Review : Wiro Sableng Hero Kapak Janjkematian Naga Geni 212
Baca Juga
Selama menonton Wiro Sableng 212 di layar lebar, ada satu sensasi rasa yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya tatkala menyaksikan film Indonesia, merinding. Sedari mencuatnya logo Fox disertai musik pengiringnya yang khas itu, saya berulang kali mencoba mengingatkan diri ini bahwa apa yang tersaji di depan mata merupakan kreasi anak bangsa. Sebuah film laga yang digarap oleh Angga Dwimas Sasongko (Surat Dari Praha, Filosofi Kopi), salah satu pencerita ulung di perfilman Indonesia. Ya, saya sungguh senang alasannya yaitu pada akhirnya, perfilman Indonesia mempunyai sebuah tontonan yang bisa dikategorikan sebagai blockbuster. Atau dengan kata lain, film dengan skala produksi raksasa yang mempunyai tampilan megah. Membaca deskripsi ini, tanpa bermaksud suudzon kepada para pembaca, saya meyakini ada banyak bunyi sumbang diluar sana yang berujar “ah, itu kau saja yang lebay. Tidak seepik itu kok!” karena berkomentar banyak omong sedang naik daun (dan dianggap keren). Memang betul bahwa Wiro Sableng 212 bukanlah sebuah produk yang sempurna. Dalam catatan saya, kasus paling besar yang menghadang film berada di sektor narasi yang terkadang tersendat-sendat. Pemicunya yaitu keinginan si pembuat film untuk mengakomodir kemunculan seabrek abjad ditengah durasi serba terbatas sehingga ada kalanya saya terpaksa membuka contekan untuk mengetahui identitas abjad tertentu yang tak pernah mendapat perkenalan secara layak. Mereka hanya tiba dan pergi oh begitu sajaaa (dinyanyikan dengan melodi ala Letto) demi sekadar memeriahkan pertarungan antara hero putih dengan hero hitam.
Disamping latar belakang Wiro dan sejumput mengenai Mahesa yang (untungnya) diberi motivasi memadai untuk ambisi masing-masing, penonton mutlak tidak memperoleh klarifikasi mengenai karakter-karakter penyokong yang hilir pulang kampung di sepanjang film, utamanya mereka yang berasal dari persekutuan Mahesa. Bahkan, beberapa abjad inti yang mendapat tugas krusial ibarat Anggini, Bujang Gila Tapak Sakti, serta Bidadari Angin Timur (Marsha Timothy) pun hanya kita ketahui sedikit saja. Mungkinkah Angga dan tim berniat untuk mengeksplorasinya di film mendatang dan hanya mempergunakan momen ini sebagai perkenalan singkat semata sehingga kita tidak lagi asing dikala dipertemukan di babak selanjutnya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, selain jumlah abjad terlampau meriah dengan pembagian jatah tampil tak merata, Wiro Sableng 212 tidak menghadapi permasalahan yang berarti. Apabila ekspektasimu tidak menjulang tinggi-tinggi dengan mendamba film ini mempunyai plot kompleks (yang sejatinya tidak dibutuhkan oleh film ibarat ini) dan pencapaian teknis setingkat film blockbuster buatan studio besar Hollywood hanya alasannya yaitu keterlibatan Fox di dalamnya (yang tentu tak realistis mengingat bujetnya berbeda jauh), rasa-rasanya tidak sulit untuk terpuaskan oleh Wiro Sableng 212. Film ini bisa memenuhi segala pengharapan saya sebagai sebuah tontonan silat yang berdiri di jalur eskapisme. Kocak, seru, dan menyenangkan. Lontaran humor yang sebagian besar digenggam oleh Wiro mengikuti celetukan beserta sikapnya yang tengil-tengil sableng tidak sedikit diantaranya yang mengenai target sampai-sampai seisi studio dibentuk tergelak-gelak. Bahkan, untuk menonjolkan kesablengannya, beberapa guyonan yang merapat ke ranah budaya terkenal dan bermain-main dengan rujukan sengaja dibentuk lintas zaman yang mana bukan jadi soal karena Wiro Sableng 212 berdiri di atas genre fantasi. Gokil!
Kemampuan humor yang tersalurkan dengan baik ke penonton ini tentu tak lepas dari pengarahan Angga yang bersinergi dengan jajaran pemain ansambel di Wiro Sableng 212 yang mempunyai akurasi dalam hal comic timing sekaligus mempunyai permainan lakon yang sulit dibilang mengecewakan. Dari seabrek pemain yang menyumbangkan perannya, beberapa nama yang menonjol antara lain Vino G. Bastian, Ruth Marini, Dwi Sasono, Yayan Ruhian, Marsha Timothy, serta pendatang gres Fariz Alfarazi. Vino G. Bastian menandakan bahwa beliau bukanlah pilihan keliru untuk memerankan Pendekar Kunyuk yang bikin gregetan lawan beserta kawan-kawannya alasannya yaitu tingkah lakunya yang susah diajak serius. Ada pancaran ketengilan ibarat adonan antara Peter Parker, Sun Go Kong, serta Deadpool yang bisa mengecoh siapapun sehingga gampang untuk menganggapnya sebagai hero ecek-ecek yang bisa disentil memakai jemari tangan. Tektokannya bersama Ruth Marini yang bikin pangling berkat transformasi menakjubkannya di sektor rias dan intonasi bunyi terasa natural seakan-akan keduanya memang mempunyai ikatan besar lengan berkuasa sebagai murid-guru, begitu pula dikala laga verbal bersama Fariz Alfarazi yang karakternya sebelas dua belas dengan Wiro ihwal ketengilan maupun keganjenan. Turut bergabung di jajaran bergengsi ini yaitu Dwi Sasono yang melepaskan gambaran komedinya dengan tampil berwibawa sebagai Raja, kemudian Marsha Timothy yang terlihat bagus sebagai wanita misterius yang kerap membantu Wiro di kala-kala genting, dan tentu saja Yayan Ruhian yang tampak bengis nan mematikan sebagai musuh besar Wiro yang harus ditaklukannya.
Turut menunjang kelucuan humor dan permainan lakon yang apik yaitu koreografi laga yang mengesankan. Keputusan untuk merekrut Yayan Ruhian bersama Chan Man Ching (menangani adegan laga di Rush Hour dan Hellboy II: The Golden Army) tidaklah sia-sia belaka alasannya yaitu Wiro Sableng 212 mempunyai sedikitnya dua momen kelahi sanggup dikenang yang bisa dijumpai melalui adegan pertarungan di kedai makan yang mengingatkan kita ke film-film silat dari Cina (dan memberi kita cameo yang membangkitkan kenangan!) lengkap dengan segala kelebayannya dan konfrontasi selesai di babak titik puncak yang berlangsung panjang nan mendebarkan. Bak bik buknya tetap terasa seru sekalipun intensitas pada pertarungannya terpaksa diturunkan demi bisa menjangkau pasar keluarga. Keseruan momen laga ini tentu tak akan berarti banyak tanpa sokongan dari departemen teknis yang harus diakui merupakan salah satu letak keunggulan Wiro Sableng 212. Pergerakan kameranya luwes, penyutingannya lincah, efek khususnya halus (well, pengecualian untuk adegan di atas jurang yang masih tampak dipaksakan), kostum beserta tata riasnya detil, dan dentuman musik pengiringnya membantu memperlihatkan energi yang memang dibutuhkan film. Ditambah oleh bangunan semestanya yang menyuguhkan gambaran mengenai dunia yang ditempati para hero ini dengan cukup baik, kombinasi dari elemen-elemen teknis ini memunculkan kesan megah nan glamor pada Wiro Sableng 212 laiknya film-film kolosal milik Cina. Sebuah pencapaian sinematis bagi perfilman Indonesia yang tentunya sangat patut diapresiasi karena, well, kapan lagi kita bisa nonton film Indonesia seakbar ini? Sungguh saya jadi tak sabar untuk menengok jilid selanjutnya yang semoga saja bisa memperlihatkan peningkatan dari apa yang telah disuguhkan di seri pembuka ini.
Info layanan masyarakat : Ada satu adegan bonus di sela-sela end credit yang memberi petunjuk ke film berikutnya. Bertahanlah, bertahanlah.
Outstanding (4/5)