Review : Koki-Koki Cilik
“Aku harus menang. Aku udah kesepakatan biar saya bisa buka rumah makan Bapak lagi.”
Apakah kau pernah menyaksikan sebuah program televisi bertajuk Masterchef Junior? Iya, program berkonsep kompetisi memasak untuk bocah-bocah dibawah usia 15 tahun yang membuat manusia-manusia cukup umur tanpa talenta di dapur merasa masa kecilnya tidak berharga itu lho. Apabila kau pernah menyaksikannya, tentu mengetahui bagaimana serunya para bocah minim pengalaman ini kala berlomba, menghadapi tekanan, dan bereksperimen dalam mengkreasi aneka ragam makanan. Selayaknya program televisi berbasis kompetisi pada umumnya, tentu bubuhan drama tak terelakkan. Tapi kesenangan yang timbul dari menyaksikan program ini bukan berasal dari drama ribut-ributnya, melainkan disebabkan oleh kreativitas, semangat, dan aura positif para kontestannya. Bikin berdecak kagum sekaligus menstimulasi pikiran bahwa kita pun bisa memasak. Asyik, kan? Nah semangat semacam itulah yang Ifa Isfansyah (Garuda di Dadaku, Sang Penari) coba terapkan dalam film terbarunya bersama MNC Pictures, Koki-Koki Cilik (awalnya berjudul Cooking Camp). Sebuah film untuk seluruh anggota keluarga mengenai dunia masak memasak (dan santap menyantap makanan) dilihat dari sudut pandang dedek-dedek cilik yang diniatkan sebagai pengisi liburan pergantian semester. Sebuah film untuk seluruh anggota keluarga yang diperlukan nantinya tak saja mendorong para penonton cilik untuk menekuni dunia masakan tetapi juga mendorong para penonton cilik untuk berguru memahami makna tolong-menolong dari cinta, persahabatan, dan kompetisi usai melihat para koki-koki cilik beraksi.
Guna memberikan cerita dalam Koki-Koki Cilik, Ifa Isfansyah beserta Vera Varidia selaku penulis skenario memanfaatkan kacamata seorang berjulukan Bima (Farras Fatik) yang mempunyai keinginan untuk menghidupkan kembali rumah makan milik mendiang ayahnya yang telah usang tutup. Mengingat Bima berasal dari keluarga yang secara finansial tergolong pas-pasan, tentu bukan kasus gampang untuk mewujudkannya. Maka dari itu, bermodalkan tabungan hasil dari kerja secara serabutan dan uang patungan dari tetangga-tetangganya, Bima bertekad mengikuti perkemahan bergengsi berjulukan Cooking Camp yang menunjukkan hadiah menggiurkan sekaligus titel ‘koki cilik’ bagi pemenang dalam kompetisi di perkemahan tersebut. Tentu saja menyerupai formula klasik dalam film bertema ‘from zero to hero’, perjalanan Bima untuk meraih kemenangan tidak lantas berlangsung mudah. Ada beberapa faktor yang menjadikan Bima sempat putus asa, yakni ia mengalami perundungan lantaran status sosialnya, Bima sama sekali buta mengenai masakan gila (contoh; ia tidak mengetahui apa itu sushi), dan perlawanan dari juara bertahan, Audrey (Chloe X), yang berambisi untuk kembali memenangkan kompetisi lantaran desakan ibunya. Ditengah keputusasaannya tersebut, Bima berkenalan dengan staf kebersihan, Rama (Morgan Oey), yang ternyata tangkas mengolah masakan. Meski Rama mulanya merasa terganggu dengan kehadiran Bima, kekerabatan mereka lambat laun mulai menghangat tatkala Rama melihat tekad dan talenta yang dimiliki oleh Bima.
Ada satu perasaan yang didapat usai menyaksikan Koki-Koki Cilik di bioskop: bahagia. Sepanjang durasinya mengalun, film ini sanggup membawa saya melewati aneka macam macam fase emosi yang membuat diri ini tertawa-tawa, menyeka air mata, meneteskan air liur, hingga termotivasi. “Pokoknya, saya harus bisa masak. Masak salmon yang enak!,” begitu ujar saya selepas melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop. Mungkin kalian mempunyai definisi film anggun yang berbeda, tapi bagi saya, suatu film bisa dikatakan anggun tatkala ada impak berpengaruh yang diberikan selama dan sehabis menonton. Sesederhana itu (ngapain juga ribet-ribet, yekannn?). Merunut pada impresi mengenai film ini yang dijlentrehkan di awal paragraf, bisa ditarik kesimpulan bahwa Koki-Koki Cilik yaitu film yang bagus. Emosi diaduk-aduk selama duduk di dingklik bioskop dan keinginan untuk bisa mengolah salmon beserta rekan-rekannya di dapur mencuat dikala kembali ke rumah. Ya, ada banyak kesenangan dan rasa semangat yang diciptakan oleh Ifa Isfansyah dalam Koki-Koki Cilik, bahkan sedari menit pertama yang memberi kita sebuah tampilan unik pada opening credit. Selepas memberi sekelumit latar belakang (meski saya berharap dijabarkan lebih dalam biar penonton bisa kian bersahabat dengan para karakter), film lantas melempar kita menuju area perkemahan yang asri. Beberapa huruf pendukung diperkenalkan secara bergegas menyerupai Chef Grant (Ringgo Agus Rahman) yang cenderung angkuh, Pak Malik (Adi Kurdi) yang bijak, Melly (Alifa Lubis) yang komentarnya seringkali julid tapi herannya sempurna sasaran, Kevin (Marcello) yang setia kawan, Niki (Clarice Cutie) yang mengagumi Bima, dan Alva (Ali Fikry) yang agak sembrono.
Memiliki chemistry asyik dengan pembawaan ceria, interaksi antar bocah plus interaksi mereka dengan Chef Grant yang tak jarang konyol merupakan salah satu poin positif yang dipunyai oleh Koki-Koki Cilik. Nuansa kearaban diantara mereka yang sarat gelak tawa begitu mencuat sampai-sampai penonton dibentuk meyakini bahwa mereka yaitu sobat sejati bagi Bima. Petualangan kecil mereka di area perkemahan lezat diikuti, terutama dikala melibatkan Melly yang gayanya kenes dan sulit menahan godaan untuk tidak berkomentar julid (tapi jujur) pada siapapun, dan persahabatan mereka memberi pola pada penonton cilik mengenai bagaimana seharusnya sobat bertindak. Disamping canda ria, film juga mempunyai sederet momen yang menyentuh hati ketika kekerabatan Bima dan Rama yang awalnya beku mulai mencair. Hubungan yang mempertegas pernyataan bahwa cinta memang bisa menyatukan dan menaklukkan segala hal. Hubungan yang sanggup dijadikan pembelajaran bagi orang renta dan bawah umur untuk membuat kekerabatan yang harmonis. Bima menyerupai menemukan sesosok guru (sekaligus ayah) dalam diri Rama, sementara Rama yang telah kehilangan kepercayaan diri dan dilingkupi amarah serta penyesalan akhir kesalahan di masa kemudian menemukan secercah harapan untuk ‘menebus dosa’ pada Bima.
Akting apik yang diperagakan oleh Farras Fatik bersama Morgan Oey membantu film mempunyai gregetnya sekaligus mempersembahkan satu-dua momen emas bagi perfilman Indonesia tahun 2018 ini dan film keluarga dalam beberapa tahun terakhir. Momen emas yang saya maksud yaitu dikala Rama berkenan ‘mentransfer’ kemampuan memasaknya kepada Bima dan dikala Rama mencoba meyakinkan Bima yang telah pasrah pada keadaan akhir kecurangan kompetitornya untuk kembali berdiri dan merampungkan kompetisi secara sehat hingga detik terakhir. Sebungkus tissue yang tadinya tergeletak di dalam tas, masih utuh, satu demi satu saya tarik demi mengusap bulir-bulir air mata yang mulai berjatuhan.
Disamping memicu munculnya gelak tawa dan air mata, Koki-Koki Cilik turut bertanggung jawab atas terdengarnya bunyi gemuruh dari setiap perut penonton. Oh, saya bahkan meneteskan air liur! Betapa tidak, hamparan visual makanannya yang diabadikan oleh Yadi Sugandi memakai lensa kamera terlihat sungguh menggiurkan. Sensasi menontonnya mengingatkan saya pada Tabula Rasa (2014) tempo hari yang membuat saya mendadak ngidam masakan dari tanah Minangkabau. Food porn! Ragam masakan yang ditampilkan dalam Koki-Koki Cilik pun tak terbatas masakan dari Indonesia, tetapi juga Asia dan Barat. Disarankan, menontonnya dikala perut sudah terisi penuh atau menontonnya bersahabat jam makan sehingga meminimalisir keinginan untuk menggigit-nggigit dingklik bioskop. Ehem. Kecakapan Yadi dalam mengambil shot yang memanjakan mata ini berpadu manis dengan penyuntingan tangkas dari Cesa David Luckmansyah, iringan musik gubahan Doni Akson, serta sumbangsih lagu tema bernuansa ceria menyerupai nuansa filmnya itu sendiri yang dibawakan oleh jajaran pemainnya. Hasilnya, menunjang pengarahan baik sekali dari Ifa Isfansyah (yang sekali lagi mengambarkan bahwa ia andal menggarap film keluarga setelah Garuda di Dadaku (2009) dan Ambilkan Bulan (2012) yang ciamik itu) dan penampilan enerjik dari departemen akting sehingga Koki-Koki Cilik sanggup dihidangkan sebagai tontonan keluarga yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga menyentuh, menggiurkan, membangkitkan semangat dan mengandung pesan moral tanpa pernah menggurui. Bagus!
Outstanding (4/5)