Sahabat Nabi Dalam Perspektif Jalaluddin Rakhmat (Kritik Atas Pandangan Jalaluddin Rakhmat)

Sahabat Nabi dalam Perspektif Jalaluddin Rakhmat
(Kritik Atas Pandangan Jalaluddin Rakhmat)

Sahabat Nabi [1] mempunyai posisi sangat penting dalam Islam. Merekalah generasi yang tumbuh pribadi di bawah naungan tarbiyah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karenanya, mereka menyerupai menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan adat dan kesahajaan hidup. Dengan posisi ini, sobat menjadi jembatan pada ketika Islam diwariskan kapada generasi berikutnya. Merekalah generasi terbaik dibanding generasi-generasi yang tiba berikutnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah dalam salah satu sabdanya[2] yang menegaskan kebanggaan Allah SWT dalam beberapa ayat al-Quran.[3]
Kemuliaan yang disematkan kepada sobat bukan berarti menempatkan mereka sebagai sosok yang steril dari salah dan dosa.Sahabat juga manusia, terkadang ada sebahagian dari mereka yang terjebak dalam kesalahan dan kemaksiatan.Namun hal tersebut tidak menjatuhkan reputasinya sebagai pribadi yang baik, jujur dan adil, terutama dalam meriwayatkan sesuatu yang tiba dari Rasulullah. Oleh karenanya, dalam pandangan mainstream Sunni, seluruh sobat yakni 'adil (as-shahabah kulluhum 'udul), dalam arti mereka sanggup jadi bersalah dan berdosa, tapi mustahil mereka berdusta atas nama Rasulullah.
Kesepakatan ulama sunni perihal keadilan sobat ternyata tidak diamini oleh kaum Mu'tazilah dan Syiah. Bagi kedua kelompok ini, tidak seluruh sobat hadir dengan keimanan yang tepat kepada Allah dan rasul-Nya, di antara mereka ada yang jatuh dalam lembah dosa dan maksiat. Perbedaan dalam memandang sobat ini akan berdampak kepada kedudukan hadits yang diriwayatkan sobat itu. Artinya, kalau di antara sobat ada yang tidak berperilaku baik, masihkan yang bersangkutan sanggup dipegang riwayatnya?Mungkin pertanyaan itulah yang menghinggapi benak sementara kalangan yang menggugat kaidah bahwa seluruh sobat yakni 'Adil.
Di antara mereka yang menggugat kaidah tersebut yakni Jalaludin Rakhmat[4]-salah seorang tokoh Syiah Indonesia- yang mengungkapkan pandangannya dalam beberapa karya tulisnya. Baginya, banyak ayat-ayat  al-Qur'an yang turun menegur beberapa sikap sobat yang tidak etis. Bahkan ada ayat-ayat yang turun menjelaskan bentuk eksekusi yang harus mereka terima karena maksiat yang mereka lakukan.
Ternyata ada beberapa kalangan akdemisi yang notabenenya beraliran Sunni juga oke atau sepakatdengan  pandangan Jalaludin Rakhmat perihal sobat Nabi. Salah satunya yakni Fuad Jabali yang mempertanyakan 'Adalah sobat dalam bukunya "Shahabat Nabi: Siapa, kemana, dan bagaimana?" atas keberaniannya di buku tersebut, Jalaludin Rakhmat memuji sang penulis-sebagaimana yang tertera dalam cover buku-dengan mengatakan: "buku ini merupakan penelitian yang terbaik yang pernah saya baca. Untuk melaksanakan mirip itu, orang memerlukan kecerdasan, ketekunan, dan keberanian. Jabali memasuki wilayah-wilayah penelitian yang boleh jadi masih tabu buat akademisi Islam…"[5]
Dalam banyak sekali forum, kang Jalal sebutan erat Jalaludin Rakhmat yang juga ketua dewan Syura jema'ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sering diundang sebagai narasumber untuk mempresentasikan pandangannya perihal sahabat. Dalam diskusi bulanan di teater utan kayu yang diadakan oleh Jaringan Islam Liberal, Jalaludin Rakhmat hadir sebagai narasumber dalam diskusi yang berjudul:"sahabat Nabi dipuji, dicaci."[6]
Sulit untuk disangkal bahwa pandangan Jalaludin Rakhmat perihal sobat Nabi yakni adopsi dari kaum Syiah perihal sahabat. Dan kenyataanya, tidak sedikit dari kaum Sunni yang tercemar oleh cara pandang Jalaludin Rakhmat. Dari sini, perlu ada penelitian dan kajian yang serius sekaligus kritis perihal pandangan Jalaludin Rakhmat perihal sobat Nabi.

         A.         Kritik Jalaluddin Rakhmat Terhadap Sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam.
a)       Terhadap Mu'awiyah
Dalam bukunya, al-Musthafa, Jalaluddin Rakhmat mengikuti jejak ulamanya yang menuduh Mu'awiyah Ra. Sebagai seorang yang sering menghujat Nabi SAW, dan ia ingin menghapussemua hal yang bekerjasama dengan Nabi SAW. Berikut penuturan Jalaludiin Rakhmat:
Pada suatu hari, pada final pemerintahannya dan juga final hayatnya, Mu'awiyah ditemui penasihatnya Mughirah bin Syu'bah. Mughirah berkata, "Ya Amirul Mukminin, anda sudah berusia tua. Alangkah baiknya kalau anda menegakkan kebenaran dan menyebar kebaikan. Sungguh sudah hingga waktunya. Alangkah baiknya kalau anda memperhatikan saudara anda dari kalangan Bani Hasyim dan penyambung persaudaraan bersama mereka. Demi Allah mereka tidak perlu ditakuti." Lalu ia berkata kepada Mughirah, " Tidak, tidak! Saudaraku dari Bani Taim-Abu Bakar- telah berkuasa dan berbuat adil. Ia telah lakukan apa yang telah ia lakukan. Demi Allah setelah ia mati ia tidak pernah disebut-sebut lagi kecuali namanya Abu Bakar. Kemudian saudara dari Bani 'Adi berkuasa.Ia berkuasa dan berusaha keras selama dua puluh tahun. Demi Allah setelah ia mati tidak pernah perbuatannya desebut-sebut kecuali namanya Umar. Kemudian berkuasalah saudara kita Utsman. Kemudian ia berkuasa dengan tidak seorangpun  menandingi nasabnya. Ia bertindak dengan tindakan yang ia lakukan. Tetapi demi Allah, tidak tertinggal kenangan perihal apapun yang ia lakukan. Lalu lihatlah saudara Hasyim. Namanya disebut lima kali sehari- Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Lalu tindakan apa lagi yang masih kita lakukan? Tidak, demi Allah, hingga mati sekalipun.[7] Pada hari yang lain Mu'awiyah mendengar azan. Ia berkata, Demi Allah, wahai putra Abdillah. Engkau betul-betul ambisius.Hatimu belum puas sebelum namamu didampingkan bersama Tuhan Alam Semesta".[8]Mu'awiyah ingin menghapus semua hal yang bekerjasama dengan Nabi SAW.Dengan kisah-kisah yang diciptakan oleh para pengikutnya.[9]
Tanggapan
Membaca kritik-kritik Jalaluddin Rakhmat terhadap sobat yang diutarakan dalam bukunya, al-Musthafa, kemudian membandingkannya dengan kitab al-Sahahih min Sirah al-Nabiy al-Adham karya seorang tokoh Syiah, al-Sayyid Ja'far Murtadla al-Amiliy, akan mendapati banyak kesamaan. Dalam kitab sirah tersebut, pengarangnya juga mengkritik Mu'awiyah dengan menyetir riwayat yang sama dengan riwayat yang disitir oleh Jalaluddin Rakhmat. Berikut kutipan riwayat tersebut (bandingkan dengan goresan pena Jalaluddin di atas):
روي أحمد ابن أبي طاهر فى كتاب "أخبار الملوك" أن معاوية سمع المؤذن يقول : " أشهد أن محمدا رسول الله " فقال: لله يابن عبد الله, لقد كنت عالي الهمة, ما رضيت لنفسك إلا أن يقرن اسمك باسم رب العالمين.
                Ahmad bin Abi Thahir meriwayatkan dalam kitab "Akhbar al-Mulluk" bahwa suatu hari Mu'awiyah mendengar seorang muadzin mengumandangkan : 'Asyhadu anna Muhammaddan Rasulullah', kemudian ia (Mu'awiyah) berkata: wahai putra Abdullah. engkau betul-betul ambisius belum puas sebelum namamu didampingkan bersama nama Tuhan Alam Semesta".[10]
Menanggapi riwayat perihal Mu'awiyah yang dilontarkan Jalaluddin Rakhmat dan kitab yang masih dipertanyakan keabsahannya, cukup dengan mengetengahkan kebanggaan Rasulullah SAW sendiri terhadap salah seorang penulis wahyu ini (baca: Mu'awiyah) yang jelas-jelas shahih. Diantara kebanggaan tersebut ialah:
-Do'a Rasulullah SAW kepada Mu'awiyah:
((اللهم اجعله هاديا مهديا واهد به)) [رواه الترمذي]
"Ya Allah, jadikan dia (Mu'awiyah) orang yang memberi  petunjuk (kebaikan), orang yang mendapat petunjuk, dan dengannya orang mendapat petunjuk (HR. Tirmidzi)".[11]
-Do'a Rasulullah SAW yang lain kepada Mu'awiyah:
((اللهم علم معاوية الكتاب و الحساب وقه العذاب)) [رواه أحمد]
"Ya Allah ajarilah Mu'awiyah menulis, hitungan dan lindungilah dia dari siksaan (HR. Ahmad)".[12]
                Tentang keutamaan Mu'awiyah , setidaknya ada dua kitab yang khusus membahas hal tersebut, yaitu "Min Aqwal al-Munshifin fi al-Shahaby al-Khalifah Mu'awiyah" karangan Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr dan " Min Fadlail wa Akhbar Mu'awiyah": Dirasah Haditsiyyah karangan Muhammad Ziyad bin Umar al-Taklah.[13]
                Jika kita perhatikan kitab yang dirujuk oleh Jalaluddin Rakhmat ketika melontarkan tuduhan kepada Mu'awiyah yaitu Syarh Nahjul Balaghah, maka kita patut mempertanyakan keabsahan riwayat tersebut.Sebagaimana lazim diketahui bahwa kitab Nahjul Balaghah yakni kitab yang amat popular di kalangan penganut Islam dan penganut Siyah. Isinya terdiri dari ucapan ,dan surat yang disandarkan kepada saidina Ali bin Abi Thalib Ra. Bagi kaum Syiah, kedudukan kitab Nahjul Blaghah ini hampir mendindingi Al-Quran bahkan saudaranya.[14] Pertanyaannya yang fundamental adalah: Apakah benar isi Nahjul Balaghah benar-benar dari Ali bin Abi Thalib Ra.?[15]
                Bagi mereka yang peduli dalam studi hadits, niscaya tidak absurd dengan perkataan Ibnu Mubarak :
[ الإسناد من الدين، ولو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء ]
"Sanad itu penggalan dari agama, kalau tidak ada isnad maka siapapun akan berbicara semaunya saja"
                Kembali ke kitab Nahjul Balaghah. Kitab ini disusun oleh al-Murtadha Ali bin Husain bin Musa al-Musawi (lahir tahun 355 hijriyah, meninggal thaun 436 hijriyah). Tentang orang ini dan kitab yang disusunnya, Imam al-Dzahabi mengatakan:
                "Menurutku dia yakni penulis kitab Nahjul Balaghah, yang dinisbahkan lafaznya kepada Imam Ali Ra. Tanpa sanad.Sebagaimana mengandung kebatilan dan terselip juga di dalamnya kebenaran. Namun di sana terdapat tema-tema yang mustahil diucapkan oleh imam Ali bin Abi Thalib Ra. Lalu , siapa gotong royong yang menyusun kitab itu? Ada yang menyampaikan : Malah ia (Nahjul Balaghah) disusun oleh saudaranya yang bernama  al-Syarif al-Radhi…[16]
b)       Terhadap Amru bin Al-'Ash
Masih dalam bukunya, al-Musthafa, Jalaluddin Rahmat kali ini memberikan kebenciannya kepada sobat Nabi lain yang dianggap 'setali tiga uang' dengan Mu'awiyah, yaitu Amru bin al-'Ash. Sebagaimana lazin diketahui bahwa Amru yakni salah seorang sobat yang berada di barisan Mu'awiyah ketika insiden Tahkim (perjanjian damai) antara Mu'awiyah dengan Ali bin Abi Thalib. Di mata orang Syiah, Amru yakni seorang politikus yang licik. Maka, tak ayal lagi, hujatan dan cercaan kerap menimpanya setelah itu.
                Dalam usahanya menebar kebencian terhadap Amru Jalaluddin Rakhmat- sebagaimana yang biasa dilakukan- mengutip kitab-kitab Syiah yang menghujat para sahabat. Berikut hujatan Jalaluddin Rakhmat kepada Amru bin al-'Ash.:
"Marilah kita perhatikan apa yang telah dilakukan oleh tonggak-tonggak kekuasaan Bani Umayyah. Salah satu di antaranya yakni Amru bin al-'Ash. Ibnu Abi Hadid menceritakan kepada kita secara riwayat Amru bin al-'Ash:[17]Amru yakni seorang di antara yang menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Di Makkah. Ia suka memaki Nabi dan meletakkan batu-batu di jalan-jalan yang dilewatinya. Nabi sering keluar dari rumahnya di malam hari untuk tawaf di Ka'bah.Amrumenaburkan bebatuan di jalan supaya Nabi shallallahu alaihi wasallam tergelincir. Ia juga salah seorang di antara yang mencegat Zainab putri Rasulullah ketika hijrah ke madinah…Al-Wqidi dan mahir hadits lainnya meriwayatkan bahwa Amru sering mencemooh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ia ajarkan cemooh itu kepada bawah umur Makkah…Al-Zubair bin Bakkar menyebutkan dalam kitab al-Mufakharat, dari al-Hasan al-Mujtaba bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu al-'Ash, "Adapun engkau hai anak al-'Ash. Urusan kau diperselisihkan.ibumu mengandung kau dari hasil promiskuitas. Tidak terang siapa bapakmu. Kemudian empat orang Quraish berunding di antara mereka dan ditetapkan sebagai bapak kau orang yang paling buruk nasabnya dan paling buruk kedudukannya…[18]
Tanggapan
Menanggapi tuduhan yang dilontarkan Jalaluddin Rakhmat terhadap Amru, kita patut menanyakan keabsahan riwayat tersebut. Seandainya riwayat tersebut benar, maka dengan gampang kita katakana bahwa itu semua merupakan penggalan dari masa kemudian Amru bin al-'Ash sebelum masuk Islam. dan setelah masuk Islam, semua kesalahan dan dosanya telah terhapus. Bukankah al-Islam wal Hijratu yahjubu ma wablahu (Islam dan hijrah menghapus dosa-dosa seseorang yang sebelumnya/berlalu)? Kata-kata itulah yang diucapkan Rasulullah SAW keapda Amru beberapa ketika setelah dia masuk Islam dan dibaiat seraya memohon kepada Rasulullah SAW supaya dosa-dosanya yang kemudian diampuni. Berikut sekelumit perihal Amru bin al-'Ash:[19]
                Dia yakni Amru bin 'Ash bin Wail bin Hasyim bin Sa'id bin Sahm. Julukannya yakni Abu Abdillah.Ada yang menyampaikan julukannya yakni Abu Muhammad. Ibunya yakni al-Nabighah binti Harmalah Sabiyah dari Bani Jalan bi 'Atik bin Aslam. Saudaranya yang satu ibu yakni Amru bin Utsatsah al-'Adawiy dan Uwbah bin Nafi' bin Abd Qois al-Fahriy.
                Suatu hari ada seseorang bertanya kepada Amru perihal ibunya, Amru menjawab: ibuku yakni Salma binti Harmalah, julukannya al-Nabighah dari Bani 'Atrah yang dulunya yakni seorang budak kemudian dijual di pasar 'Ukkadz, kemudian dibeli al-Fakih bin Mughirah, kemudian debeli Abdullah bin Jad'an terus pindah tangan ke al-Ash bin Wail, dan lahirlah Amru bin 'Ash.
                Dialah Amru bin 'Ash orang yang diutus suku Quraish ke raja Najasyi supaya menyerahkan kembali kepadanya kaum muslimin yang hijrah ke sana yang dipimpin Ja'far bin Abi Thalib. Namun raja Najasyi menolak undangan Amru seraya berkata: "Wahai Amru, bagaimana anda tidak menyadari siapa sebebarnya putra pamanmu itu. Demi Allah sesungguhnya dia (Muhammad) yakni utusan Allah", "Benarkah apa yang kau katakana?" sahut Amru. Najasyi kembali menegaskan : "Demi Allah (benar), percayalah kepadaku". Setelah mendengar penuturan Najasyi tersebut, Amru pribadi pergi menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mengikrarkan keislamannya pada perang Khaibar. Dalam riwayat lain dituturkan: dia (Amru) masuk Islam di hadapan Najasyi, kemudian hijrah ke Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ada yang menyampaikan : Amru masuk Islam pada bulan Safar tahun ke-8 hijriyah, tepatnya enam bulan sebelum Fath Makkah (Pembukaan Kota Makkah). Sebelum itu, gotong royong dia sudah punya impian berpengaruh untuk berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tepatnya pasca pertemuan dengan Najasyi. Namun keinginannya tersebut tertunda. Akhirnya dia tiba menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam bersama Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah al-'Abdari. Mulanya, Khlaid yang masuk Islam, kemudian dibaiat, kemudian Amru bin 'Ash menyusul Khalid masuk Islam dan dibaiat secara minta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam Agar dosa-dosanya yang kemudian diampuni. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mengatakan kepadanya: "al-Islam wa al-Hijrah yahjubu ma qablahu (Islam dan Hijrah mengahpus apa-apa (dari dosa) sebelumnya)".
                Perlu diketahui, seburuk apapun masa kemudian seseorang, sebanyak apapun bilangan dosanya, selama yang bersangkutan benar-benar taubat, maka ia bagaikan bayi yang gres saja dilahirkan. Apalagi orang tersebut yakni seorang sobat Nabi. Dalam haditsnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Bersabda:
((التائب من الذنب كمن لا ذنب له)) [رواه ابن ماجه]
"Orang yang bertaubat dari dosanya mirip orang yang tidak punya dosa.(HR. Ibnu Majah).[20]        
          B.         Kritik Jalaluddin Rakhmat Terhadap Riwayat Hadits
1)       Kritik Riwayat Puasa Asyura
Dalam bukunyam Islam Aktual, Jalaluddin Rakhmat menulis salah satu sub penggalan dengan judul : Tarikh Nabi Muhammad SAW. : Kritik Historis, di sini dia mengajak pembaca supaya bersikap kritis ketika mempelajari sirah Nabi, dalam arti tidak mendapatkan apa saja yang dikisahkan oleh buku sejarah. Ada beberapa riwayat yang dianggap 'mapan' oleh secara umum dikuasai kaum muslimin yang ditinjau ulang oleh Jalaluddin Rakhmat.Diantara riwayat tersebut yakni tradisi puasa Asyura. Berikut kritik Jalaluddin Rakhmat:
                "Pada tanggal 10 Muharram, banyak Muslim yang saleh melaksanakan puasa Asyura (Asyura artinya tanggal 10 Muharram).Mereka ingin mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berpuasa pada hari itu. Saya kutipkan salah satu hadits perihal puasa Asyura dari Shahih Bukhari: "Dari Ibnu Abbas, ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah dia melihatorang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya: "Apkah ini?" orang –orang Yahudi berkata: "Ini hari yang baik. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa As. Berpuasa pada hari itu." Kata Nabi SAW.: "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Maka Nabipun melaksanakan puasa dan menyuruh orang melakukannya juga."Bukhari menyatakan hadits ini sahih.Tetapi merilah kita teliti dengan ilmu hadits dan kritik historis.Segera kita menemukan beberapa hal yang janggal.
Pertama, sobat yang meriwayatkan insiden ini yakni Abdullah Ibnu Abbas.Menurut para penulis biografi, Ibnu 'Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah.Ia hijrah ke Madinah pada tahun ketujuh Hijri. Jadi, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah, Ibnu 'Abbas masih di Makkah dan belum menuntaskan masa balitanya.
Darimana Ibnu 'Abbas mengetahui insiden itu? Mungkin dari sobat Nabi yang lain, tetapi ia tidak menyebutkan siapa sobat Nabi itu. Ia menyembunyikan sumber berita, sehingga seolah-olah ia menyaksikan sendiri insiden itu. Dalam ilmu hadits, sikap mirip itu disebut tadlis (pelakunya disebut Mudallis).
Kedua, bandingkanlah riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu 'Abbas. Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian. Dia keburu meninggal. Masih berdasarkan muslim, dan juga Ibnu 'Abbas, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam sempat melakukannya setahun sebelum dia wafat. Bila kita bandingkan riwayat Ibnu 'Abbas ini dengan riwayat-riwayat para sobat yang lain, kita akan menemukan lebih banyak lagi pertentangan. Menurut siti Aisyah Nabi sudah melaksanakan puasa Asyura semenjak zaman jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa Aysura setelah turun perintah puasa Ramadhan (Sahih Bukhari).Menurut Mu'awiyah, Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan puasa Asyura pada waktu haji wada' (Sahih Bukhari).
Ketiga, Nabi shallallahu alaihi wasallam menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika dia tiba di Madinah.Semua mahir sejarah setuju Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi'ul Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi'ul Awwal? Mungkinkah orang shalat pada hari Senin?
Keempat, Nabi shallallahu alaihi wasallam diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk melaksanakan puasa Asyura.Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk tidak meniru tradisi Yahudi dan Nashara? "Bedakan dirimu dari orang Yahudi ," kata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.. Begitu seringnya Nabi shallallahu alaihi wasallam Mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda dengan Yahudi, hingga orang Yahudi berkata: "Lelaki ini (maksudnya Muhammad) tidak ingin membiarkan satupun tradisi kita yang tidak ditentangnya.' (Lihat Sirah al-Halabiyah, 2:115).
Kelima, bila kita mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan menemukan tradisi puasa Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya dikenal sebahagian umat Islam, berdasarkan riwayat yang otentitas dan validitasinya kita ragukan itu.[21]
Tanggapan
                Sebagaimana jalaludin Rahmat mengkritisi hadits di atas dengan lima poin, maka sanggahan penulis juga tertuju pada lima poin tersebut.
Pertama, tuduhan jalaludin Rahmat bahwa Ibnu Abbas dalam riwayat di atas yakni mudallis- alasannya yakni tidak menyebutkan nama sobat dimana dia (Ibnu Abbas)  mengmabil hadits dari sobat tersebut- berangkat dari kebodohannya bahwa jenis riwayat mirip ini disebut hadits mursal, tepatnya mursal as-shahabi. Jumhur ulama setuju bahwa mursal al-Shahabiyi yakni hujjah (bisa dijadikan sandaran hukum), setidaknya alasannya yakni dua hal. Yang pertama dan utama, mustahil sobat berdusta atas nama Rasulullah SAW. Kedua, mustahil seluruh sobat selalu hadir dalam majelis Rasulullah, niscaya diantara mereka ada yang tidak hadir alasannya yakni satu dan lain hal.Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW.Sendiri sering menyuruh sahabatnya yang hadir (mendengar hadits beliau) supaya menyampaikannya kepada yang tidak hadir.
Kedua, Jalaludin Rahmat mengklaim bahwa riwayat perihal puasa asyura ini mutaharribah (berbenturan satu dengan yang lainnya). Maka marilah kita uraikan satu persatu:
Adapun riwayat Ibnu Abbas- di shahih Muslim- bahwa Nabi bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian (keburu dia meninggal) yakni benar (Shahih)[22]. Sedangkan argument Jalaludin Rahmat bahwa ada riwayat Ibnu Abbas yang lain-di shahih Muslim juga- bahwaNabi pernah puasa Asyura satu tahun sebelum dia wafat, maka penulis katakan: mungkin riwayat yang Jalaludin Rahmat maksud yakni sebagai berikut: " dari AL-Hakam bin al-A'raj berkata: "Saya mendatangi Ibnu Abbas yang kala itu sedang rebahan dengan jubahnya di dekat sumur Zamzam. Saya bertanya kepadanya: beritahu kepada saya perihal puasa Asyura? Dia (Ibnu Abbas) menjawa: ketika saya melihat hilal bulan Muharram, maka saya mulai menghitung, dan pada hari kesembilan, saya berpuasa. Saya (Al-Hakam) bertanya: "Apakah demikian Rasulullah mengerjakannya? Ia (Ibnu Abbas) menjawab: "Iya".[23]
Riawayat yang kedua memberi kesan bahwa Rasulullah pernah puasa Asyura yang didahului puasa pada tanggal 9 muharram. Sedangkan riwayat yang pertama bahwa Rasulullah belum sempat puasa Asyura (termasuk sehari sebelumnya) Karen keburu meninggal.Bagaimana mengkompromikan kedua riwayat ini?
Jawabannya yakni perkataan Ibnu Abbas :" (Demikianlah Rasulullah mengerjakannya (puasa Asyura yang didahului puasa Sembilan Muharram)" tidak harus dipahami bahwa Rasulullah benar-benar sudah melakukannya, melainkan lebih merupakan azzam atau niat dia akan melakukannya dan memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya. Pendapat ini diperkuat oleh al-Adzim Abadi yang mengkompromikan dua riwayat di atas dengna mengatakan:"perkataan Ibnu Abbas "Demikianlah Rasulullah mengerjakannya", maksudnya yakni –Wallahu 'alam- kalau saya (Rasulullah) hidup hingga tahun depan maka saya akan puasa tangggal sembilan". Jadi, hal ini merupakan azzam (keinginan) sekaligus pemberitahuan dia untuk puasa pada tanggal Sembilan muharram. Sehingga dengan demikian, tidak ada benturan antar riwayat Ibnu Abbas"[24].
Adapun riwayat yang disodorkan Jalaludin Rahmat, yaitu riwayat Muawiyah yang menyampaikan bahwa puasa Asyura gres dianjurkan Nabi pada waktu hari wada', sama sekali tidak sanggup dibenarkan, Karen atidak sedikitpun redaksi menyampaikan demikian. Muawiyah hanya menyerukan penduduk Madinah, pada ketika haji wada' supaya puasa Asyura. Berikut riwayat Muawiyah tersebut;
((عن مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ عَلَى المِنْبَرِ يَقُولُ: يَا أَهْلَ المَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ)) [رواه البخاري]
عن مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ عَلَى المِنْبَرِ يَقُولُ: يَا أَهْلَ المَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ»(رواه البخاري)
"Dari Muawiyah bin Abi Sufyan berkata pada hari Asyura pada tahun haji (saat itu) di atas mimbar: "wahai penduduk Madinah, dimana ulama kalian? Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: ini hari Asyura, Allah tidak mewajibkan kepada kalian semua puasa, tapi saya puasa kini .siapa yang mau, boleh berpuasa. Siapa yang tidak mau, boleh berbuka"[25].
Jadi, Muawiyah hanya mengingatkan kembali pada animo haji apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah perihal puasa Arafah. Perlu diketahui bahwa Rasulullah sudah berpuasa Asyura semenjak zaman Jahiliyah-sebagaimana riwayat Aisyah, tapi setelah turun perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura tidak menjadi wajib lagi.
Ketiga, adapun tuduhan Jalaludin Rahmat bahwa hadits perihal puasa Asyura trsebut berbenturan dengan fakta sejarah (karena redaksi hadits member kesan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, dia mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa Asyura, sedangkan sejarah mencatat bahwa dia tiba di Madinah pada bulan Rabi'ul Awal), maka sanggup dijelaskan sebagai berikut: redaksi hadits yang menuturkan: "ketika Rasulullah tiba di Madinah, dia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura….." bukan berarti bahwa Rasulullah melihat orang Yahudi berpuasa Asyura di hari-hari atau bulan-bulan bahkan tahun-tahun pertama setelah dia di Madinah. Tetapi dia tiba di Madinah pada bulan Rabiul Awal, dan menetap sekian usang di Madinah, kemudian mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura. Bahkan riwayat yang lain menegaskan, dia mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura di tahun terakhir beiau di Madinah. Buktinya adalah, dia menyuruh sahabatnya untuk puasa Asyura dan ditambah satu hari sebelum atau sesudahnya, biar tidak sama dengan Yahudi (yang hanya puasa tanggal sepuluhnya saja).
Dalam tata cara perpuasa As-Syuro para ulama Ahlussunnah berbeda pendapat. Apakah puasa dua hari yaitu pada tanggal 9 dan 10, puasa pada tanggal 10 dan 11, atau berpuasa satu hari saja yaitu pada 10 Muharrom atau juga puasa tiga hari sekalian,  pada 9,10 dan 11 Muharrom. Dalam hal ini bukan berarti ulama mengingkari puasa tersebut, akan tetapi berbeda dalam waktu  yang boleh berpuasa di dalamnya.
Pertama, Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”
Dan pada riwayat ath-Thahawi berdasarkan penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”
Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al 2/76):”Ini yakni derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.”
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang menentukan pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) yakni Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434
Namun secara umum dikuasai ulama yang menentukan cara mirip ini yakni dimaksudkan untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang menentukan cara mirip ini (selama tiga hari) pada ketika timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
Kedua, Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Mayoritas Hadits memberikan cara ini:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum tiba tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[26]
Dalam riwayat lain :
“Jika saya masih hidup pada tahun depan, sungguh saya akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[27]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan dia untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa dia tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”
“Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.
Ketiga, berpuasa dua hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu’ ini tidak shahih alasannya yakni ada 3 illat (cacat):
a.  Ibnu Abi Laila, lemah alasannya yakni hafalannya buruk.
b.  Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
c.  Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin alasannya yakni keraguan dari perawi atau memang memberikan kebolehan….”
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini yakni final masalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyerupai mahir kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, dia suka menyelisihi mahir kitab sebagaimana dalam hadits shahih.Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali dia menyerupai mahir kitab dan berkata :”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian dia menyukai menyelisihi mahir kitab, maka dia menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi mahir kitab.”
Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″
Keempat, berpuasa pada 10 Muharram saja.
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”
Dengan demikian, kita sudah menyanggah keberatan Jalaludin yang keempat, bahka puasa Asyura sama dengan orang Yahudi, padahal Nabi dalam banyak kesempatan melarang sahabatnya untuk menyerupai kaum Yahudi.
Kelima, Jalaludin Rahmat menganggap bahwa tradisi puasa Asyura tidak ditemukan dalam agama Yahudi. Menaggapi pernyataannya kali ini, penulis tidak habis fikir, sebelumnya ia bilang bahwa, puasa Asyura yakni tradisi Yahudi dan sebagai muslim, Nabi melarang umatnya menyerupai Yahudi. Kali ini dia bilang bahwa tidak ada tradisi puasa Asyura dalam anutan Yahudi.
Penulis katakan pada Jalaludin Rahmat, kalau dia tidak mendapati orang Yahudi puasa Asyura sekarang, bukan berarti tradisi itu tidak pernah ada (dulunya). Sama halnya dengan tradisi khitan.Dulu tradisi itu ada, baik di kalangan Yahudi maupun Nasrani. Tapi, apakah tradisi khitan itu masih dijumpai dalam anutan mereka (Yahudi dan Nasrani) sekarang?
2)       Kritik Riwayat Kekafiran Abu Thalib
Masih dalam buku yang sama (Islam aktual) Jalaludin Rahmat melayangkan kritikannya terhadap riwayat yang menuturkan kekafiran Abu Thalib. Menurutnya, riwayat tersebut sarat dengan rekayasa politik. Berkut penuturannya:
                "Riwayat lain yang sangat popular di kalangan kaum muslim dan sepertinya juga hasil rekayasa politik yakni kisah kekafiran Abu Thalib. Abu Thalib yakni paman dan ayah asuh Rasulullah.Dia membela Nabi dengan jiwa raganya……musuh Abu Thalib dan musuh besar Rasulullah waktu itu yakni Abu Sufyan. Sekarang apa yang kita ketahui perihal kedua tokoh ini? Menakjubkan. Kita menyebut Abu Thalib kafir dan Abu Sufyan muslim……."
Untuk menandakan bahwa Abu Thalib itu kafir, ditunjukkan dalam Bukhari dan Muslim: menjelang wafatnya Nabi menyuruh Abu Thalib mengucapkan "Laa ilaha illlah". Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah memeperingatkan Abu Thalib untuk tetap berpegang pada agama Abdul Muthalib. Sampai menghembuskan nafasnya yang terakir, dia tidak mau mengucapkan kalimat tauhid itu…. Nabi ingin memohonkan ampunan bagi Abu Thalib, tetapi turunlah ayat at-Taubah 113….
"Dengan memakai ilmu hadits dan menyelidiki rijal (orang-orang yang meriwayatkan hadits ini), kita akan menemukan hadits ini tidak otentik. Tidak mungkin memerinci komentar para mahir jarh (kritik rijal) disini.Sebagai referensi saja, salah seorang perawi hadits ini yang berasal dari kalangan sobat yakni Abu Hurairah.Disepakati oleh para mahir Tharikh bahwa Abu Hurairah masuk Islam pada perang Khaibar, pada tahun ketujuh Hijriah.Abu Tahlib meninggal satu atau dua tahun sebelum hijrah. Di sini juga ada tadlis.[28]
Tanggapan
Ketika menolak riwayat perihal kekafiran Abu Thalib, Jallaudin Rahmat dengan enaknya menyampaikan bahwa riwayat di atas tidak otentik, tanpa memberikan kepada pembaca siapa perawi yang menggandakan atau menciptakan riwayat tersebut.
Selanjutnya Jalaludin Rahmat menuduh sobat yang meriwayatkan hadits di atas, yaitu Abu Hurairah sebagai seorang mudallis. Alasannya, Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ketujuh Hijri, sedangkan Abu Thalib meninggal satu atau dua tahun sebelum hijrah. Artinya, berdasarkan Jalaludin Rahmat, Abu Hurairah tidak tahu secara pribadi detik-detik terakhir meninggalnya Abu Thalib, tapi redaksi periwayatannya menunjukkkan seolah-olah dia tahu langsung. Kemungkinan besar dia mendapat riwayat tersebut dari sobat yang lain, tapi tidak mencantumkan nama sobat tersebut.
Jawabannya cukup gampang dan sederhana:
a.        Ada kemungkinan juga bahwa Abu Hurairah mendapatkan riwayat tersebut dari Rasululllah bukan dari sobat yang lain.
b.       Kalaupun  Abu Hurairah mendapatkan riwayat tersebut dari sobat yang lain, hal tersebut tidak duduk masalah kalau Abu Hurairah tidak mencantumkan nama sobat tersebut. Itu yang disebut dengan mursal al-shahabi, dan ulama setuju dengan kehujjahan mursal al-sahabi sebagaimana yang penulis singgung di depan.

3)       Kritik terhadap Hadits Dhahdhah
Dalam bukunya, Al-Musthafa, Jalaludin juga mengingkari hadits yang menjelaskan bahwa Abu Thalib kelak di darul abadi masuk neraka, meski mendapat dispensasi siksaan yaitu diangkat dari luapan api neraka dan ditempatkan di kedangkalan (dhahdhah) neraka. Berikut redaksi hadits tersebut:
((حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ: سَمِعْتُ الْعَبَّاسَ يَقُولُ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا طَالِبٍ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَنْصُرُكَ فَهَلْ نَفَعَهُ ذَلِكَ قَالَ: «نَعَمْ وَجَدْتُهُ فِي غَمَرَاتٍ مِنَ النَّارِ فَأَخْرَجْتُهُ إِلَى ضَحْضَاحٍ)) [ رواه مسلمٍ ]
Mewartakan kepada saya (Imam Muslim) Ibnu Umar: mewartakan kepada saya Sufyan, dari Abdul Malik bin Umar dari  Abdullah bin al-Harits , dia berkata: " Saya mendengar al-Abbas berkata:" Ya Rasulullah !  Abu Thalib dulu merawatmu dan menolongmu. Lalu apakah itu ada keuntungannya baginya? Rasulullah SAW. Bersabda: "Ya, saya menemukannya berada di luapan neraka, kemudian saya mengeluarkannya kedangkalan." (HR. Muslim).
Terhadap hadits di atas, Jalaludin Rahmat menorehkan kritikanya sebagai berikut:
"Jika kita perhatikan orang-orang yang meriwayatkan hadits (rijal), hampir semuanya termasuk pendusta atau mudallis atau tidak dikenal.Muslm mendapatkan hadits ini dari Ibnu Abi Umar yang dinilai para mahir hadits sebagai majhul.Ibnu abi Umar menerimanya dari Sufyan al-Tsauri. Sufyan disebutkan oleh  al-Dzahabi dalam Mizan al-I'tidal sebagai 'innahu yudallis wayaktubu min al-kadzabin', ia melaksanakan tadlis dan meriwayatkan hadits dari para pendusta. Sufyan al-Tsauri menerimanya dari Abdul Malik Bin Umair , yang panjang usianya dan buruk hafalannya. Kata Abu Hatim:"tidak sanggup dipercaya hafalanya. Sudah berubah hafalannya.
Tanggapan
Untuk memudahkan pembaca, ada baiknya penulis cantumkan rangkaian sanad hadits di atas sebagaimana berikut:
Imam muslim-Ibnu abi Umar-Sufyan-Abdul Malik bin Umair-Abdullah bin al-Harits - al-Abbas.
Jalaluddin Rahamat menuduh Ibnu Abi Umair sebagai perawi majhul (tidak diketauhi keadaaanya), tanpa memberikan referensi.Jelas, hal ini tidak sanggup dibenarkan dalam kajian ilmiah.Mungkin yang dimaksud oleh Jalaludin Rahmat dengan Ibnu Abi Umar yakni Umar Ibni Abi Umar al-Kala'iy.Kalau perawi iniyang dimaksud, memang dia termasuk perawi yang majhul.[29] Tapi Ibnu Umar al-Kala'iy bukan termasuk guru Imam Muslim.
Lalu siapa Ibnu Abi Umar yang ada dalam rangkaian sanad di atas? Dia yakni Muhammad bin Yahya bin Abi Umar al-Adniy. Diantara murid-muridnya yakni Imam muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah.
Tentang Ibnu Abi Umar, Ibnu Abi Hatim menuturkan bahwa Ahmad bin Hambal (menulis) hadits darinya. Ibnu Abi Hatim juga diberitahu ayahnya bahwa Ibnu Abi Umar yakni seorang yang shaleh.[30]
Perawi selanjutnya yakni Sufyan bin Sa'id al-Tsauri. Dia yakni amirul Mukminin dalam hadits sebagaimana dituturkan Sya'bah Ibnu Uyainah, Abu 'Ashin Ibnu Ma'in dan ulama yang lainnya.[31] Al-Dzahabi-dalam mizan al-I'tidal- menyebutnya:
الحج الثبت متفق عليه مع أنه كان يدلس عن الضعفاء  و لكن له نقد و ذوق  ولا عبرة لقول من قال : يدلس و يكتب عن الكذابين .[32]
Disini Nampak ketidakjujuran Jalaludin Rahmat yang memenggal pernyataan al-Dzahabi 'seenak perutnya' dengan menyampaikan : "Innahu yudallis wa yaktubu min al-Kadzabin".

