Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma aturan demi pengayoman masyarakat menuntaskan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa tenang dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan training sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa aturan pidana harus dipakai untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut dipakai untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana aturan pidana dengan hukuman yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan hingga ada kelampauan beban kiprah (overbelasting) dalam melaksanakannya
Untuk sanggup dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).
1) Kesengajaan (opzet) Menurut Moeljatno, sesuai teori aturan pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku sanggup dipertanggungjawabkan dan gampang sanggup dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan ibarat ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan eksekusi pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akhir yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman eksekusi ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akhir yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akhir itu niscaya akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akhir yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akhir itu. Selanjutnya mengenai kealpaan lantaran merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan sanggup dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya
2) Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh lantaran itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menyebabkan akhir dan yang tidak menyebabkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat gampang dipahami yaitu kelalaian yang menyebabkan akhir dengan terjadinya akhir itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menyebabkan akhir dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.
Selanjutnya Menurut Moeljatno, syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akhir tidak akan terjadi lantaran perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akhir yang dihentikan mungkin timbul lantaran perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak memiliki pikiran sama sekali bahwa akhir mungkin akan timbul hal mana perilaku berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melaksanakan perbuatan.
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) ialah suatu prosedur untuk memilih apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk sanggup dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.
Seseorang dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan aturan serta tidak ada alasan pembenar atau penghapusan sifat melawan aturan untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang bisa bertanggungjawab yang sanggup dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana bila tidak ada kesalahan ialah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh alasannya itu dalam hal dipidananya seseorang yang melaksanakan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melaksanakan perbuatan in i beliau memiliki kesalahan
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan berdasarkan aturan pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan bertanggungjawab atau sanggup dipertanggungjawabkan dari si pembuat.
b. Adanya perbuatan melawan aturan yaitu suatu perilaku psikis si pelaku yang bekerjasama dengan kelakuannya yaitu disengaja dan perilaku kurang hati-hati atau lalai
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat
Berdasarkan uraian di atas maka sanggup dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap belakang layar selalu ada lantaran pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan bisa bertanggungjawab, kecuali kalau ada gejala yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan investigasi yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika alhasil masih mencurigai hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak sanggup dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana bila tidak ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi: “Barangsiapa melaksanakan perbuatan yang tidak sanggup dipertanggungjawabkan kepadanya lantaran jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu lantaran cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, contohnya jiwanya tidak normal dikarenakan beliau masih muda, maka Pasal tersebut tidak sanggup dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang tepat akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada semenjak kelahiran atau lantaran suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.
b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melaksanakan perbuatan pidana, oleh alasannya itu suatu gangguan jiwa yang timbul setelah kejadian tersebut, dengan sendirinya tidak sanggup menjadi alasannya terdakwa tidak sanggup dikenai hukuman
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, ialah merupakan faktor logika (intellectual factor) yaitu sanggup membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk memilih kehendaknya berdasarkan keinsyafan perihal baik buruknya perbuatan tersebut ialah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu sanggup menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak bisa memilih kehendaknya berdasarkan keinsyafan perihal baik buruknya perbuatan, beliau tidak memiliki kesalahan kalau melaksanakan tindak pidana, orang demikian itu tidak sanggup dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas maka sanggup dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melaksanakan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai kesalahannya. Orang yang melaksanakan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia memiliki kesalahan. Seseorang memiliki kesalahan bila pada waktu melaksanakan perbuatan dilihat dari segi masyarakat pertanda pandangan normatif mengenai kesalahan tersebut.
Sumber https://pakarmakalah.blogspot.com/
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma aturan demi pengayoman masyarakat menuntaskan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa tenang dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan training sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa aturan pidana harus dipakai untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut dipakai untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana aturan pidana dengan hukuman yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan hingga ada kelampauan beban kiprah (overbelasting) dalam melaksanakannya
Baca Juga
Untuk sanggup dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).
1) Kesengajaan (opzet) Menurut Moeljatno, sesuai teori aturan pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku sanggup dipertanggungjawabkan dan gampang sanggup dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan ibarat ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan eksekusi pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akhir yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman eksekusi ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akhir yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akhir itu niscaya akan mengikuti perbuatan itu.
2) Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh lantaran itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menyebabkan akhir dan yang tidak menyebabkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat gampang dipahami yaitu kelalaian yang menyebabkan akhir dengan terjadinya akhir itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menyebabkan akhir dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.
Selanjutnya Menurut Moeljatno, syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akhir tidak akan terjadi lantaran perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akhir yang dihentikan mungkin timbul lantaran perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak memiliki pikiran sama sekali bahwa akhir mungkin akan timbul hal mana perilaku berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melaksanakan perbuatan.
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) ialah suatu prosedur untuk memilih apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk sanggup dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.
Seseorang dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan aturan serta tidak ada alasan pembenar atau penghapusan sifat melawan aturan untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang bisa bertanggungjawab yang sanggup dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana bila tidak ada kesalahan ialah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh alasannya itu dalam hal dipidananya seseorang yang melaksanakan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melaksanakan perbuatan in i beliau memiliki kesalahan
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan berdasarkan aturan pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan bertanggungjawab atau sanggup dipertanggungjawabkan dari si pembuat.
b. Adanya perbuatan melawan aturan yaitu suatu perilaku psikis si pelaku yang bekerjasama dengan kelakuannya yaitu disengaja dan perilaku kurang hati-hati atau lalai
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat
Berdasarkan uraian di atas maka sanggup dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap belakang layar selalu ada lantaran pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan bisa bertanggungjawab, kecuali kalau ada gejala yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan investigasi yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika alhasil masih mencurigai hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak sanggup dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana bila tidak ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi: “Barangsiapa melaksanakan perbuatan yang tidak sanggup dipertanggungjawabkan kepadanya lantaran jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu lantaran cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, contohnya jiwanya tidak normal dikarenakan beliau masih muda, maka Pasal tersebut tidak sanggup dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang tepat akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada semenjak kelahiran atau lantaran suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.
b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melaksanakan perbuatan pidana, oleh alasannya itu suatu gangguan jiwa yang timbul setelah kejadian tersebut, dengan sendirinya tidak sanggup menjadi alasannya terdakwa tidak sanggup dikenai hukuman
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, ialah merupakan faktor logika (intellectual factor) yaitu sanggup membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk memilih kehendaknya berdasarkan keinsyafan perihal baik buruknya perbuatan tersebut ialah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu sanggup menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak bisa memilih kehendaknya berdasarkan keinsyafan perihal baik buruknya perbuatan, beliau tidak memiliki kesalahan kalau melaksanakan tindak pidana, orang demikian itu tidak sanggup dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas maka sanggup dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melaksanakan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai kesalahannya. Orang yang melaksanakan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia memiliki kesalahan. Seseorang memiliki kesalahan bila pada waktu melaksanakan perbuatan dilihat dari segi masyarakat pertanda pandangan normatif mengenai kesalahan tersebut.
Sumber https://pakarmakalah.blogspot.com/