Review : Kulari Ke Pantai


“Kadang-kadang kalau kita lagi takut, kita tidak berpikir jernih.” 

Kapan terakhir kali kau menonton film keluarga buatan sineas dalam negeri yang manis di layar lebar? Bagi saya sih tahun kemudian ketika Naura dan Genk Juara (Eugene Panji, 2017) dirilis. Tapi kalau diminta merunut lebih jauh ke belakang, maka ingatan ini mendarat pada tahun 2011 (atau 7 tahun silam!) tatkala terdapat sederet film anak yang layak simak menyerupai Rumah Tanpa Jendela, Lima Elang, serta Garuda di Dadaku 2. Pilihannya cukup beragam, tak menyerupai beberapa tahun terakhir yang sudah bisa dikategorikan sebagai trend paceklik. Ketimbang memproduksi film anak, rumah produksi lebih asyik menggarap film dewasa yang secara tema pun seragam. Sedih sekali hati Abang! Berkaca pada fenomena memilukan ini dan menyadari krucil-krucil di rumah juga butuh tontonan hiburan di bioskop, Miles Films merasa mempunyai tanggung jawab untuk menghadirkan sebuah sajian yang bisa diakses oleh seluruh anggota keluarga. Terlebih, mereka yaitu penghasil dua film keluarga fenomenal, Petualangan Sherina (2000) dan Laskar Pelangi (2008), yang mampu mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong memenuhi bioskop. Oleh alasannya yaitu itu, duo janjkematian Mira Lesmana dan Riri Riza pun tetapkan untuk menunda sejenak proyek akbar mereka (baca: biopik Chairil Anwar) demi sesuatu yang urgensinya lebih aktual yakni mengkreasi sebuah film keluarga bertajuk Kulari ke Pantai

Karakter sentral dalam Kulari ke Pantai yaitu dua saudara sepupu dengan karakteristik serta latar belakang berbeda, Sam (Maisha Kanna) si anak pantai asal Nusa Tenggara Timur yang berusia 10 tahun dan Happy (Lil’li Latisha) si anak gaul Jakarta yang berusia 12 tahun. Meski dari dunia yang berbeda, Sam terbilang sangat erat dengan sepupunya tersebut. Itulah mengapa ketika diajak sang ibu, Uci (Marsha Timothy), untuk menghadiri pesta ulang tahun sang nenek, Sam girang bukan main alasannya yaitu hendak bertemu Happy. Sayangnya, reaksi berbeda justru diberikan oleh Happy yang menganggap Sam tidak lebih dari anak kampung. Pertengkaran keduanya menarik perhatian ibu Happy, Kirana (Karina Suwandi), yang lantas meminta Happy untuk berbaikan dan mengenal Sam lebih dalam. Caranya, Kirana menitipkan Happy pada Uci yang berniat mengajak Sam berlibur dengan melaksanakan perjalanan darat dari Jakarta ke Pantai G Land di Banyuwangi. Demi mengantongi izin dari kedua orang tuanya untuk menghadiri konser bersama teman-teman gahoelnya, Happy pun terpaksa bergabung dalam road trip bersama Sam dan Uci. Sebagai seseorang yang tidak terbiasa berinteraksi secara eksklusif dengan alam dan mengalami ketergantungan pada teknologi, perjalanan ini tentu terasa amat menyiksa bagi Happy. Akan tetapi, seiring bertambahnya kilometer dan berkat pertemuan dengan beberapa huruf unik, Happy berangsur-angsur berubah dan tak lagi memberi jarak pada Sam. 