4)       KritikPengangkatan Abu Bakar sebagai Imam Shalat
Dalam buku yang lain, mirip al-Musthafa, Jalaluddin menyangsikan riwayat yang menuturkan bahwa Rasulullah menyuruh Abu Bakar Ra. Menjadi imam shalat pada hari-hari terakhir Rasulullah. Menurutnya, periwayatan seputar ini sarat dengan kontradiksi. Berkut penuturannya:
1.       Kontradiksi sikap Rasulullah dalam shalatnya. Di dalam hadits Bukhari no. 713, tersebut Rasulullah  Jalasa'an YasariAbi Bakrin(Rasulullah duduk disebelah kiri Abu Bakar). Dalam hadits no.683, fa jalasa Rasulullahi Hidza'a Abi Bakrin(Rasulullah duduk dihadapan Abu Bakar). Dalam hadits no. 664, Rasulullah duduk disebelah kanan Abu Bakar. Masih dalam Shahih Bukhari dan hanya di antarai oleh beberapa halaman saja. Ini kontradiksi, satu Hidza'a (di hadapan), satu 'an Yasari (di sebelah kiri), dan yang sat lagi 'an Yamini (sebelah kanan)….
2.       Kontradiksi antara Abu Bakar (yang makmum dan berdiri) dengan Rasulullah (yang imam dan duduk). (lihat: HR. Bukhari 722).
3.       Kontradiksi dalam menafsirkan insiden itu. Apakah imamnya satu yaitu Abu Bakar, atau dua yaitu Nabi.?...
Tanggapan
Marilah kita uraikan satu persatu hadits-hadits yang diklaim Jalaluddin Rakhmat dalam hal ini saling kontradiksi:
1.       Hadits no. 713 yang berbunyi " Jalasa 'an Yasari Abi Bakrin" Rasulullah duduk di sisi kiri Abu Bakar, itu sudah sesuai dengan yang ada di dalam kitab Shahih Bukhari.

Berikut riwayat aslinya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: لَمَّا ثَقُلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ بِلاَلٌ يُوذِنُهُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ: «مُرُوا أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ»  فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ وَإِنَّهُ مَتَى مَا يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يُسْمِعُ النَّاسَ فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ فَقَالَ: «مُرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ» فَقُلْتُ لِحَفْصَةَ: قُولِي لَهُ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ وَإِنَّهُ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يُسْمِعُ النَّاسَ فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ قَالَ: «إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ» فَلَمَّا دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ وَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفْسِهِ خِفَّةً فَقَامَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ وَرِجْلاَهُ يَخُطَّانِ فِي الأَرْضِ حَتَّى دَخَلَ المَسْجِدَ فَلَمَّا سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ حِسَّهُ ذَهَبَ أَبُو بَكْرٍ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ، فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي قَائِمًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَاعِدًا يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ مُقْتَدُونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Hadits no. 683 yang berbunyi " Fa jalasa Rasulullah hidza'a Abi Bakrin" Rasulullah duduk di depan Abu Bakar, itu juga sudah benar, namun sengaja tidak disempurnakan oleh Jalaluddin Rakhmat sehingga terjemahannya menjadi "di hadapan". Kata yang seharusnya ada namun dibuangOleh JL yakni "إلى جنبه")di samping), padahal kalau kita nukil secara utuh terjemahannya akan menjadi "Rasulullah duduk di samping Abu Bakar".
Berikut riwayat aslinya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: «أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فِي مَرَضِهِ»  فَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ قَالَ عُرْوَةُ: فَوَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ يَؤُمُّ النَّاسَ فَلَمَّا رَآهُ أَبُو بَكْرٍ اسْتَأْخَرَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ: «أَنْ كَمَا أَنْتَ»  فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ، فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ "

Hadits no. 644 yang berbunyi "'an Yamini" di sebelah kanan, adalah lafadz hadits yang ditambah-tambah sendiri oleh JL, padahal yang tertulis daslam kitab Shahih Bukhari tidaklah mirip itu, yang tertulis yakni "hatta jalasa ila janbihi" Rasulullah duduk di sisi Abu Bakar.
Berikut riwayat aslinya:
لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ
[ص:134] فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ: «مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ» فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: «إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ»  فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنَ الوَجَعِ فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ قِيلَ لِلْأَعْمَشِ: وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَبُوبَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَتِهِ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ: بِرَأْسِهِ نَعَمْ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنِ الأَعْمَشِ بَعْضَهُ وَزَادَ أَبُو مُعَاوِيَةَ جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي قَائِمًا »

2.       Membaca argument Jalaluddin Rakhmat yang kedua dan ketiga, nampaknya dia bingung,siapa yang jadi imam? Rasulullah atau Abu Bakar..?
Sebenarnya kebingungan tersebut sanggup dijawab dengan memperhatikan redaksi hadits-hadits yang di atas. Ringkasnya:
Ketika Rasulullah sakit di hari-hari terakhirnya, dia memerintahkan Aisyah supaya meminta Abu Bakar menjadi imam (mengganti Rasulullah), tapi Aisyah agak kurang oke karena Abu Bakar yakni orang yang gampang menangis (bila membaca al-Quran). Dikhawatirkan para makmum tidak mendengar suaranya. Makanya – dalam riwayat lain – Aisyah mengusulkan  sebaiknya yang menjadi imam Umar bin Khattab. Tapi Rasulullah tetap supaya Abu Bakar saja yang menjadi imam.Maka majulah Abu Bakar sebagai imam.Ketika Rasulullah agak merasa enak, dia bergabung dengan jama'ah (untuk shalat). Merasakan kehadiran Rasulullah Abu Bakar menggeser posisinya sebagai imam, kemudian Rasulullah meneruskan jama'ah dengan menjadi imam (setelah member isyarat kepada Abu Bakar) sambil duduk, sedangkan Abu Bakar tetapi bangun (sebagai makmum). Orang-orang mengikuti gerakan Abu Bakar (berjama'ah dengan berdiri), sementara Rasulullah menjadi imam sambil duduk.
Riwayat perihal diperintahnya Abu Bakar menjadi imam pada hari-hari terakhir Rasulullah dianggap oleh kaum Sunni – bahkan juga kaum Syiah- sebagai legitimasi  keabsahan kekhalifahan Abu Bakar. Karena dalam urusan agama saja (shalat jama'ah), Rasulullah sudah mempercayai Abu Bakar, apalagi dalam urusan dunia (baca: politik pemerintahan). Makanya, kaum Syiah berusaha untuk menanamkan benih-benih keraguan dalam riwayat ini sehingga riwayat tersebut tidak lagi dipegang oleh umat Islam hingga akibatnya agama ini kurang sempurna. Allahu Musta’an…
Para ulama sudah menegaskan bahwa perkataan yang sanggup menjatuhkan sifat jujur atau sifat taqwa dan wara’ para sobat merupakan perbuatan yang zalim dan fasik bahkan hingga ada yang mengeluarkannya dari Islam alias kafir.Yang demikian, kalau hinaan terhadap sobat itu berkaitan dengan agama mereka.Misalnya menganggap mereka atau sebagian dari mereka telah kafir, murtad atau fasiq. Perbuatan ini, tidak diragukan lagi sanggup menciptakan pelakunya kafir. Adapun kalau celaan tersebut berkenaan dengan sifat-sifat (akhlak) pribadi para sobat Nabi, maka kelancangan ini sanggup berbuah dosa besar yang pelakunya wajib diberi hukuman. 
Seperti yang diutarakan Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah sebagaimana tersebut dalam kitab Hukmu Sabbi as-Shahabah hal.25 menafsirkan maksud dari memaki para sahabat, yakni perkataan yang sanggup menjatuhkan sifat ‘adalah (taqwa dan wara’) para sahabat, bahwa mereka telah berbuat zalim dan fasiq sepeninggalan Nabi shallallahu alaihi wasallam, serta mengambil urusan bukan di atas kebenaran.Atau, membicarakan sesuatu (berkenaan dengan para sahabat) untuk tujuan merendahkan atau menghina.Dan segala yang sanggup dipahami oleh logika insan (menjurus ke arah demikian), berdasarkan perbedaan keyakinan mereka. Seperti melaknat, menyematkan (pada mereka) gelar-gelar buruk dan lain sebagainya.[33]
Adapun perkataan ulama perihal aturan orang yang menghina sahabat, yakni sebagai berikut:

1.       Imam Malik rahimahullah berkata: “Mereka yang membenci para sobat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni orang-orang kafir”.(Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Ibnu Katsir V/367-368.)
2.       Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: Wajib atas pemerintah memberi eksekusi dan siksaan serta dilarang memberi maaf baginya (penghina sahabat). Bahkan harus menegakkan aturan dan memaksanya untuk bertaubat.(As-Sunnah, Ahmad bin Hambal, hal: 78, Tahqiq: Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islami, Beirut, th. 1400 H / 1980 M. )
3.       al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Menghina salah satu dari mereka (sahabat) merupakan dosa besar. Menurut kami dan jumhur ulama, bahwa orang yang melaksanakan demikian pantas mendapat ta’ziir (hukuman setimpal berdasarkan akal hakim). (Al-Syifa Bi Ta’riifi Huquq al-Mushtafa, II/653, tahqiq: Muhammad Amin Qurrah Ali, Muassassah Ulum al-Qur’an, Damaskus.)
4.       al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah berkata: Yang merupakan pendapat para fuqaha (ahli Fiqhi Islam) perihal aturan menghina sahabat: Jika ia menghalalkan perbuatan tersebut maka ia kafir, namun kalau tidak menghalalkan maka ia fasiq.(Hukmu Sabbi as-Shahabah, Ibnu Taimiyah, hal: 33.)
5.       Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: Ketahuilah, bahwa menghina sobat hukumnya haram dan termasuk perbuatan haram yang keji, aturan ini sama saja apakah terhadap (sahabat) yang terkena fitnah atau selain mereka.(Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, XVI/93, Daar al-Fikr, Beirut, th. 1401 H / 1981 M.)
6.       Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Kabair hal. 352-353: “Barangsiapa yang mencaci dan menghina mereka (para shahabat), maka sungguh ia telah keluar dari agama Islam dan merusak kaum muslimin.
Dalil-dalil yang mengharamkan menghina para sahabat

Hadits Pertama:
((عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري قال: َقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
 لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ )) [ رواه مسلمٍ ]

Dari Abu Sa’id ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jangan kalian mencela seorang-pun dari sahabatku. Sungguh kalau salah seorang diantara kalian berinfaq sebesar gunung uhud emas, maka itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka dan tidak pula setengahnya”.[34]
Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata: “Jangan kalian memaki sahabat-sahabat  Muhammad shallallahu alaihi wasallam, sungguh keberadaan mereka sesaat (di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam) lebih baik dari pada amal ibadah kalian selama empat puluh tahun”.[35]




Hadits Kedua:
عن عويم بن ساعدة رضي الله عنه :
(( أَنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اخْتَارَنِي وَاخْتَارَ لِي أَصْحَابًا  فَجَعَلَ لِي مِنْهُمْ وُزَرَاءَ وَأَنْصَارًا  فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ  لا يَقْبَلُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلا عَدْلا )) [ رواه مسلمٍ ]

Dari Uwaim bin Sa’idah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menentukan diriku, kemudian menentukan untukku para sobat dan mengakibatkan mereka sebagai pendamping dan penolong. Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak akan mendapatkan amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah”.[36]
Hadits Ketiga:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
(( اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ )) [رواه الترميذي]

Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berhati-hatilah perihal sahabatku, jangan kalian jadikan mereka materi olok-olokan sepeninggalanku. Siapa yang menyayangi mereka, maka dengan cintaku saya mencintainya.Dan siapa yang membenci mereka maka dengan kebencianku akupun membenci mereka. Siapa yang menyakiti mereka maka sungguh ia telah menyakiti aku. Siapa yang menyakiti saya maka ia telah menyakiti Allah. Dan siapa yang menyakiti Allah, maka niscaya Ia akan menyiksanya”.[37]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang memberikan akan haramnya mencela para sobat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Adapun alasan mengapa menghina para sobat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta menuduh mereka dengan kekufuran, kefasikan dan sebagainya sanggup menciptakan pelakunya keluar dari Islam, yakni sebagai berikut:
Pertama: Perkataan bahwa para penyampai al-Qur’an dan Sunnah (para sahabat) itu kafir atau fasiq mengandung konsekwensi keraguan terhadap keduanya. Sebab, celaan pada para penyampainya pada hakikatnya merupakan celaan pada apa yang mereka sampaikan, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Perkataan ini merupakan pengingkaran terhadap nash al-Qur’an dan as-Sunnah, berupa keterangan akan keridhaan Allah Ta’ala atas mereka. Padahal, pengetahuan yang bersumber dari nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam perihal keutamaan mereka itu sifatnya qath’i. Dan siapa yang mengingkari suatu masalah yang telah qath’i maka ia telah kafir.
Ketiga: Perbuatan ini menyakiti baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebab mereka yakni sahabat-sahabat yang mempunyai kawasan khusus dalam hati beliau. Menghina seseorang yang khusus baginya tidak diragukan lagi sanggup menyakiti beliau. Dan menyakiti dia shallallahu alaihi wasallam merupakan satu kekafiran sebagaimana ditegaskan para ulama.
Akan tetapi, semua ini tidak berarti bahwa Ahlussunnah mengkultuskan dan menganggap para sobat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni orang-orang suci yang ma’shum dari kesalahan tidak sebagaimana perkiraan kaum Syiah akan kema’shuman Ahlul Bait. Para sobat radhiyallahu anhum dalam pandangan Ahlussunnah yakni insan biasa yang sanggup saja berbuat kesalahan, baik di ketika bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ataupun sepeninggal beliau. Namun kesalahan-kesalahan tersebut kalau dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan mereka yang begitu banyak, serta usaha mereka melanjutkan risalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., yakni menyerupai butir-butir pasir pada padang sahara yang luas atau tetes-tetes air di samudra membentang.

Imam at-Thahawi berkata dalam matan kitab Aqidah-nya yang merupakan salah satu kitab induk Ahlussunnah:“Dan kami cinta kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. namun kami tidak berlebih-lebihan dalam cinta kepada seorangpun di antara mereka dan juga tidak berlepas diri dari seorangpun dari mereka. Kami benci kepada yang membenci mereka atau menyebut mereka dengan selain kebaikan, maka kami tidak menyebut-nyebut mereka kecuali dengan kebaikan.Cinta kepada mereka yakni penggalan dari agama, kepercayaan dan ihsan, sedangkan benci mereka yakni kekufuran, nifaq dan tindakan berlebih-lebihan”.

          C.         PENUTUP
Berbicara perihal sobat Nabi seakan menyelami lautan kemuliaan yang tak bertepi. Atas usaha dan jasa mereka, agama Islam ini hingga kepada generasi berikutnya hingga kini dan hingga final zaman nanti. Merekalah sebaik-baik generasi yang banyak dipuji dalam kalam Ilahi maupun sunnah Nabi. Oleh karenanya, ulama Sunni setuju bahwa semua sobat yakni 'Adil (ash shahabah kulluhum 'udul), dalam arti mereka tidak akan pernah dengan sengaja berdusta atas nama Nabi karena kekuatan kepercayaan dan takwa yang ada dalam diri mereka. Hal ini bukan berarti mereka ma'shum (terjaga) dari salah dan dosa, alasannya yakni yang terjaga dari itu semua hanya Nabi.
Kendati demikian, terdapat beberapa kelompok Islam yang berbeda pandangan dengan mainstream secara umum dikuasai ulama (Sunni) perihal sahabat.Di antara kelompok tersebut yakni Syiah. Dalam konteks keindonesiaaan, Jalaludin Rakhmat dianggap dianggap tokoh yang paling getol menyuarakan ajaran-ajaran Syiah, termasuk perihal cara pandang terhadap sahabat.
Setelah menelaah pandangan Jalaludin Rakhmat perihal sahabat, penulis mendapati beberapa kerancuan, baik dari kerangka berfikirnya maupun metodologi yang digunakannya.Jalaludin Rahkmat menyamakan konsep 'adalah sahabah dengan 'Ishmah as-sahabah. Artinya, sahabat-menurutnya- sanggup dikatakan 'adil, kalau mereka terjaga (ma'shum) dari berbuat salah dan dosa. Jika kerangka fikir semacam ini yang diterapkan, maka sanggup dipastikan tidak ada satu sobat pun yang sanggup dikatakan 'adil, Karena sobat yakni insan yang tidak pernah lepas dari salah dan dosa, terlepas dari besar  kecilnya, termasuk sobat yang diagungkannya, Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhahu.
Adapun ayat-ayat yang turun berkaitan dengan sahabat, baik berupa teguran maupun sangsi kepada mereka, harus difahami bahwa itu semua yakni penggalan dari pendidikan Rasulullah kepada mereka ntuk dijadikan pelajaran bagi mereka dan generasi sesudahnya. Dan faktanya, tidak ada satupun dari para sobat yang membangkang atau yang mengulangi kesalahannya setelah mendapatkan teguran, kode dan hikmah dari Rasulullah. Sebagai mana yang diabadikan dalam al-Quran. (An-Nisa:64-65)
Kembali ke Jalaluddin Rakhmat. Karena berangkat dari kerangka berfikir yang salah, maka metodologi yang ditempuhnya jauh dari kata ilmiah. Dalil-dalil- baik dari al-Quran maupun hadits- yang mendukung perkiraan awalnya, akan dicomot dan digunakannya, meskipun itu sepotong-potong atau lemah sekalipun. Sebaliknya kalau ada dalil-dalil yang nyata dan benar, tapi alasannya yakni berbenturan dengan perkiraan awalnya, maka dalil-dalil itu akan dipelintir, didistorsi atau diabaikan sama sekali. Terhadap orang semacam ini, al-Quran menyindir:"sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta yakni hati yang ada di dalam dada"



DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Al-Hadits As-Shohihain
Abadi, Muhammad Syamsul Haq al-Adzim, 'Aun al-Ma'bud Syarh sunan Abi Dawud, (Madinah: al-Maktabah al-Salafiyah, 1388 H), jld. 7, hal. 112.
Abdil Barr, Yusuf ibnu Abdillah ibnu, al-Isti'ab fi Ma'rifatil Ashab (Amman: Dar al-I'lam, 2002).
Ahmad, Musnad Imam Ahmad, (Beirut: Muassasah al-isalah, 1999).
Al-Amiliy, Al-Sayyid Ja'far Murtadla al-Shahih min Sirah al-Nabiy al-Adham (Tehran: al-Markaz al-Islamiy li al-Dirasat, cet.5, 2005).
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (Kairo: Musthafa al-Babiy al-Kalabiy, t.t).
Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Syiar Aa'lam al-Nubala' (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1983), jld. 17, hal. 589.
Al-Dzahabi, Syansuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman, Mizan al-I'tidal, (Beirut: Darul al-Ma'rifah, t.t).
Al-Mizzi, Yusuf bin al-Zakiy, Tahdzib al-Kamal, (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1400 H).
Ats-Tsani, Asy-Syahid, ar-Ri’ayah fii ‘ilmi ad-Dirayah, , (Iran: Matba’ah Bihmin, 1408).
Ibnu al-Atsir, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Izzuddin, Usd al-Ghabah fi Ma'rifati as-Shahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t).
Ibnu Majah, Muhammad Ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), jld. 2, hal. 1419.
Jabali, Fuad, Sahabat Nabi: Siapa, ke mana, dan Bagaimana?, (Bandung: Mizan,2010).
Rakhmat, Jalaluddin, al-Musthafa, (Muthahhari Press, 2002)
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual, (Bandung: Mizan, 1991)
Syakir, Syaikh Ahmad Muhammad, Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar 'Uluumil-Hadits Lil-Hafizh Ibnu Katsir( Darut turats: Th. 1399H/1979M).

Taimiyah,Ibnu,As-Sharim al-Maslul,  (Daar Ibni Hazm, Beirut, th. 1417 H)
Tirmidzi,Imam, Al-Manaqib, (Kairo: Maktabah Musthafa al-Baby al-kalaby, 1975). www.islamlib.com



[1] Yang dimaksud sobat ialah :" Orang yang pernah melihat atau berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam, meskipun pernah murtad" lihat : Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar 'Uluumil-Hadits Lil-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal. 151 cet. Darut turats Th. 1399H/1979M ; Asy-Syahid ats-Tsani, ar-Ri’ayah fii ‘ilmi ad-Dirayah, tahqiq Abdul Husai Muhammad ‘Ali Baqal, (Iran: Matba’ah Bihmin, 1408), hal. 339, nama lengkapnya Zainuddin Ibnu ‘Ali ibnu Ahmad al-Jab’i al-‘Amili, hidup pada tahun 911-965 H., Walaupun ada dari kalangan ulama  menolak untuk memasukkan orang yang pernah murtad kemudian kembali ke Islam dalam katagori sahabat, mirip Al-Hafidz al-Iraqi, sebagaimana perkataan Abu Hanifah dan Imam Syafi'I bahwa kemurtadan telah menggugurkan seluruh amal. Lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, Tadribur Rawi, jld.3 hal. 208-209., Demikian juga orang munafik tidak termasuk sobat Nabi SAW, meskipun mereka bergaul dengan Rasulullah SAW.Karena Allah dan Rasul-Nya mencela orang-orang munafik. Lihat: firman Allah (At-Taubah:73), (At-Tahriim:9), (At-Taubah:84), (At-Taubah:80), (Al-Munafiquun:6), (Muhammad:19), (Asy-Syu'araa' :215), dan (Al-Fath:29).; Ibnu Hajar,  Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah jld.I hal. 7-8 cet. Daarul-fikr 1398H.
[2]Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
((لا يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا)) [ رواه مسلمٍ ]
 Tidak akan masuk neraka dengan izin Allah seorang-pun yang ikut berbai’at di bawah (pohon)”.HR. Muslim, no. 2496.

[3]Allah berfirman:
﴿ قَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا [الفتح : 18]

 “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka kemudian menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi jawaban kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”. (Qs: al-Fath : 18).

[4] Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Kang Jalal, begitu panggilan populernya dikenal sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur almarhum (Prof.Dr. Nurcholis Madjid). Pada tahun 2013, dia tercatat sebagai mahasiswa jadwal doctoral UIN Alauddin Makassar yang sedang menulis disertasi seputar "Pergeseran dari Sunnah Nabi kepada Sunnah Sahabat Nabi". Ia aktifis membidani dan menjadi ketua Dewan Syura Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang kini sudah hampir 100 pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shihab.
[5] Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, kemana, dan Bagaimana? (Bandung: Mizan,2010), cover belakang.
[6] www.islamlib.com
[7] Muruj al-Dzahab, 4; 41, insiden tahun 202 H. Ibnu Abi al-Hadid, setelah mengutip kisah ini berkata, "Banyak diantara sobat kami mengecam agama Mu'awiyah. Mereka tidak hanya menganggapnya fasik, bahkan ada yang menyampaikan dia kafir alasannya yakni tidak meyakini kenabian.Mereka banyak mengutip ucapan-ucapan yang meunjukkan ke arah situ."Lihat juga al-Nihayah, 4: 44 dan Syarh Nahjul Balaghah, 5:129.
[8] Syarh Nahjul Balaghah, 10:101.
[9] Jalaluddin Rakhmat, al-Musthafa, hal. 15-16.
[10] Al-Sayyid Ja'far Murtadla al-Amiliy, al-Shahih min Sirah al-Nabiy al-Adham (Tehran: al-Markaz al-Islamiy li al-Dirasat, cet.5, 2005) jld. 31, hal. 31-32.
[11] Hadits riwayat Tirmidzi di Sunannya, kitab al-Manaqib, penggalan Manaqib Mu'awiyah bin Abi Sufyan, (Kairo: Maktabah Musthafa al-Baby al-kalaby, 1975), jld. 5, hal. 678. Dishahihkan oleh Al-Bani.
[12]Hadits riwayat imam Ahmad dalam Musnadnya, (Beirut: Muassasah al-isalah, 1999). Jld. 27, hal. 383.
[13] Kedua kitab tersebut sanggup dibaca di jadwal Maktabah Syamilah.
[14]Demikian Khomeini menyatakan berkenaan Kitab Nahjul Balaghah :
نهج البلاغة : هو مجموعة منتخبة من كلام أمير المؤمنين علي رضي الله عنه جمعها محمد بن الحسين الشريف الرضى المتوفى عام 406 هـ وقد اعتبر علماؤ الإسلام الكبار هذا الكتاب أنه أخ للقرآن وأنه ليس من كلام أفضل منه سوى كلام الله وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم …
Artinya : Nahjul Balaghah : Ia itulah himpunan terpilih daripada perkataan Amirul Mukminin Ali a.s yang dihimpun oleh Muhammad bin al-Husain al-Syarif al-Reda wafat pada tahun 406 H dan Ulama-ulama besar Islam (yakni Syiah) telah menanggap ianya sebagai Saudara al-Qur’an dan tiada perkataan yang lebih afdal daripadanya selain Kalam Allah dan Rasul-Nya s.a.w.” [al-Nidaa al-Akhir , Muassasah Imam al-Khomeini, Tehran-Iran].

[15]Menurut Syiah al-Qur’an mempunyai tandingan bahkan saudara iaitu Nahjul Balaghah sedangkan Nahjul Balaghah hanyalah kata-kata Saidina Ali r.a yang tidak sahih daripadanya kerana penulis kitab ini tidak meriwayatkan secara bersanad sedangkan dia tidak hidup di zaman Saidina Ali r.a. [Lihat : Taammulat fi Nahjil Balaghah oleh Soleh al-Darwish].
[16] Berikut teks aslinya:
"هو جامع كتاب" نهج البلاغة "  المنسوبة ألفاظه إلى الإمام علي رضي الله عنه  ولا أساند لذلك  و بعضها باطل و فيه حق  و لكن فيه موضوعات حاث الإمام من النطق بها, ولكن أين المصنف! و قيل : بل جمع أخيه الشريف الرضي"
Lihat: Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Syiar Aa'lam al-Nubala' (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1983), jld. 17, hal. 589.
[17] Syarh Nahjul Balaghah, 11: 44-46.
[18] Jalaluddin Rakhmat, al-Musthafa, hal.13-14.
[19] Yusuf ibnu Abdillah ibnu Abdil Br, al-Isti'ab fi Ma'rifatil Ashab (Amman: Dar al-I'lam, 2002) jld. 1,hal. 366-368 ; Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Izzuddin Ibnu al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma'rifati as-Shahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t), jld. 1. Hal. 856-858; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (Kairo: Musthafa al-Babiy al-Kalabiy, t.t), jld. 4, hal. 650-653.
[20] Muhammad Ibnu Yazid Ibnu Majah, Sunan, kitab al-Zuhd, Bab Dzikr al-Taubah, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), jld. 2, hal. 1419.
[21]Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hal.166-167.
[22] Riwayatnya sebagai berikut:
عن عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا  يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ  قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ » قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
[23] Riwayatnya sebagai berikut:
عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ قَالَ: انْتَهَيْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِي زَمْزَمَ فَقُلْتُ لَهُ : أَخْبِرْنِي عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ: «إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ وَأَصْبِحْ يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا»  قُلْتُ: هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ قَالَ: «نَعَمْ»
[24] Muhammad Syamsul Haq al-Adzim Abadi, 'Aun al-Ma'bud Syarh sunan Abi Dawud, (Madinah: al-Maktabah al-Salafiyah, 1388 H), jld. 7, hal. 112.
[25] Hadits riwayat Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Shaum, penggalan Shiyam Yaum 'Asyura', jld. 3, hal. 44.
[26]Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[27]Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[28]Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hal. 168-169.
[29] Ibnu Hajar al-Asqalani, ahdzib al-Tahdzib (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, t.t), jld. 7, hal. 428.
[30] Yusuf bin al-Zakiy al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, tahqiq: Basyar 'Awas Ma'ruf (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1400 H), jld. 26, hal. 641.
[31]Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld.4, hal. 99.
[32]Syansuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi, Mizan al-I'tidal, tahqiq: Ali Muahammad al-Bajawi (Beirut: Darul al-Ma'rifah, t.t), jld. 2, hal. 169.
[33]As-Sharim al-Maslul,Ibnu Taimiyah,  hal: 561, Daar Ibni Hazm, Beirut, th. 1417 H )
[34]HR. al-Bukhari, no: 3673, Muslim, no: 2541
[35]Riwayat Ahmad dalam Fadhailus Shahabah, I/57, Ibnu Majah no: 158, Ibnu Abi Ashim, II/484. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, I/32.
[36]HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, dia berkata: Sanadnya Shahih, dan disepakati oleh az-Dzahabi, III/632. Akan tetapi didhaifkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dhaifah, no: 3157
[37]HR. at-Tirmidzi, dia berkata: Hadits ini Hasan. Akan tetapi Syaikh al-Albani menyatakan dha’if dalam Dha’if at-Tirmidzi no: 808.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel