Jikalau Orang Lain Berbuat Salah


Bila Orang Lain Berbuat Salah

Orang yang niscaya tidak nyaman dalam keluarga, orang yang niscaya tidak tentram dalam bertetangga, orang yang niscaya tidak nikmat dalam bekerja ialah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, lantaran memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.
Salah satu yang harus dilakukan semoga seseorang terampil bening hati ialah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga kita akan berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita akan berbuat salah lantaran memang mereka bukan malaikat. Namun tolong-menolong yang jadi problem bukan hanya kesalahannya, yang jadi problem ialah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.
Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tekniknya ialah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat berharap semoga orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap semoga orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap semoga orang lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain murka besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun eksekusi dijatuhkan, kita ingin semoga eksekusi itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberik kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati semoga bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!
Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan ialah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin kualitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan ia tidak akan siap memimpin.
Oleh lantaran itu, andaikata ada orang melaksanakan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan ia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang perempuan dari desa yang dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, ia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ? Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di desanya tidak ada hukum penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM, lantaran di desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda menciptakan pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, ia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan.
Lalu, kalau ia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, ibarat halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai sikap orang remaja seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang umurnya gres 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu panjang pula yang kita lalui.
Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sesudah diopname beberapa hari di rumah sakit lantaran diuji dengan sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan, "Kenapa ini santri bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!".
Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan, "Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain melaksanakan ibarat apa yang bisa kita lakukan ketika ini, sementara ia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin ia sudah melaksanakan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum bisa untuk jaga toko". Subhanallah, pertolongan ALLAH tiba dari mana saja. Oleh lantaran itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah ia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh ia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya, "De', ini salah, harusnya begini".
Maka tahap pertama ialah memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.
Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, lantaran ada orang yang tahi itu suatu masalah, tapi ia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi kita ialah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suata problem di kamar paling pojok yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun, "Wah, ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi". Dia tahu ini masalah, tapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu, tapi santunan kita yang paling manis ialah bukan menuntaskan masalah, tapi membantu ia supaya bisa menuntaskan masalahnya. Sebab, santunan itu ada yang pribadi menuntaskan masalah, namun kelemahan santunan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan membunuh kreatifitasnya dalam menuntaskan suatu masalah. Bantuan yang terbaik ialah memperlihatkan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.
Dan tahap yang ketiga ialah membantu orang yang berbuat salah semoga tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menuntaskan problem daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, lantaran apa? Karena anak kita ialah cuilan dari diri kita, istri kita ialah cuilan dari keluarga kita, saudara-saudara kita ialah cuilan dari khazanah kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka posisi kita ialah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.
Nah, Sahabat. Selalulah yang kita lakukan ialah berusaha membantu semoga orang yang berbuat salah bisa menuntaskan problem yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya ialah suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah semoga ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah semoga tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.
Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan mengingatkan ia wacana pentingnnya shalat, membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya ia tetap bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana cara menghentikan acara mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang tumpuan pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, ia tidak akan pernah benci kepada siapapun. Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun tolong-menolong gudang kesalahan.
kesalahan.
 


 
 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel