Hukum Riba

Riba bukan hanya menjadi permasalahan dalam agama Islam saja melainkan juga menjadi permasalah dalam agama dan/atau kepercayaan lainnya. Masalah riba telah  menjadi materi pembahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Nasrani pun dari masa ke masa juga memiliki pandangan tersendiri mengenai riba.

Riba pada agama Samawi telah dinyatakan haram, sebagaimana tersebut dalam  Pasal 22 ayat 25  Perjanjian Lama Keluaran: “Bila kau menghutangi seseorang di antara warga bangsamu uang, maka janganlah kau berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kau meminta laba padanya untuk pemilik uang”.  Tetapi Islam menganggap bahwa ketetapan yang mengharamkan riba hanya berlaku pada golongan tertentu yang tercantum dalam Perjanjian Lama merupakan ketetapan yang telah dipalsukan.

Para andal filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga ialah sesuatu yang hina dan keji. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat, merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.

Baca Juga


Dalam agama Budha, riba dianggap sebagai perbuatan yang menjijikkan dan bertentangan dengan nilai-nilai persaudaraan dalam masyarakat. Pada  Jatakas  dibahas adanya  larangan bagi kasta  Brahmana  dan Khastriya  untuk meminjamkan uang dengan memungut bunga.

Di kalangan pendeta Kristen, enerapan konsep bunga ialah dilarang. Selama berabad-abad lamanya sehabis itu, berkembanglah suatu perdebatan yang sengit di antara kalangan gereja dengan para pedagang Eropa mengenai penerapan konsep bunga.

Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap. Empat tahap tersebut adalah:

a. Menolak anggapan bahwa dukungan riba yang pada  zahir-nya seakan-akan menolong mereka  yang memerlukan sebagai suatu perbuatan  taqarrub kepada Allah, sebagaimana tersebut dalam surat ar-Ruum ayat 39:

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kau berikan biar beliau bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kau berikan berupa zakat yang kau maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

Sebagian orang beranggapan bahwa dengan meminjamkan sejumlah uang kepada sesama ialah suatu bentuk ibadah atau interaksi terhadap sesama insan sebagaiman yang telah diperintahkan Allah. Akan tetapi, dalam kesempatan ibadah tersebut muncul praktik riba yang diniatkan untuk menambahkan nilai kekayaan yang dimiliki. Kekayaan yang dimiliki oleh pemberi dukungan memang akan bertambah, namun, tidak ada keberkahan dalam kekayaannya tersebut.

b.  Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah  mengancam akan memberi  balasan yang kepada orang Yahudi yang memakan riba. Hal ini tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 160-161:

Artinya:  “Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan lantaran mereka banyak menghalangi (manusia) dari  jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dihentikan darinya, dan lantaran mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.  Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.”

Dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa seseorang yang mengetahui jikalau praktik yang mengandung riba ialah hal yang tidak disukai atau dihentikan oleh Allah akan tetapi justru melaksanakan kesalahan tersebut maka Allah akan memperlihatkan siksaan yang amat pedih.

c.  Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu perhiasan yang berlipat ganda.  Pengembalian bunga dengan tingkat tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.

Hal ini dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 130:

Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kau kepada Allah supaya kau menerima keberuntungan.”

Praktik riba dipahami sebagai praktik menjiplak nilai dari nilai pokok di ketika transaksi. Allah menjanjikan sebuah keberuntungan kepada umat-Nya yang benar-benar bertakwa, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

d.  Tahapan terakhir, Allah dengan terang dan tegas mengharamkan apapun jenis perhiasan  yang diambil dari pinjaman.  Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, hingga kesannya tiba larangan yang tegas pada simpulan periode penetapan aturan riba.

Hal ini tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 278:

Artinya:  “Hai  orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jikalau kau orang-orang yang beriman.”

Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Qur’an, melainkan  juga  pada hadist.  Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadist lebih terinci.

Dari temuan yang telah disebutkan sanggup diketahui bahwa riba tidak hanya  dilarang  atau diharamkan dalam Islam melainkan juga dalam agama lain bahkan agama atau kepercayaan terdahulu. Adanya praktik utang piutang yang dibarengi dengan riba bantu-membantu tidak diterima oleh agama yang dianut oleh para pelakunya.


Sumber https://pakarmakalah.blogspot.com/

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel