Review : Partikelir
“Kita kan detektif partikelir semenjak SMA. Kasus ini yang akan menciptakan kita menjadi detektif partikelir beneran.”
Komika ngocol di atas panggung yang disiarkan oleh stasiun televisi nasional terang sudah biasa. Berakting di film layar lebar pun sudah biasa. Tapi mengarahkan sebuah film layar lebar? Ini gres sesuatu yang tidak biasa (meski sebentar lagi akan menjadi sesuatu yang umum). Tren menjajal karir di bidang penyutradaraan dari kalangan komika pertama kali dimulai dari Raditya Dika yang mencoba peruntungannya di Marmut Merah Jambu (2014). Setelahnya, berturut-turut menyusul Kemal Palevi melalui Youtubers (2015), Ernest Prakasa dalam Ngenest (2015), hingga paling segar di ingatan yakni Soleh Solihun lewat Mau Kaprikornus Apa? (2017). Rata-rata memperoleh resepsi memuaskan dari khalayak ramai sehingga tidak mengherankan bila kemudian produser memberi kepercayaan kepada para komika ini untuk mengkreasi sendiri film-film mereka. Salah satu komika yang juga menerima kepercayaan untuk merasakan bangku penyutradaraan yakni Pandji Pragiwaksono yang menjajal genre komedi laga dengan elemen ‘buddy cop film’ dalam debut pengarahannya yang bertajuk Partikelir. Sebuah pilihan yang harus diakui (terlalu) berani mengingat rekan-rekannya sesama komika lebih menentukan jalur kondusif di film perdana garapan mereka; menyoal perjalanan hidup atau ranah yang mereka pahami betul. Tidak ada yang salah dengan pilihan ini. Hanya saja, sebagai sebuah karya perkenalan, Partikelir terasa kelewat ambisius. Idenya menarik, potensinya ada, akan tetapi sayang beribu sayang kurang berhasil dihantarkan dengan baik.
Melalui Partikelir, penonton diperkenalkan kepada seorang detektif swasta berjulukan Adri (Pandji Pragiwaksono) yang kerap menangani kasus tidak jauh-jauh dari urusan perselingkuhan. Karirnya bisa dibilang jalan di daerah hingga kemudian ia menerima kesempatan emas dari klien barunya, Tiara (Aurelie Moeremans), yang meminta Adri untuk menilik gerak gerik ayahnya yang mencurigakan. Kasus ini memang tampak sepele saja di permukaan. Namun sehabis Adri mendengar adanya bunyi tembakan dan kata ‘rantau’ kala tengah mencuri dengar perdebatan ayah Tiara dengan seorang misterius, Adri menyadari bahwa ayah Tiara terlibat dalam suatu problem besar yang berbahaya. Suatu problem yang bisa diselesaikan lebih gampang bila memakai lebih dari satu otak. Maka dari itu, Adri pun mengajak serta Jaka (Deva Mahenra), sobat baiknya semasa SMA, yang dulunya bermimpi menjadi detektif tapi belakangan menentukan berprofesi sebagai pengacara. Mulanya sih Jaka menampik usul Adri, tapi hati kecilnya berkata lain sehingga ia memutuskan untuk bergabung dengan Adri. Hasil kerja keras mereka berdua dalam mengorek isu dari beberapa sumber menghadapkan mereka pada fakta bahwa rantau yakni narkoba jenis gres yang sedang naik daun di kalangan pesohor tanah air. Dibantu oleh detektif gadungan, Geri (Ardit Erwandha), beserta kawan-kawan usang Adri-Jaka, penyelidikan lebih jauh mengenai rantau dan keberadaan ayah Tiara pun dilakukan yang tanpa disadari ternyata turut mengancam keselamatan mereka.
Partikelir mesti diakui mempunyai gagasan menarik yang berpotensi besar untuk diterjemahkan menjadi tontonan mengasyikkan apabila memperoleh penanganan yang tepat. Film ini bisa menjadi Bad Boys (1995), Hot Fuzz (2007), atau 21 Jump Street (2011) dengan kearifan lokal – meski saya sudah puas bila film ini berada di kelas yang sama dengan buddy cop film asal Malaysia, Polis Evo (2015). Akan tetapi, Pandji Pragiwaksono nyatanya justru kelimpungan dalam menyatukan tiga komponen krusial yang wajib dimiliki film jenis ini, yakni komedi, laga, dan chemistry kuat duo pelakon utama. Dari ketiga komponen tersebut, satu-satunya yang masih bisa dikatakan berjalan dengan baik yakni komedi. Menilik latar belakang Pandji yang berkecimpung di dunia stand up comedy, ini tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Partikelir memang wajib hukumnya bisa menciptakan penonton tergelak-gelak di dalam bioskop selama durasi mengalun. Bagaimanapun juga, film ini intinya berada di teritori komedi, to? Jika tidak ada tawa menggema sama sekali, maka terang Partikelir tergolong gagal total. Jika ada sedikit tawa, maka yaaaa, bolehlah agak dimaafkan. Partikelir, untungnya, berada di kategori kedua. Mengandalkan bahan dagelan receh (seperti lulur tai, puting menyala, hingga perdebatan soal makanan), Pandji masih bisa melontarkan beberapa guyonan dengan cukup baik sehingga bisa mengundang derai tawa sekalipun hanya sesekali saja terdengarnya dan sisanya acapkali meleset dari target kemudian menyisakan kegaringan yang konkret nan manja.
Sementara itu, komponen krusial lainnya, laga dan chemistry dua pelakon utama, nyaris tak terdeteksi detaknya dalam Partikelir. Total jendral, Partikelir hanya mempunyai adegan laga sepanjang tidak lebih dari 20 menit atau memenuhi seperlima durasi saja. Itupun gres disodorkan di menit-menit terakhir dan dikemas dengan level ketegangan yang cukup minim. Tak memunculkan perasaan harap-harap cemas maupun menggelorakan semangat. Seolah-olah keberadaannya hanya untuk memenuhi persyaratan sebagai buddy cop film. Nasib yang tidak lebih baik dialami oleh jajaran pemainnya yang dipenuhi dengan nama-nama menjanjikan menyerupai Deva Mahenra, Lala Karmela, Ardit Erwandha, Cornelio Sunny, Dodit Mulyanto, Cok Simbara, Gading Marten, Tio Pakusadewo, Bisma Karisma, Epy Kusnandar, hingga Luna Maya, yang sebagian besar diantaranya tersia-siakan. Gading sih masih mujur, mencuri perhatian di satu adegan paling kocak dalam film. Namun pemain lainnya, seandainya mereka diganti oleh pemain lain pun tidak besar lengan berkuasa secara signifikan terhadap pergerakan kisah. Yang juga sangat disayangkan, Deva yang beberapa kali mengundang tawa melalui celetukan polosnya kala bermain solo malah terasa anyep begitu disandingkan dengan Pandji. Naskah kurang memberi kesempatan bagi Adri-Jaka untuk bekerja sama, kurang dibumbui gesekan-gesekan yang mempertegas karakter, atau sebatas interaksi seru. Alhasil, tidak muncul percikan-percikan persahabatan diantara keduanya yang bisa menciptakan penonton bersorak-sorai kepada mereka dikala bersatu padu. Jaka malah lebih sering terlihat menyerupai ajun Adri ketimbang rekanannya.
Acceptable (2,5/5)