Review : Lady Bird
“Different things can be sad. It’s not all war!”
Lady Bird ialah film kecil yang sederhana. Tidak ada sesuatu yang bombastis, meletup-letup, atau mencengangkan dalam guliran pengisahan yang diusung oleh Greta Gerwig (Frances Ha, Mistress America) di Lady Bird yang menandai untuk pertama kalinya beliau menempati posisi penyutradaraan. Greta Gerwig sebatas mengajak penonton untuk menapak tilas ke masa remajanya sebagai seorang siswi Sekolah Menengan Atas Nasrani yang tumbuh berkembang di suatu kota kecil membosankan bersama sebuah keluarga dengan kondisi finansial seadanya. Untuk sesaat, selepas mengetahui bahwa ternyata Lady Bird merupakan film semi biopik dari si pembuat film yang belum juga menjadi nama besar di perfilman dunia dengan pencapaian pantas diagung-agungkan, diri ini mengajukan satu pertanyaan bodoh: apa ada hal menarik dari kisah hidup seorang Greta Gerwig yang patut untuk diceritakan? Bukankah kalau membaca premisnya, beliau mempunyai kehidupan yang biasa-biasa saja dan cenderung monoton di kampung halamannya? Memang betul tidak ada kisah menginspirasi penuh glorifikasi di sini dan film lebih banyak menyoroti kemarahan-kemarahan seorang remaja yang gres saja menapaki usia sampaumur terhadap lingkungan di sekitarnya. Akan tetapi, letak kekuatan yang dimiliki oleh Lady Bird justru berada pada ceritanya yang amat familiar serta bersahabat dengan realita ini sehingga penonton gampang untuk merasa terhubung dan terwakili. Alih-alih berujar “kehidupanku lebih seru daripada kalian semua!” si pembuat film lebih menentukan untuk berkata “kehidupanku sama saja dengan kalian semua, jadi saya bisa memahami kalian.”
Karakter utama yang menggulirkan penceritaan Lady Bird ialah seorang siswi Sekolah Menengan Atas Nasrani di pinggiran kota Sacramento, California, berjulukan Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang kekeuh meminta orang lain memanggilnya “lady bird” alasannya ialah dianggapnya lebih keren ketimbang nama aslinya. Menapaki dingklik Sekolah Menengan Atas tingkat akhir, Christine semakin vokal dalam menyuarakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas di area pesisir timur Amerika Serikat (baca: New York) hanya semata-mata biar bisa meninggalkan kehidupan di kampung halaman yang dianggapnya menjemukan. Menilik prestasi akademik Christine yang hanya berada pada level ‘cukup’, emosinya yang masih sangat labil, serta tentunya biaya kuliah yang tidak murah, sang ibu, Marion (Laurie Metcalf), menentang keras rencana sang putri dan memintanya untuk berpikir realistis. Marion mempersilahkan Christine untuk kuliah asalkan universitasnya tidak jauh dari rumah.
Kekhawatiran Marion terhadap masa depan putri bungsunya ini ternyata diinterpretasikan berbeda oleh Christine sehingga perang masbodoh diantara keduanya pun tak terelakkan. Disamping peperangan dengan sang ibu, beberapa kejadian lain turut tiba silih berganti dalam kehidupan Christine usai dirinya memutuskan terlibat dalam produksi drama sekolah mirip jatuh cinta kepada orang yang salah, melepaskan keperawanan dengan pria yang tidak tepat, menjalin persahabatan dengan teman yang keliru demi menaikkan strata sosial di sekolah, hingga dipecatnya sang ayah dari pekerjaannya yang seketika mengancam mimpi besar Christine untuk kuliah.
Bagi para penonton yang telah melewati masa remaja, menyaksikan Lady Bird itu menyerupai tengah diajak bernostalgia ke masa-masa usia belasan. Mengenang suatu fase pencarian jati diri yang dipenuhi kekonyolan akhir kepenasaran, kemarahan, serta kengeyelan yang sulit dikontrol. Keterkejutan dalam memasuki tahapan gres dalam hidup menciptakan stabilitas emosi goyah (baca: labil) sehingga memunculkan pemikiran bahwa diri ini lebih baik dari orang lain, lebih unik dari orang lain, dan lebih penting dari orang lain. Christine McPherson pun mirip itu; dengan memakai nama “lady bird” kemudian mewarnai rambutnya menciptakan beliau berpikir bahwa beliau berbeda dari rekan-rekannya (baca: unik), dengan bergaul kemudian menyetubuhi anak terkenal menciptakan beliau mempunyai derajat sosial lebih tinggi, dan dengan meninggalkan kampung halamannya (perlu dicatat, motif utama Christine untuk kuliah tidak benar-benar alasannya ialah ingin menimba ilmu) demi menjalani hidup di kota besar menciptakan beliau menjadi seseorang yang keren.
Padahal, entah disadari atau tidak, Christine justru menunjukkan bahwa dirinya tidak lebih dari seorang remaja haus ratifikasi dengan pemikiran yang dangkal. Sekalipun kadangkala terasa menjengkelkan, apa yang diperbuat oleh Christine sejatinya masih terbilang manusiawi. Siapa sih yang tidak ingin menjadi bab dari genk terkenal di sekolah? Siapa sih yang tidak ingin dirinya terlihat menonjol dibandingkan orang lain? Siapa sih yang tidak gerah mendiami satu daerah yang sama sepanjang hidup? Penonton dewasa, entah mengakui atau tidak, rasa-rasanya pernah berada di fase Christine. Setidaknya ada minimal satu dua adegan yang akan membuatmu berkata “ya, saya dulu mirip ini!” selama menonton Lady Bird.
Kedekatan kita pada guliran penceritaan yang disampaikan oleh Lady Bird adalah faktor utama yang menimbulkan film terasa begitu hidup. Ini semacam beling yang merefleksikan kekonyolan hidup kita semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kedekatan ini akan semakin terasa ketika dirimu karenanya memutuskan untuk merantau dan mempunyai relasi kompleks (entah sangat benci, renggang, atau sangat cinta yang memunculkan ikatan benci-cinta) dengan ibu. Maka jangan heran kalau kemudian mendapati dirimu berkaca-kaca atau malah bersimbah air mata ketika film mencapai adegan dengan kata kunci “menerima surat”, “mencuci piring” dan “mengantar ke bandara”. Kapabilitas si pembuat film membangun emosi setapak demi setapak dengan penuh perhatian kepada detil dalam dialog, karakter, maupun konflik ialah faktor kedua yang menimbulkan film bisa menghujam emosimu sedemikian rupa. Sosok Christine dan Marion sebagai inti dongeng tidaklah hampa melainkan dideskripsikan sebagai abjad lingkaran yang merangkul dua sisi, hitam dan putih. Terkadang kita bersimpati penuh pada mereka sampai-sampai ingin memberi pelukan hangat, terkadang pula kita jengkel luar biasa sampai-sampai ingin berteriak keras “sakarepmu!” (suka-suka kamu saja lah) ke muka mereka.
Ini kemudian mengantarkan kita kepada faktor ketiga yang menimbulkan cita-cita Greta Gerwig dalam menciptakan penonton berkenan mendengarkan ceritanya sanggup terpenuhi, performa para pemain yang luar biasa. Tidak ada titik lemah di departemen akting, baik Lucas Hedges, Timothee Chalamet, Beanie Feldstein, serta Tracy Letts di jajaran pendukung menyumbang akting bagus. Namun kalau berbicara siapa yang punya donasi paling besar, maka itu terperinci ialah duo Saoirse Ronan dengan Laurie Metcalf. Berkat mereka, sosok Christine dan Marion lebih dari sebatas “karakter dalam film” alasannya ialah keduanya tampak begitu hidup dan nyata. Kita bisa memahami obsesi berlebih “lady bird”, kita bisa mencicipi kegundahan hati seorang ibu, kita bisa meyakini adanya cinta dibalik relasi penuh kebencian antara Christine dengan Marion, dan karenanya kita pun bisa jatuh hati tidak saja kepada mereka berdua tetapi juga kepada Lady Bird sebagai sebuah karya. Bagus sekali!
Outstanding (4,5/5)