Konsep Pengupahan Dalam Aturan Bisnis Islam
Dalam kajian aturan Islam (fiqh muamalah), sistem pengupahan secara garis besar terbagi dalam dua jenis akad, ijārah dan ju’ālah. Kedua jenis janji ini, masing- masing memiliki kelebihan dan kekurangan, serta sanggup diterapkan sesuai dengan aksara dan obyek pekerjaan. Ijārah secara umum dimaknai sebagai transaksi atas suatu manfaat tertentu yang dikehendaki dengan imbalan tertentu. Misalnya al-Qalyubi mendefinisikan ijārah.
Definisi senada juga disebutkan oleh para ulama’. Wahbah Zuhayli contohnya menyampaikan bahwa ijarah ialah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang atau jasa tersebut.
Sebagaimana kalangan madzhab Maliki mendefinisikan ijarah sebagai pemindahan pemilikan manfaat tertentu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan kompensasi tertentu.
Para ulama membagi Ijarah menjadi dua, ijārah al-‘ain dan ijārah al-dhimmah. Ijārah al-‘ain ialah janji ijarah yang obyeknya ialah barang, transaksi ini dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sewa menyewa. Sedang ijārah al-dhimmah ialah ijarah yang obyeknya ialah jasa atau tanggungan. Ijarah inilah yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan upah mengupah.
Ulama’ setuju atas kebolehan janji ijarah berdasarkan al-Qur’an dan al-sunnah.
Kontrak antara pekerja dengan pemberi kerja dengan janji ijarah ini disyaratkan adanya kejelasan obyek (manfaat atau pekerjaan) baik jenis maupun waktu, serta kejelasan harga atau upah atas manfaat tersebut.
Alternative kedua dalam hubungan pekerja dan pemberi kerja ialah janji ji’ālah. Ji’ālah atau sanggup juga ja’ālah atau ji’ālah berdasarkan al-Jazairi secara bahasa ialah sesuatu yang diberikan seseorang atas suatu perkara yang dikerjakannya. Sedang berdasarkan istilah ialah mengakibatkan nominal harta tertentu
bagi orang yang berhasil mengerjakan sesuatu baik suatu pekerjaan tersebut terang atau tidak jelas.
Perbedaan fundamental antara ijārah dengan ji’ālah ialah sebenarnya janji ijārah berbasis proses dan pekerjaan sedang ji’ālah berbasis hasil. Dalam ijārah jenis dan waktu pekerjaan harus jelas. Sedang dalam janji ji’ālah jenis pekerjaan dan waktu tidak harus jelas, tetapi hasil atau sasaran dari pekerjaan tersebut yang harus jelas. Dalam janji ijārah, seorang pekerja tetap harus dibayarkan upah atas pekerjaannya walaupun pekerjaan tersebut tidak mendapat hasil. Hal ini alasannya ialah seorang pekerja hanya mengikuti perintah pemberi kerja, pemberi kerja-lah yang menciptakan perencanaan dan mengatur pekerjaan tersebut, sehingga keberhasilan dari pekerjaan tersebut ialah tanggungjawab pemberi kerja.
Sebaliknya, dalam transaksi ji’ālah pemberi kerja tidak harus tahu tatacara dan teknis pekerjaan yang dilakukan pekerja untuk memenuhi sasaran atau hasil yang telah ditentukan oleh pemberi kerja. Oleh alasannya ialah itu Seorang pekerja dalam janji ji’ālah tidak berhak mendapat upah dikala tidak berhasil mewujudkan sasaran yang telah ditentukan.
Akad ji’ālah ini sanggup diberlakukan dalam transaksi kerja yang berbasis hasil, bukan proses. Marketing, freeline, jasa terjemah, dan lainnya ialah pola pekerjaan-pekerjaan yang sanggup dilaksanakan berbasis ji’ālah. Akad ji’ālah juga sanggup dilaksanakan dalam hubungan kerja antara pemerintah
sebagai pemberi kerja dengan kontraktor (pekerja) dalam mengerjakan proyek-proyek pemerintah, ibarat pembangunan Rumah Sakit, jalan tol, jembatan dan lain sebagainya. Sedang hubungan antara kontraktor dengan para pekerja di bawahnya ialah hubungan kerja berbasis ijārah.
Sumber https://pakarmakalah.blogspot.com/
Definisi senada juga disebutkan oleh para ulama’. Wahbah Zuhayli contohnya menyampaikan bahwa ijarah ialah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang atau jasa tersebut.
Sebagaimana kalangan madzhab Maliki mendefinisikan ijarah sebagai pemindahan pemilikan manfaat tertentu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan kompensasi tertentu.
Para ulama membagi Ijarah menjadi dua, ijārah al-‘ain dan ijārah al-dhimmah. Ijārah al-‘ain ialah janji ijarah yang obyeknya ialah barang, transaksi ini dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sewa menyewa. Sedang ijārah al-dhimmah ialah ijarah yang obyeknya ialah jasa atau tanggungan. Ijarah inilah yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan upah mengupah.

Ulama’ setuju atas kebolehan janji ijarah berdasarkan al-Qur’an dan al-sunnah.
Kontrak antara pekerja dengan pemberi kerja dengan janji ijarah ini disyaratkan adanya kejelasan obyek (manfaat atau pekerjaan) baik jenis maupun waktu, serta kejelasan harga atau upah atas manfaat tersebut.
Alternative kedua dalam hubungan pekerja dan pemberi kerja ialah janji ji’ālah. Ji’ālah atau sanggup juga ja’ālah atau ji’ālah berdasarkan al-Jazairi secara bahasa ialah sesuatu yang diberikan seseorang atas suatu perkara yang dikerjakannya. Sedang berdasarkan istilah ialah mengakibatkan nominal harta tertentu
bagi orang yang berhasil mengerjakan sesuatu baik suatu pekerjaan tersebut terang atau tidak jelas.
Perbedaan fundamental antara ijārah dengan ji’ālah ialah sebenarnya janji ijārah berbasis proses dan pekerjaan sedang ji’ālah berbasis hasil. Dalam ijārah jenis dan waktu pekerjaan harus jelas. Sedang dalam janji ji’ālah jenis pekerjaan dan waktu tidak harus jelas, tetapi hasil atau sasaran dari pekerjaan tersebut yang harus jelas. Dalam janji ijārah, seorang pekerja tetap harus dibayarkan upah atas pekerjaannya walaupun pekerjaan tersebut tidak mendapat hasil. Hal ini alasannya ialah seorang pekerja hanya mengikuti perintah pemberi kerja, pemberi kerja-lah yang menciptakan perencanaan dan mengatur pekerjaan tersebut, sehingga keberhasilan dari pekerjaan tersebut ialah tanggungjawab pemberi kerja.
Sebaliknya, dalam transaksi ji’ālah pemberi kerja tidak harus tahu tatacara dan teknis pekerjaan yang dilakukan pekerja untuk memenuhi sasaran atau hasil yang telah ditentukan oleh pemberi kerja. Oleh alasannya ialah itu Seorang pekerja dalam janji ji’ālah tidak berhak mendapat upah dikala tidak berhasil mewujudkan sasaran yang telah ditentukan.
Akad ji’ālah ini sanggup diberlakukan dalam transaksi kerja yang berbasis hasil, bukan proses. Marketing, freeline, jasa terjemah, dan lainnya ialah pola pekerjaan-pekerjaan yang sanggup dilaksanakan berbasis ji’ālah. Akad ji’ālah juga sanggup dilaksanakan dalam hubungan kerja antara pemerintah
sebagai pemberi kerja dengan kontraktor (pekerja) dalam mengerjakan proyek-proyek pemerintah, ibarat pembangunan Rumah Sakit, jalan tol, jembatan dan lain sebagainya. Sedang hubungan antara kontraktor dengan para pekerja di bawahnya ialah hubungan kerja berbasis ijārah.