Baca Juga

Dalam melantunkan Kulari ke Pantai, tim peracik skenario yang terdiri dari Mira Lesmana, Riri Riza, Gina S Noer, serta Arie Kriting, seolah mengupayakan jalinan kisah dalam film tetap berada pada koridor realistis. Deretan konflik yang dihadirkan sepanjang film tidak pernah benar-benar mencapai titik kritis apalagi terasa kompleks. Persoalan yang dihadapi oleh Sam, Happy, serta Uci selama perjalanan darat sebatas berkisar pada ribut-ribut kecil antara dua sepupu yang seringkali dipicu oleh perbedaan cara pandang, kehadiran tokoh-tokoh gres yang nyentrik menyerupai pemilik penginapan dengan bunyi kolam toa berjulukan Mukhidi (Dodit Mulyanto) kemudian putranya yang jahil berjulukan Wahyu (Fadlan Rizal) dan manajer grup tari yang centil berjulukan Mama Mela (Ligwina Hananto), hingga kekecewaan Uci terhadap putri beserta keponakannya yang sulit menyatukan perbedaan. Serangkaian dilema yang kerap kita jumpai di kehidupan sehari-hari, bukan? Berkaca pada konflik yang dikedepankannya, bukan sesuatu yang mengherankan tatkala Kulari ke Pantai cenderung mengalun santai kolam di pantai alasannya yaitu para huruf utama pun tidak berhadapan dengan permasalahan yang pertaruhannya tinggi. Hanya rintangan-rintangan kecil yang umum dijumpai ketika beberapa orang dengan perbedaan huruf cukup mencolok tetapkan untuk berlibur bersama ke area-area yang absurd bagi mereka dalam jangka waktu tertentu. Mengingat kedua huruf utama dalam film masih bocah, maka goresan yang muncul bukan berupa letupan besar dan rekonsiliasi pun cepat tiba menyelamatkan alasannya yaitu belum ada campur tangan ego. 

Apakah ini berarti Kulari ke Pantai yaitu film yang membosankan? Tentu tidak. Plotnya boleh saja tipis dan minim konflik (sekalipun Riri Riza dan tim turut menyisipinya dengan komentar sosial yang juga berfungsi sebagai pengingat generasi muda terkait ketergantungan pada teknologi, melupakan bahasa Ibu, hingga sindrom gila eksistensi), tapi pengarahan Riri Riza yang cermat bisa menciptakan film tidak berjalan datar-datar saja dan tetap mempunyai beberapa momen yang menyenangkan sekaligus menghangatkan hati bagi penonton di sepanjang perjalanan melewati Cirebon, Temanggung, Pacitan, Blitar, Bromo, hingga Banyuwangi. Kesenangan yang muncul di Kulari ke Pantai dipicu oleh tukar obrolan antar huruf yang sebagian besar diantaranya menggelitik saraf tawa, pemandangan-pemandangan indah separuh Pulau Jawa yang dibingkai amat baik oleh Gunnar Nimpuno, pinjaman lagu pengiring dari RAN yang enerjik nan membangkitkan semangat, serta performa jajaran pemainnya yang tidak mengecewakan. Meski tidak sepenuhnya mulus, interaksi antara Maisha Kanna (yang merepresentasikan bocah petualang) dengan Lil’li Latisha (yang merepresentasikan bocah pecandu gawai) yang sering berakhir dengan pertikaian tak penting terasa menyenangkan untuk disimak. Kehadiran Dodit Mulyanto, Suku_Dani sebagai peselancar pendongeng, Mo Sidik sebagai guru berselancar, dan Ligwina Hananto membantu film dalam menyuplai tawa, sementara Marsha Timothy dan Lukman Sardi bertugas memberi kesempatan bagi film untuk mengaduk emosi penonton. 



Kulari ke Pantai memang tidak pernah terasa seseru Petualangan Sherina dan tidak pernah pula mempunyai ikatan emosional sekuat Laskar Pelangi. Namun sebagai tontonan pengisi libur sekolah yang disajikan untuk seluruh anggota keluarga, Kulari ke Pantai mempunyai kandungan hiburan dan pesan moral mencukupi yang akan menciptakan penonton tetap tersenyum senang hingga kaki melangkah keluar dari gedung bioskop. Seperti kata Happy, No pura-pura.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel