menyerahkan kota mereka kepada kaum muslimin.
Maka Muhammad Fatih sang khalifah dengan penuh optimis berkata, "Baik, tidak usang lagi disana ada dua pilihan untukku, saya mempunyai singgasananya atau lahat untuk jenazahku". Kemudian khalifah Muhammad al-Fatih mengepung Kostantinopel selama lima puluh satu hari. Selang waktu itu sesekali terjadi beberapa pertempuran yang sangat sengit hingga balasannya kota benteng tersebut yang dulunya enggan untuk tunduk, berhasil jatuh ditangan sang cowok pemberani yang  usainya pada ketika itu gres dua puluh tiga tahun.
Diantara kisah lain, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muqri Abdullah bin Ahmad bin Sa'id, dia mengatakan, "Aku pernah sakit keras, dulu ketika di Damaskus. Maka Ibnu Taimiyah tiba menjengukku, kemudian dia duduk disampingku, sedang kondisiku ketika itu sangat berat menahan sakit, dia lantas mendo'akan diriku kemudian berkata, "Akan tiba kesembuhan'. Tidak selang hingga berdiri, tiba-tiba kesembuhan menyapaku, seketika itu saya diberi kesembuhan". [9]

Faidah perilaku optimis dan baik sangka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla:
Pertama: Membawa kebahagian dan kesenangan di dalam hati. Sebaliknya akan menghilangkan kesedihan dan kegundahan. Dan semua kasus ini diajarkan oleh agama kita.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ » [أخرجه البخاري]
"Ya Allah, saya berlindung kepada -Mu dari kegundahan dalam hati dan kesedihan". HR Bukhari no: 2893.

Kedua: Dengannya akan menguatkan kemauan, mendorong meraih harapan dan menumbuhkan kesungguhan dalam berkarya. Allah Shubhanahu wa ta'ala berfirman:

﴿ وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ ١٠٥﴾ [ التوبة: 105]
"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul -Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu". (QS at-Taubah: 105).

Dibawakan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ » [أخرجه مسلم]
"Mukmin yang berpengaruh lebih baik dan dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah. Dan pada keduanya ada kebaikan. Berusahalah untuk mencari apa yang memberi manfaat padamu, kemudian mintalah tolong kepada Allah jangan loyo. Dan jikalau engkau terkena peristiwa alam jangan berkata, 'Kalau seandainya saya begitu tentu tidak akan begini'. Namun, katakan, "Apa yang Allah takdirkan niscaya terjadi. Sesungguhnya ucapan 'seandainya' akan membuka budi bulus setan". HR Muslim no: 2664.

Ketiga: Mengikuti sunah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dimana dia sangat menganjurkan untuk bersikap optimis.
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga dia serta para sahabatnya.





[1] . Adabu Dunya wa Diin hal: 319.
[2] . Nihayah fii Gharibil Hadits 3/406.
[3] . Fathul Bari 10/215.
[4] . Fathul Bari 10/215.
[5] . Syarh Sunah 12/175.
[6] . Syarh shahih Muslim 6/210.
[7] . al-Jaami' li Sirati Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah hal: 415.
[8] . Penggalan hadits yang dibawakan oleh Syaikh Syamsudin. Yang dijadikan sebagai dalil akan keutamaan pasukan yang menaklukan Kostantinopel ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya Ahmad bin Hanbal didalam kitab Zawaid Musnad 31/287 no: 18957. dari haditsnya Bisyr al-Khats'ami radhiyallahu 'anhu. Dan hadits ini dinilai lemah oleh sebagian pakar hadits. Adapun wacana keutamaan orang yang menaklukan kota Kostantinopel maka telah tetap beritanya sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits shahih yang lainnya.
[9] . al-Jaami' li Sirati Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah hal: 688.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel